[Arsip - 1/10/21]
Setiap memasuki penghujung akhir bulan September, satu tema yang sering menjadi perbincangan di Indonesia adalah komunisme. Hal ini wajar mengingat Indonesia pernah mengalami sejarah kelam di bulan September tahun 1965 yang dikenal dengan peristiwa Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) atau lebih populer lagi dengan sebutan Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S PKI). Berbagai nonton bareng dan diskusi seputar faham komunis ramai digelar. Termasuk di antaranya diskusi yang diadakan oleh TV One pada Selasa malam, (28/9/2021) pukul 18:30—20:00 WIB.
Diskusi tersebut disuguhkan dalam program Apa Kabar Indonesia Malam dengan tema “Ancaman Neo-Komunisme, Nyata atau Dusta?” Program yang dipandu oleh presenter Putri Violla ini menghadirkan sejarawan sekaligus dosen tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Persatuan Islam (STAI Persis) Garut, Dr. Tiar Anwar Bachtiar, M.Hum. sebagai narasumber. Selain Tiar, hadir juga narasumber lain, yaitu Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Prof Hariyono; pengamat politik, Ubedilah Badrun.
Mendapat kesempatan sebagai pembicara ketiga, paparan Tiar tentang isu kebangkitan neokomunisme dari perspektif seorang sejarawan sangat menarik. Menurutnya, kemunculan ideologi komunisme antara tahun 1948 dan 1965 dengan sekarang tentu berbeda, terutama dalam aspek situasi ekonomi dan politik.
Pada masa awal kemerdekaan kondisi ekonomi, Indonesia baru mengalami fase kebangkitan pasca runtuhnya kolonialisme yang mewariskan kemiskinan massal. Situasi ini menjadi lahan subur bagi tumbuhnya faham komunis di masyarakat melalui jargonnya yang terkenal, yaitu membela rakyat kecil alias wong cilik. Situasi ini tentunya berbeda dengan sekarang.
Sementara dalam aspek politik, pada saat itu dinamika politik masih sangat labil dan masih mencari bentuk idealnya (termasuk menjadikan komunisme sebagai alternatif, pen.) Hal ini tentunya berbeda dengan sistem politik sekarang yang mulai mapan. Itu artinya, untuk membandingkan antara situasi hari ini dengan tahun 1948 dan 1965 tentunya tidak sama persis.
Walaupun begitu, dalam pengamatan Tiar—sebagai sosok yang konsisten menggeluti bidang sejarah pada saat kuliah di Unpad dan UI—ideologi komunisme itu bersifat dinamis. Komunisme akan menyesuaikan dirinya dengan tuntutan zaman dengan tampilan wajahnya yang baru, yang hari ini dikenal dengan istilah neokomunisme.
Cina menjadi contoh negara yang menampilkan wajah baru komunisme ini. Sistem politiknya memang masih menganut komunisme, tetapi sistem ekonominya menganut faham yang menjadi lawan komunisme sendiri, yaitu kapitalisme. Langkah ini menjadikan Cina hari ini sebagai pesaing utama bagi kekuatan ekonomi Amerika.
Terakhir, Tiar yang juga menjabat sebagai pengurus (tasykil) Bidgar Dakwah di Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PERSIS), menyebutkan bahwa kemunculan neokomunisme di Indonesia di era digital dan media sosial seperti sekarang ini sangat mungkin terjadi. Apalagi secara historis di Indonesia pernah ada PKI, partai komunis yang mengikuti pemilu tahun 1955 dan menjadi salah satu kekuatan besar dalam peta perpolitikan di Indonesia saat itu.
Karena itu, kemunculan neokomunisme ini tidak bisa dianggap sepele. Tentunya ini menjadi tantangan sendiri bagi bangsa Indonesia. Bagaimana caranya agar peristiwa kelam di tahun 1965 tidak terulang kembali di kemudian hari.
(Taufik Apandi/Dosen STAI PERSIS Garut, Pengajar di SMP Plus PERSIS Al-Manar Bayongbong)