Shalat Wajib Diatas Tanah (Edisi Bantahan Terhadap K.H. Mahrus Ali) (I)

oleh Reporter

19 September 2016 | 10:48

Oleh: Abu Aqsith Diantara syarat sahnya shalat adalah tempat yang digunakan bersih dari hadats. Karena itu kebersihan dalam pelaksanaan shalat sangat di utamakan. Selain bersih kita telah mendengar dan melihat beberapa golongan khususnya SYIAH yang mewajibkan shalat diatas tanah, lebih tepatnya wajib sujud diatas tanah. Dengan keputusan ini konsekuensinya apabila shalat tidak diatas tanah maka shalatnya batal. Dan pelakunya di nobatkan sebagai Ahlu bid’ah. Apakah benar demikian? Berikut dalil-dalil yang dijadikan landasan mereka sebagai wajibnya shalat dan sujud diatas tanah.
  1. Hadits Al-Bukhory No.917 (Sahl bin Sa’ad r.a)
  ٩١٧ - حدثنا قتيبة بن سعيد، قال: حدثنا يعقوب بن عبد الرحمن بن محمد بن عبد الله بن عبد القاري القرشي الإسكندراني، قال: حدثنا أبو حازم بن دينار، أن رجالا أتوا سهل بن سعد الساعدي، وقد امتروا في المنبر مم عوده، فسألوه عن ذلك، فقال: والله إني لأعرف مما هو، ولقد رأيته أول يوم وضع، وأول يوم جلس عليه رسول الله صلى الله عليه وسلم، أرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى فلانة - امرأة من الأنصار قد سماها سهل - «مري غلامك النجار، أن يعمل لي أعوادا، أجلس عليهن إذا كلمت الناس» فأمرته فعملها من طرفاء الغابة، ثم جاء بها، فأرسلت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فأمر بها فوضعت ها هنا، ثم رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم صلى عليها وكبر وهو عليها، ثم ركع وهو عليها، ثم نزل القهقرى، فسجد في أصل المنبر ثم عاد، فلما فرغ أقبل على الناس، فقال: «أيها الناس، إنما صنعت هذا لتأتموا ولتعلموا صلاتي»   Abu Hazim bin Dinar telah menceritakan : “Bahwa beberapa orang mendatangi Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi, setelah sebelumnya mereka berdebat tentang mimbar, dari kayu apa ia dibuat?. Mereka datang  menanyakan kepadanya tentang hal itu. Sahl bin Sa’ad berkata,”Demi Allah, aku tahu benar dari kayu apa ia dibuat. Dan aku melihat pertama kali ia diletakkan dan pertama kali Rasulullah SAW., duduk diatasnya. Rasulullah SAW.,  mengutus seseorang kepada seorang wanita dari kalangan Anshar yang telah disebutkan namanya oleh Sahl bin Sa’ad- : “Suruhlah budakmu yang tukang kayu untuk membuatkan bangunan kayu untukku agar aku duduk diatasnya ketika berbicara kepada orang-orang”. Lalu wanita itu menyuruh budaknya. Budak itu pun membuatnya dari kayu thorfa (sejenis pohon cemara) dari Ghabah (hutan pinggiran Madinah), lalu ia membawanya. Kemudian wanita itu mengirimnya (mimbar tesebut) kepada Rasulullah SAW. Dan Rasulullah SAW. menyuruh meletakkannya disini. Setelah itu aku melihat Rasulullah SAW shalat diatasnya; beliau bertakbir dan ruku’ diatasnya. Lalu beliau turun mundur dan sujud didasar mimbar (diatas bumi), kemudian beliau kembali lagi. Setelah selesai beliau SAW menghadap jama’ahnya seraya berkata,” Wahai sekalian manusia, aku berbuat seperti ini agar kalian dapat mengikuti dan mengetahui (cara) shalatku”. (HR Bukhari).   (Dikeluarkan oleh Imam Al-Bukhory No.917 Bab Khutbah ‘Alal Minbar hal.125 Cetakan: Maktabah Ar-Rusydy)   Hadits ini dijadikan dalil wajibnya shalat wajib di atas tanah dengan bukti bahwa Nabi SAW walau ketika shalat diatas mimbar yang terbuat dari kayu namun sujudnya adalah di tanah.   Jawab: Pendalilan seperti ini adalah keliru. Dengan beberapa landasan:
  1. Hadits ini tidak secara shorih (jelas) menunjukkan wajibnya shalat wajib diatas tanah bahkan justru nampak jelas Rasul SAW shalat di mimbar yang terbuat dari kayu adalah menunjukkan tidak wajibnya shalat diatas tanah.
  2. Di hadits ini nampak jelas Rasul SAW setelah shalat tidak mengatakan bahwa shalat diatas kayu adalah bid’ah tapi Rasul justru mengatakan bahwa beliau shalat diatas mimbar itu untuk ta’lim (pengajaran) agar di ketahui oleh para ma’mum bagaimana Nabi SAW melakukan shalat.
  3. Landasan Nabi SAW mengatakan seperti itu tidak terlihat sedikitpun menunjukkan wajibnya shalat diatas tanah walau ketika dalam tahap pengajaran tersebut Nabi SAW sempat mundur untuk bersujud di ashal mimbar atau bumi.
  4. Perbuatan Nabi SAW ketika shalat di atas kayu kemudian ketika hendak sujud mundur dulu dan sujud diatas bumi dilandasi oleh perkataan sebelumnya yang pernah beliau sampaikan kepada para shahabat tentang tidak bolehnya seorang Imam berdiri lebih atas posisinya daripada ma’mum. Berikut riwayatnya:
  ١٨٨٢ - حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زِيَادٍ , ثنا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبٍ , ثنا زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى الْوَاسِطِيُّ زَحْمَوَيْهِ , ثنا زِيَادُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الطُّفَيْلِ , عَنِ الْأَعْمَشِ , عَنْ إِبْرَاهِيمَ , عَنْ هَمَّامٍ , عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ , قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «أَنْ يَقُومَ الْإِمَامُ فَوْقَ شَيْءٍوَالنَّاسُ خَلْفَهُ» يَعْنِي أَسْفَلَ مِنْهُ. Dari Hammam dari Abu Sa’id Al-Anshory ia berkata: Rasul SAW telah melarang seorang Imam berdiri diatas sesuatu dan manusia (ma’mum) ada di belakangnya, yaitu lebih rendah dari (imam) itu. (Dikeluarkan oleh Imam Ad-Daroquthny. Juz 2 hal.463 no.1882 cetakan: Muassasatu Ar-Risalah) Riwayat ini baik. Abu Mas’ud Al-Anshory r.a           : Shahabat Nabi SAW Hammam bin Al-Harits                   : Tsiqoh (terpercaya)[1] Ibrohim An-Nakho’ie                      : Tsiqoh tapi banyak memursalkan hadits. Sulaiman bin Mihron                      : Tsiqotun Hafidzun suka bertadlis. Ziyad bin ‘Abdullah                          : Dia Al-Buka-ie At-Thufail. Shoduq Tsabtun.[2] Zakaria bin Yahya                             : Tsiqotun.[3] Muhammad bin Gholib                  : Tsiqotun Ma’munun (Imam Ad-Daroquthny) Hafidzun.[4] Ahmad bin Muhammad                : Tsiqotun Hafidzun Shoduqun Lahu Auham.[5]   Riwayat ini baik.
  1. Ibrohim An-Nakho’ie walau suka memursalkan hadits dimana riwayatnya biasa langsung ke shahabat tapi di riwayat ini bersambung melewati Hammam dulu.
  2. Sulaiman bin Mihron Al-A’masy yang suka bertadlis namun disini walaupun menggunakan shigoh “An” tidak membahayakan riwayatnya karena dapat riwayat dari Ibrohim sebagai syaikhnya. Karena itu Al-Bukhory menggunakan riwayat A’masy dari Ibrohim di kitab shohihnya.
  3. Ziyad bin ‘Abdullah Al-Buka-ie dinilai baik oleh Imam Ahmad (Shoduq). Yahya bin Main melewati ucapan Ad-Darimy menilai “La ba-sa bih Fil Maghozy”. Dan melewati ucapan Aby Daud beliau mengatakan: “Ziyad pada riwayat Ibnu Ishaq adalah Tsiqoh”.
Adapun Ibnu Madiny dan Imam An-Nasai mendloifkannya. Namun Imam Muslim menggunakan riwayatnya dari ‘Ashim Al-Ahwal dan dari ‘Abdul Malik bin Umair di kitab shohihnya. Atas dasar itu Ibnu Hajar menyimpulkan Shoduq Tsabtun.[6]
  1. Muhammad bin Gholib rowi kuat tsiqotun ma’mun.
  2. Ahmad bin Muhammad syaikhnya Ad-Daroquthny rowi tsiqoh Hafidzun,
    Riwayat ini Hasan, Ziyad bin ‘Abdullah bin At-Thufail kalaulah penilaian Yahya bin Ma’in diambil dan menjatuhkan riwayat ini jadi lemah (dloif) namun dapat dipastikan kedloifannya adalah ringan dan masuk kategori dloif muhtamal (dloif yang dapat terangkat apabila ada Syawahid atau Mutaba’at).   Tentang riwayat ini didapatkan Syahid (riwayat pendukung) sehingga dipastikan riwayatnya adalah Hasan. Berikut riwayat sebagai syahidnya:   ٥٩٧ - حدثنا أحمد بن سنان، وأحمد بن الفرات أبو مسعود الرازي المعنى، قالا: حدثنا يعلى، حدثنا الأعمش، عن إبراهيم، عن همام، أن حذيفة، أم بالمدائن على دكان، فأخذ أبو مسعود، بقميصه فجبذه، فلما فرغ من صلاته قال: «ألم تعلم أنهم كانوا ينهون عن ذلك؟» قال: «بلى، قد ذكرت حين مددتني» Dari Hammam bahwasanya Khuzaifah mengimami manusia di Kota Mada-in (kota di Baghdad) di atas toko (tempat duduk panjang yang tinggi). Maka Abu Mas’ud mengambil baju gamisnya dan menariknya. Maka ketika selesai dari shalatnya, Abu Mas’ud berkata : “Apakah kamu tidak mengetahui sesungguhnya mereka melarang dari perbuatan itu? Hudzaifah menjawab, “Ya, benar !. aku baru ingat ketika engkau menarik gamishku (Dikeluarkan oleh Abu Daud; Sunan Aby Daud. Juz 1 hal.432 no.597 cet. Muassasatu Ar-Royyan) Riwayat ini shohih. Khudzaifah r.a & Abu Mas’ud r.a                : Adalah kedua shahabat Rasul SAW. Hammam s.d Al-A’masy                                : Sudah dibahas di atas. Ya’la bin ‘Ubaid bin Aby Umayyah             : Rowi tsiqoh. Ibnu Ma’in “Dia tsiqoh”. Ahmad bin Hanbal: “Ya’la paling shohih dan paling Ahfadz haditsnya dibandingkan Muhammad bin ‘Ubaid”. Dan Abu Hatim menilai “Shoduq”.[7] Ahmad bin Sinan                                              : Rowi tsiqoh. Imam An-Nasai menilai: “dia tsiqoh”. Abu hatim : “dia Tsiqoh Shoduq”.[8] Ahmad bin Al-Furoth                                      : Rowi tsiqoh. Tsiqotun Hafidzun.[9] Sanad seperti ini shohih dan kuat. Hammam ke Ibrahim ke A’masy ke Ya’la adalah sanad Al-Bukhory. Kemudian Ahmad bin Sinan dan Ahmad bin Al-Furoth adalah kedua rowi tsiqoh syaikhnya Abu Daud. Riwayat ini sebagai penjelas dan penguat dari riwayat sebelumnya dari jalan Ziyad bin ‘Abdillah. Dimana kedua riwayat ini jalurnya sama dan Ya’la bin ‘Ubaid sebagai mutabi’nya Ziyad. Riwayat yang dibawa Ziyad hanya perkataan Abu Mas’ud Al-Anshary r.a saja sedangkan riwayat Ya’la bin ‘Ubaid terdapat tambahan cerita dimana sebelumnya Abu Mas’ud Al-Anshary r.a menarik Khuzaifah r.a ketika hendak mengimami manusia dalam shalat diatas toko dan dikatakan kepadanya bahwa Rasul SAW telah melarang yang demikian itu. Yakni melarang imam lebih tinggi daripada ma’mum dalam shalat. Tambahan cerita melewati jalur Ya’la bin ‘Ubaid jelas adalah Ziyadatu Atsiqoh karena beliau rowi tsiqoh dan lebih tsiqoh daripada Ziyad, sedangkan Ziyad hanya mendapat nilai Shoduq. Kedua riwayat ini saling menguatkan, saling menjelaskan dan sangat jelas bahwa pelarangan shalat yang dimaksud pada riwayat Sahl bin Sa’d r.a adalah tidak bolehnya Imam posisinya diatas daripada ma’mum. Andaikan shalat diatas tanah itu wajib maka pasti Rasul SAW akan mengatakannya dengan shorih (jelas) sebagaimana shorihnya perkataan Rasul SAW akan perintah posisi imam dengan ma’mum sejajar dalam shalat. (catatan: walaupun dalam hadits ini sifatnya larangan imam posisi lebih tinggi daripada ma’mum namun dalam fiqihnya imam madzhab terdapat pendapat bahwa larangan ini tidak menunjukkan haram dan hanya sebatas makruh dalam pengertian Imam boleh posisinya diatas ma’mum dan sah shalatnya. Untuk fiqihnya para imam madzhab tersebut akan dikutip diakhir pembahasan) Kesimpulan Hadits Sahl bin Sa’d r.a riwayat Al-Bukhory: Nampak jelas pada riwayat Sahl bin Sa’d r.a yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhory di awal maksud Rasul SAW mundur dalam shalatnya turun dari mimbar ketika hendak sujud bukan menunjukkan wajibnya sujud diatas tanah, tapi tuntutan beliau akan sejajarnya Imam dengan ma’mum dalam shalat. Inilah pendalilan yang selamat. Imam Ibnu Hajar dalam syarahnya menjelaskan bahwa dalam hadits itu menunjukkan: مشروعية الخطبة على المنبرلكل خطيب
  1. Disyariatkannya khotib berkhotbah diatas mimbar
جواز قصد تعليم المأمومين أفعال الصلاة بالفعل
  1. Bolehnya melakukan shalat dengan gerakan (diatas mimbar) dengan maksud ta’lim terhadap ma’mum
جواز ارتفاع الإمام في باب الصلاة في السطوح
  1. Bolehnya Imam posisi diatas dalam bab shalat di atap.
Pada penjelasan Imam Ibnu Hajar dalam mengomentari hadits Sahl bin Sa’d r.a ini[10] jelas pula tidak kita temukan fahamnya bahwa hadits ini menunjukkan wajibnya shalat wajib diatas tanah atau wajibnya sujud diatas tanah. Imam Ibnu Hajar justru memahaminya sesuai apa yang difahami oleh para imam madzhab sebelumnya bahwa pembahasan ini tidak ada hubungan sama sekali akan wajibnya shalat wajib diatas tanah. (Pembahasan Imam Madzhab di akhir bahasan) Imam Ibnu Hajar kemudian mengatakan dalam syarahnya: قلت : ولعل هذا هو حكمة هذه الترجمة، أشار بها إلى أن هذا التفصيل غير مستحب، ولعل مراد من استحبه أن الأصل أن لا يرتفع الإمام عن المأمومين. ولا يلزم من مشروعية ذلك للنبي صلى الله عليه وسلم. Aku berpendapat: “dan hikmah atas tarjamah ini Rasul SAW memberikan isyarat bahwa penjelasannya (apa yang dilakukannya sebenarnya) tidak mustahab. Dan sepertinya apa yang diinginkan dari sunnahnya bahwa ashalnya imam tidak lebih tinggi (posisinya) daripada ma’mum. Dan yang demikian itu tidak lazim dari syari’atnya”[11] Sudah sangat shorih bukan?
  1. Hadits Al-Bukhory No. 438 (Jabir bin ‘Abdullah r.a)
  حدثنا محمد بن سنان قال حدثنا هشيم قال حدثنا سيار هو أبو الحكم قال حدثنا يزيد الفقير قال حدثنا جابر بن عبد الله قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطيت خمسا لم يعطهن أحد من الأنبياء قبلي نصرت بالرعب مسيرة شهر وجعلت لي الأرض مسجدا وطهورا وأيما رجل من أمتي أدركته الصلاة فليصل وأحلت لي الغنائم وكان النبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت إلى الناس كافة وأعطيت الشفاعة   Telah mengabarkan kepada kami [Jabir bin 'Abdullah] bahwa Nabi SAW bersabda: "Aku diberikan lima perkara yang tidak diberikan kepada orang sebelumku; aku ditolong melawan musuhku dengan ketakutan mereka sejauh satu bulan perjalanan, dijadikan bumi untukku sebagai tempat sujud dan suci. Maka siapa saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat, dihalalkan untukku harta rampasan perang, dan para Nabi sebelumku diutus khusus untuk kaumnya sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia, dan aku diberikan (hak) syafa'at, " (Dikeluarkan oleh Al-Bukhory; Shahih Al-Bukhory No.438 hal.67 Cet. Maktabah Ar-Rusyd) Juga dikeluarkan oleh Imam Muslim no. 521-522 Kitab Al-Masajid Wa Mawadli’u As-Shalat[12]. Imam Al-Baihaqy Bab Tayammum Bisho’ied At-Thoyyib[13] dan Kitab As-Shalat. Imam At-Thobarony; Mu’jamul Ausath. Imam Ad-Darimy; Sunan Ad-Darimy. Imam An-Nasai, bab Al-Guslu Wa At-Tayammum dan bab Al-Masajid. Imam Ahmad dalam Musnadnya. Dalil kedua ini juga sering digunakan menjadi dalil wajibnya shalat diatas tanah khususnya oleh kaum SYI’AH. Namun hemat penulis riwayat ini tidak terlihat sama sekali menunjukkan wajibnya shalat wajib diatas tanah. Dengan beberapa alasan:
  1. Kata “Al-Ardlu” disini maknanya masih umum dan tidak bisa di khususkan ke tanah. Dalam pengertian bisa difahami apa saja yang menjadi pijakan kaki maka bisa dijadikan tempat sujud seperti batu, pasir, lantai, kayu, tumbuh-tumbuhan dan termasuk tanah. Dalam pengertian lain dimana saja kita berada waktu shalat telah tiba maka kita bisa shalat dimana saja di bumi ini tanpa harus dibatasi oleh tanah. Dan oleh sebab itu kata perintah “Fal Yusholly” tidak menunjukkan perintah shalat diatas tanah, akan tetapi shalatlah dimana saja kita berada.
  2. Apabila kata “Al-Ardlu” dipaksakan artinya adalah “Tanah” maka akan sangat rancu. Sebagai bukti bahwa kata “Al-Ardlu” disini pengertiannya bukan tanah tapi lebih umum yaitu “bumi” berikut riwayat Imam Muslim sebagai Syahidnya:
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا محمد بن فضيل عن أبي مالك الأشجعي عن ربعي عن حذيفة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فضلنا على الناس بثلاث جعلت صفوفنا كصفوف الملائكة وجعلت لنا الأرض كلها مسجدا وجعلت تربتها لنا طهورا إذا لم نجد الماء وذكر خصلة أخرى حدثنا أبو كريب محمد بن العلاء أخبرنا ابن أبي زائدة عن سعد بن طارق حدثني ربعي بن حراش عن حذيفة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بمثله Rasul SAW bersabda: “Kami diberi kelebihan atas manusia dengan tiga hal, yaitu: Dijadikan Shaf-shaf kami ini seperti shaf-shafnya para malaikat, dan dijadikan untuk kami bumi seluruhnya sebagai masjid (tempat shalat) dan dijadikan tanahnya bagi kami adalah sebagai pembersih apabila kami tidak mendapatkan air” (Dikeluarkan oleh Imam Muslim; Shahih Muslim. No.522 hal.265-266 cet. Darul Mughny) Perhatikanlah !! riwayat Hudzaifah r.a ini yang dikeluarkan oleh Imam Muslim sebagai Syahid bagi Jabir bin ‘Abdullah r.a adalah penjelas bahwa kata “Al-Ardlu” disana maksud Rasulullah SAW bukanlah khusus tanah. Karena tanah disebutkan oleh Rasul SAW sendiri di riwayat Hudzaifah adalah “At-Turbah”. Ini sudah sangat shorih (jelas) kelirunya kata “Al-Ardlu” di artikan khusus tanah saja, disaat kata tanah disebutkan oleh Rasul SAW dengan kata “At-Turbah”. Dan at-turbah (tanah) adalah bagian dari Al-Ardlu (bumi) Karena itu pula mari kita perhatikan matan yang dikeluarkan oleh Imam Muslim tentang ini : حدثنا يحيى بن يحيى أخبرنا هشيم عن سيار عن يزيد الفقير عن جابر بن عبد الله الأنصاري قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أعطيت خمسا لم يعطهن أحد قبلي كان كل نبي يبعث إلى قومه خاصة وبعثت إلى كل أحمر وأسود وأحلت لي الغنائم ولم تحل لأحد قبلي وجعلت لي الأرض طيبة طهورا ومسجدا فأيما رجل أدركته الصلاة صلى حيث كان ونصرت بالرعب بين يدي مسيرة شهر وأعطيت الشفاعة حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا هشيم أخبرنا سيار حدثنا يزيد الفقير أخبرنا جابر بن عبد الله أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال فذكر نحوه (Dikeluarkan oleh Imam Muslim; Shohih Muslim. Kitab Al-Masajid Wa Mawadli’i Ash-Shalati. No.521 hal. 265 cet. Darul Mughny) Riwayat ini semakin Shorih (jelas). Dengan kata kuncinya “Haitsu Kaana”: فأيما رجل أدركته الصلاة صلى حيث كان “Dan siapa saja salah seorang dari umatku mendapati waktu shalat hendaklah ia shalat DIMANAPUN IA BERADA”. Kata “haitsu Kaana” sangat shorih menunjukkan tempat dimana saja di muka bumi ini tanpa dibatasi oleh tanah. Apakah di hamparan pasir, batu cadas yang licin, diatas es salju, di hamparan lautan yang luas atau gedung pencakar langit lantai 1000. Dan atas dasar inilah Ibnu Hajar memberikan penjelasan di kitab syarahnya: جعلت لي الأرض مسجدا أي كل جزء منها يصلح أن يكون مكانا للسجود ، أو يصلح أن يبنى فيه مكان للصلاة   “Dijadikan bumi bagiku sebagai masjid” maksudnya setiap juz (unsur) dari bumi itu sah untuk dijadikan tempat  untuk sujud, atau sah di bangun diatasnya tempat untuk shalat.[14] Nampak jelas Al-Hafidz Ibnu Hajar pun memahami kata “Al-Ardlu” adalah umum sehingga apa saja setiap unsur dari bumi sah untuk di jadikan tempat sujud. Penulis kutip hadits pendukung lagi sebagai penguat akan kelirunya SYI’AH dan golongan lain yang memahami wajibnya shalat wajib diatas tanah: عن أبي سعيد قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال موسى في حديثه فيما يحسب عمرو إن النبي صلى الله عليه وسلم قال الأرض كلها مسجد إلا الحمام والمقبرة Dari Aby Sa’id Al-Khudry r.a ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “seluruh bumi adalah Masjid (tempat sujud) kecuali kuburan dan kamar mandi”. Riwayat ini dikeluarkan oleh Aby Daud no. 492 kitab Ash-Shalat, juga Imam At-Turmudzy No.317 kitab Shalat. Imam Al-Baihaqy Sunan Al-Kubro no.4161 dan beberapa no. yang lain. Imam Al-Hakim no.958 Kitab Al-Imamah. Imam Ibnu Majah no.745 Kitab Al-Masajid wal Jama’at. Imam Ad-Darimy no.1390 Kitab As-Shalat. Imam Ibnu Khuzaimah no.791 Kitab Ash-Shalat. Dan beberapa Imam yg lain. Hadits ini hasan. Penulis tidak jabarkan sanad dan jarh ta’dilnya (dirasa tidak perlu memakan banyak halaman namun apabila ada yang meragukannya silahkan di sediakan kolom komentar) Hadits ini sebagai penjelas akan kelirunya kaum SYIAH dan golongan lain yang memahami Al-Ardlu adalah tanah. Apabila keramik, pakaian, sajadah adalah tidak sah dan dikatakan bid’ah sebagai tempat sujud maka sudah pasti ada kesempatan (da’in = pendorong) bagi Nabi SAW untuk mengatakan diriwayat ini bahwa bukan saja kuburan dan kamar mandi yang dikecualikan namun keramik, pakaian dll adalah haram dan bid’ah dijadikan tempat sujud. Namun kenyataannya tidak ada khan? Dan sudah sangat “Shorih” khan? Riwayat ini hanya “Takhsis” pengecualian terhadap hadits yang masih umum diatas tentang “seluruh bumi dijadikan tempat sujud”. Penulis katakan: Sabda Nabi SAW tentang “bumi dijadikan tempat sujud (masjid) ini lebih bisa difahami oleh kita bahwa beliau ingin meringankan umatnya disaat umat-umat terdahulu dalam pelaksanaan ibadahnya dikhususkan di tempat-tempat tertentu, namun kita sebagai umat Islam dimana saja kita bisa shalat diatasnya. Sekalipun kita ada di pegunungan yang berbatu, kita tidak perlu susah susah mencari hamparan tanah untuk shalat. Di hamparan batu jadi, di hamparan pasir jadi, di masjid yang sudah dikeramik pun jadi. Dan apabila dibatasi hanya diatas tanah saja maka justru semakin sempit lagi cakupannya dan tidak ada bedanya dengan umat-umat terdahulu. Padahal maksud Nabi SAW dalam hadits ini penulis ulang “Ingin meringankan umatnya”. Karena itu memahami kata “Al-Ardlu” di hadits ini khusus tanah saja adalah keliru wahai kaum Syi’ah,. buang saja karena fahamnya adalah munkar.   Bersambung ke hadits berikutnya no.3 …….. [1] Kitab Tahdzibul Kamal; Ibnu Aby Hatim. Juz 30 hal.297 cet.Muassasatu Ar-Risalah [2] Kitab Taqribu Tahzib; Ibnu Hajar. [3] Kitab Lisanul Mizan; Ibnu Hajar. Juz 3 hal.515 cet. Maktab Al-Matbu’at Al-Islamiyyah [4] Kitab Lisanul Mizan; Ibnu Hajar. Juz 7 hal.434 cet. Maktab Al-Matbu’at Al-Islamiyyah [5] Kitab Lisanul Mizan; Ibnu Hajar. Juz 3 hal.515 cet. Maktab Al-Matbu’at Al-Islamiyyah [6] Kitab Taqribu Tahzib; Ibnu Hajar. [7] Kitab Tahdzibul Kamal; Ibnu Aby Hatim. Juz 32 hal.391 cet.Muassasatu Ar-Risalah [8] Kitab Tahdzibul Kamal; Ibnu Aby Hatim. Juz 1 hal.323 cet.Muassasatu Ar-Risalah [9] Kitab Taqribu Tahzib; Ibnu Hajar. Hal. 96 no.rowi 88. Cet. Darul ‘Ashimah [10] Kitab Fathul Bary Syarah Shahih Al-Bukhory; Ibnu Hajar. Juz 2 hal.514 cet. Darus Salam [11] Kitab Fathul Bary Syarah Shahih Al-Bukhory; Ibnu Hajar. Juz 2 hal.514 cet. Darus Salam [12] Hal. 265-266 Cetakan: Darul Mughny. [13] Hal. 212 Cetakan: Majlis Dairotu Al-Ma’arif [14] Kitab Fathul Bary; Ibnu Hajar. Juz 1 Kitab Shalat. Bab Qulun Nabi SAW Ju’ilatil Ardlu Ly Masjidan Wa Thohuron
Reporter: Reporter Editor: admin