C. Syarat Da’i
Al-Maraghi (II:22) menyebutkan beberapa syarat bagi da’i,
1. Mengetahui Al-Qur’ân dan al-Sunnah, serta sirah Nabi, sirah khulafa rasyidin.
أَنْ يَكُوْنُ عَالِمًا بِالْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ وَسِيْرَةِ النَّبِيِّ ص وَالْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ.
2. Mengetahui keadaan masyarakat, baik urusan kehidupan, kemam-puan ilmu, sifat, dan akhlaknya,
مَعْرِفَةُ أَحْوَالِهِمْ الإِجْتِمَاعِيَةِ: شُئُوْنِهِمْ, اِسْتِعْدَادِهِمْ, طَبَاعِهِمْ, أَخْلاَقِهِمْ.
3. Mengetahui bahasa ummat. Nabi Saw pernah menyuruh sebagian shahabat untuk belajar bahasa Ibrani untuk berkomunikasi dengan orang Yahudi dan mengetahui sifat serta thabiat mereka,
عَالِمًا بِلُغَةِ الأُمَّةِ الَّتِي يُرَادُ دَعْوَتُهَا.
4. Mengetahui penyakit, kekurangan dan madzhab ummat,
عَالِمًا بِالْمَلَلِ وَالنَّحَلِ وَمَذَاهِبِ الأُمَّةِ.
Hasbi Ash-Shiddiqie (II:471) menyebutkan beberapa syarat muhtashib,
1. Al-Adl (Adil)
2. Al-Faqiih (Cerdas)
3. Husnu al-Khulq (Baik akhlak)
4. Istiqamah (Teguh pendirian)
D. Bimbingan Al-Qur’ân bagi da’i
Dalam al-Qur’ân banyak kita jumpai ayat-ayat yang membimbing kita dalam melakukan da’wah, antara lain,
1. Da’wah dengan Sirrân (sembunyi).
Al-Syaikhani meriwayatkan yang bersumber dari Jabir ra bahwa Rasulullah bersabda “Ketika aku telah selesai ‘uzlah selama sebulan di Hira, aku turun ke lembah, setelah sampai ke tengah lembah ada yang memang-gilku, tapi aku tidak melihat seorangpun di sana. Aku menengadahkan kepalaku ke langit, dan tiba-tiba aku melihat malaikat yang pernah mendatangiku di Hira, aku cepat-cepat pulang dan berkata “Selimutilah-selimutilah aku “, maka turunlah ayat,
يَاأَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ {} قُمْ فَأَنذِرْ.
“Hai orang yang berkemul (berselimut), (.:) bangunlah, lalu berilah peringa-tan!” (QS. Al-Mudatsir [74]:2) Sebagai perintah untuk menyingsingkan selimutnya dan berda’wah. (Komarudin Saleh,tt: 541).
Ibnu Hisyam (1955, I:254-265) menyebutkan, ayat di atas merupakan awal perintah untuk berda’wah. Kemudian Nabi mulai berda’wah itu dengan sirrân (sembunyi-sembunyi). Dimulai kepada Auliyâ dan kerabat yang dekat. Yang pertama iman dari wanita adalah khadijah, dari anak kecil Ali bin Abi Thalib, dari Auliyâ penguasa Zaid bin Haritsh, dari laki-laki dewasa yaitu Abu Bakar al-Shiddiq dari yang merdeka dan hamba sahaya. Da’wah sembunyi-sembunyi ini selama 3 tahun, dan yang beriman 53 orang, dari wanita berjumlah 10 orang. Menurut Sayyid Quthub (1978, 16:3750), maka Nabi bersama orang yang beriman melakukan ibadah dan Kajian Islam di Dâr al-Arqam bin Abi al-Arqam.
Dari keterangan di atas memberi bimbingan, bahwa da’wah itu dilakukan dengan melihat kondisi keamanan lingkungan, jika tidak mungkin dilakukan da’wah dengan terang-terangan, lakukan dengan sembunyi-sembunyi.
2. Da’wah dengan Jahran (terang-terangan).
Al-Najjari (tt, 9:763) menyebutkan, Rasullah selanjutnya berda’wah dengan terang-terangan, baik kepada keluarga yang dekat juga kepada yang lainnya. Hal ini dilakukan setalah turun ayat,
وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ اْلأَقْرَبِينَ {} وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ.
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat, (.:) dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Syu’ara [26]:215)
Ibnu Jarir meriwayatkan yang bersumber dari Ibnu Juraij, bahwa ketika turun ayat “Wa andzir ‘asyîrataka al-aqrabin”, Rasulullah memulai da’wahnya kepada keluarga serumah, kemudian keluarga terdekat. Hal ini menyinggung perasaan Kaum Muslimin, merasa terabaikan. Lalu Allah menurunkan ayat di atas (al-Syuara: 214-215), sebagai perintah untuk juga memperhatikan kaum mu’minin yang lainnya. (Komarudin Saleh, tt, 361). Al-Maraghi (1974, VI:110) mengutip riwayat al-Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Abu Hurairah, yang menyebutkan ketika turun ayat ini (al-Syuara 214), Rasulullah berda’wah kepada kaum Quraisy yang umum, juga yang khusus. Yang umum seluruh kaum Quraisy dan yang khusus adalah, Bani Ka’ab bin Luay, Bani Qushay, Bani ‘Abd al-Manaf, Bani ‘Abd al-Muthallib, Fathimah binti Muhammad. da’wahnya berisikan antara lain,
أَنْقِذُوْا أَنْفُسَكُمْ مِنَ النَّارِ فَإِنِّي لاَ أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلاَ نَفْعًا, أَلاَ إِنَّ لَكُمْ رَحِمًا وَسَأَبُلُّهَا بِبَلاَلِهَا. يُرِيْدُ: أَصِلُكُمْ فِي الدُّنْيَا وَلاَ أُغْنِى عَنْكُمْ مِنَ اللهِ شَيْئًا.
“Selamatkanlah diri kamu sekalian dari api neraka sesungguhnya aku tidak memiliki sesuatu buatmu, kemadharatan juga kemanfaatan, ingatlah sesungguh-nya ada padamu kasih sayang, dan aku akan membasahinya dengan basahnya kasih sayang. Yang dimaksud adalah, Aku akan menyambungkan padamu (kasing sayang) di dunia dan aku tidak dapat menyelamatkanmu dari adzab Allah sedikitpun”.
3. Da’wah Dengan Hikmah, Mauidhah Hasanah, Mujadalah
Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah,
اُدْعُ إِلَى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ...
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik... (QS. Al-Nahl [16]:125)
An-Nasafi, menjelaskan maksud al-hikmah,
بِالْمَقَالَةِ الصَّحِيْحَةِ الْمُحْكَمَةِ وَهُوَ الدَّلِيْلُ الْمُوْضِحُ لِلْحَقِّ الْمُزِيْلِ لِلشُبْهَةِ.
Menurut Mahfoed, al-hikmah adalah tidak memberikan sesuatu kepada orang lain apa yang diri sendiri tak senang jika mendapatnya dari orang lain. Maka al-hikmah itu; berda’wah dengan perkataan yang benar dan pasti, menyenangkan, tidak menyakiti, sesuai tempat dan waktu. Al-Mauidhah al-hasanah, menurut An-Nasafi,
هِيَ الَّتِي لاَ يَخْفَي عَلَيْهِمْ أَنَّكَ تُنَاصِحُهُمْ بِهَا وَتَقْصُدُ مَايَنْفَعُهُمْ فِيْهَا أَوْ بِالْقُرْآنِ.
“Dia itu tidak tersembunyi bagi mereka bahwa engkau menasihatinya dan bermaksud memberikan apa yang bermanfaat bagi mereka yaitu dengan al-Qur’ân”
Dan Mahfoed, menjelaskannya “diukur dari segi da’wah itu sendiri; didengar orang, dituruti orang, dan kuantitas manusia yang kembali ke jalan Allah lebih besar” Dengan perkataan lain “Perkataan-perkataan yang mengandung nasihat ajaran Allah, menghendaki manfaat, didengar, dituruti, banyak yang kembali ke jalan Allah. Al-mujadalah al-Hasanah menurut An-Nasafi,
هِيَ أَحْسَنُ طُرُقِ الْمُجَادَلَةِ مِنَ الرِّفْقِ وَاللِّيْنِ مِنْ غَيْرِ فَظَاظَةٍ أَوْ بِمَا يُوْقِظُ الْقُلُوْبَ وَيَعِظُ النُّفُوْسَ وَيَجْلُو الْعُقُوْلَ.
“Sebaik-baik cara bertukar pikiran dengan perasaan sayang dan kelembutan dengan tanpa kekasaran atau memukul (menyakiti) hati serta menasihati jiwa dan menjernihkan pikiran”
Sementara Tafsir Jalalain, menyebutkan,
اَلْمُجَادَلَةُ الَّتِى هِيَ أَحْسَنُ كَالدُّعَاءِ إِلَى اللهِ بِآيَاتِهِ وَالدُّعَاءِ إِلَى حُجَّتِهِ.
“Berdiskusi dengan baik itu mengajak ke jalan Allah dengan ayat-Nya dan mengajak kepada hujjah”
Dan Mahfoed, berpendapat: “Dengan melihat dan menyesuaikan tingkat kadar kemampuan obyek da’wah” (Biqadri ‘Uqulihim) Dengan demikian, dapat dikatakan, mujadalah hasanah; ialah bertukar fikiran dengan menggunakan dalil al-Qur’ân dan as-Sunnah, serta hujjahnya yang sesuai dengan kemampuan berfikir, lunak, lembut, tidak kasar, menyadarkan hati, membangun-kan jiwa dan menerangi akal.
4. Da’wah Dengan Lembut, Pemaaf, Mohonkan Ampun, Dan Tawakal
Ini ditunjukkan firman Allah, Ali Imran: 159,
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللهِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ.
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. (QS. Ali Imran [3]:159)
5. Memberikan Ajaran Dengan Al-Qur’ân
Ini ditunjukan firman Allah, Qaaf: ayat 45,
نَّحْنُ أَعْلَمُ بِمَا يَقُولُونَ وَمَآأَنتَ عَلَيْهِم بِجَبَّارٍ فَذَكِّرْ بِالْقُرْءَانِ مَن يَخَافُ وَعِيدٍ
“Kami lebih mengetahui tentang apa yang mereka katakan, dan kamu sekali-kali bukanlah seorang pemaksa terhadap mereka. Maka beri peringatanlah dengan al-Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku”. (QS. Qaf [50]:45)
6. Merendah Diri Kepada Pengikut Kebenaran, Al-Syu’ara: 215
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”. (QS. As-Syu’ara[26]:215)
BACA JUGA:Thaghut Dalam Al-Quran