Sejak terpilih sebagai presiden Amerika Serikat pada November 2016 kemenangan Donald Trump telah menimbulkan banyak spekulasi dan tentangan banyak warga AS. Dimulai dengan pernyataan-pernyataan kontroversi saat masa kampanye sampai isu keterlibatan Rusia dalam campur tangan pilpres yang digelar 2016 lalu.
Bukan hanya itu, sejak terpilih sebagai orang nomor satu di negeri paman sam tersebut, Trump mengeluarkan pernyataan dan kebijakan yang menunjukan sikap bahwa dirinya adalah orang yang anti terorisme, lebih jelasnya seorang yang anti “Islam radikal”, ini dibuktikan dengan salah satu resolusi barunya yang melarang warga negara muslim yang tengah dalam konflik khusunya Timur Tengah untuk memasuki wilayah AS.
Hal ini pun terlihat ketika Trump melancarkan serangan balik ke wilayah Al-shayrat airfield (Pangkalan Udara militer Suriah) sebagai tuduhan terhadap rezim Assad yang bertanggung jawab atas jatuhnya bom kimia yang menewaskan sekitar 100 warga sipil di Idlib.
Anehnya sikap Trump tersebut tidak sebanding dengan sikapnya terhadap Israel, sebagai negara yang telah mencaplok hampir seluruh bagian wilayah kedaulatan Palestina dan telah menimbulkan jatuhnya ratusan ribu korban hal itu tak menjadi alasan mengurung niat ia untuk tetap memenuhi janji kampanyenya mengakui Jerusalem sebagai ibukota Israel.
Di saat berbagai organiasi bangsa sedang berupaya untuk mencari jalan keluar terhadap konflik yang sudah berlangsung lebih dari setengah abad tersebut, di awal masa jabatannya sebagai presiden ia malah membuat pernyataan yang kembali memperuncing pertikaian.
Bukan tanpa alasan, pernyataan sikap Trump tersebut diduga kuat dipicu atas balas jasa ia terhadap American Israel Public Affairs Committee (AIPAC) sebuah badan lobi kepentingan Israel di Amerika.
Pada dasarnya siapapun yang berkuasa atau ingin menjadi penguasa di AS akan selalu menghadiri konferensi yang diselenggarakan organisasi yang saat ini dipimpin oleh Lilian Pinkus tersebut.
Dilansir dari CNN Indonesia (22/03/2016), sekalipun AIPAC tidak terlalu ikut campur dalam gelanggang Pemilu presiden AS tersebut setidaknya lobi-lobi dan pengaruh mereka memiliki kontribusi kuat untuk memenangkan salah satu calon dan menjatuhkan yang lain.
Mengutip pernyataan Peter Alexander Beinart (wartawan dan komentator politik AS) ia mengatakan “AIPAC mempunyai satu misi: untuk memastikan bahwa pemerintah Amerika Serikat mendukung pemerintah Israel tanpa syarat” dalam arti Amerika mesti mendukung apapun yang Benjamin Netanyahu (PM Israel) lakukan.
Maka wajar bila Trump menyatakan secara sepihak Jerusalem sebagai ibu kota negeri yahudi tersebut dengan alasan-alasan di atas ditambah minimnya pengalaman ia sebagai seorang politikus atau pejabat publik bahkan belum pernah sama sekali.
Pidato kenegaraanya di gedung putih memunculkan banyak kecaman bukan hanya dari negara-negara muslim, Paus Fransikus pun ikut menyatakan sikapnya mengecam pernyataan Trump agar semua menghormati resolusi PBB mengenai status quo kota Yerusalem.
Negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI) pun segera melaksanakan konferensi tingkat tinggi (KTT) pada Rabu 13 Desember 2017 di Turki meminta kepada seluruh bangsa di dunia mengakui Jerusalem timur sebagai ibu kota Palestina dan meminta kepada Presiden Trump untuk menarik kembali pernyataanya untuk memindahkan kedutaan Amerika di Tel Aviv ke Jerusalem.
Seakan gayung bersambut ujian demi ujian terus menimpa umat Islam di berbagai penjuru dunia, tak ayal hal ini memaksa kita sebagai saudara seiman untuk ikut merasakan dan peduli terhadap mereka sebagai bentuk implementasi dari ummatan wahidatan(ummat yang satu). Bukan hanya persoalan Iman, ini lebih kepada persoalan humanity (kemanusiaan).
Seharusnya jika ia memiliki hati nurani maka tak akan ada pernyataan dan kebijakan seolah ia memiliki standar ganda.
Kebijakan Trump tersebut sudah semestinya membuka mata kita bahwa itu merupakan bentuk kasih sayang Allah, itu adalah medan jihad kita, pahala kita, surga kita, bukan orang beriman namanya bila tak ada ujian, bagi Allah menghancurkan mereka sangatlah mudah sebagaimana kita melihat kaum ‘Ad, Tsamud, Fir’aun, kaum Nabi Luth, kaum Nabi Nuh dan lainya.
Namun Allah menahan Kaum Israel, kaum-kaum dzalim, fasik, munafik sebagai bagian dari ujian kita untuk kenaikan tingkat kederajat manusia yang taqwa dan mulia atau memilih menjadi makhluk yang hina tergiring oleh kepentingan mereka.
Belajar dari kasus penistaan agama beberapa waktu lalu Allah meminta kita untuk bangun dan melihat diluar sana sudah terlampau banyak agenda orang-orang yang ingin memadamkan Ruhul Islam, selain itu Allah juga memperlihatkan kepada kita mana orang “Hitam”, “Putih” dan “Abu-Abu” sudah sangat kentara.
Hal itu berhasil mempersatukan kita menyingsingkan fajar kesadaran setelah sekian lama terlelap larut dalam kenyamanan yang telah mereka siasatkan, maka aneh ketika kebenaran telah begitu nyata dan kita tetap terlelap atau malah terjerumus dalam lingkaran mereka.
Kalau bukan karena adanya kepentingan dan nafsu pribadi bisa jadi Allah mengunci dan menutup hati kita untuk menerima kebenaran, nauzubillah. Begitupun kita berharap hikmah dibalik Trump dengan pernyataanya mampu mempersatukan kita menggalang kekuatan untuk melawan kedzaliman, menyikap siasat dan agenda mereka, memperjelas mana jalan orang-orang yang menggiring pada yang haq (benar) atau kepada Batil (salah), menyadarkan bahwa kita memiliki tugas dakwah yang telah diwasiatkan Allah dan Rasulnya, mereka menyebut ini adalah puncak keberhasilan setelah sekian lama namun pada dasarnya ini adalah awal dari penggalian kubur diri mereka sendiri.
Trump telah membuka gerbang kemenangan kita, dan awal dari kekalahan mereka. Wallahu’alam
***
Oleh : Ilham Habiburohman (Kader LBH Persis)