Oleh: Dr. Dedeng Rasyidin, M.Ag
A. Arti Thâgût
Kata thâgût diambil dari kata thugyân (Ibnu al-jauzi, I:306) Dan kata thugyân adalah isim mashdar dari kata thagâ (Munawir, 915) artinya mujâwajat al-Haddi (Ibnu al-Jauzi, I:306) melampaui batas, mujâwajat al-Haddi fî al-Syai`i melampaui batas ukuran dalam sesuatu (Al-Maraghi, I:15, dan al-Jurzani, 183) Dari arti ini, secara bahasa setiap sesuatu yang melampaui batas ukurannya disebut thâgût. Air yang meluap naik disebut thagâ al-Mâ’a seperti dijelaskan al-Haqqah 11,
إِنَّا لَمَّا طَغَا الْمَآءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجَارِيَةِ
“Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek moyang) kamu, ke dalam bahtera” (Qs. Al-Hâqqah [69]:11)
Sesungguhnya kami, tatkala air telah naik sampai ke gunung, kami bawa kamu kedalam bahtera. Kata thâgût jamaknya thawâgun dan thawâgît, menurut Muhyidin al-Darwis (I:335) kata itu bisa digunakan untuk menunjukkan pada satu dan jamak, bisa juga untuk mudzakar (jenis laki-laki) juga muannats (jenis perempuan). Al-Shabuni (III:53) menyebutkan kata thâgût menunjukkan pada sifat mubalaghah (superlatif-berlebih) artinya aqsha ghâyat al-Thugyân, kedzhaliman yang sangat, kedzhaliman yang besar seperti kata ar-Rahmût dan al-Adzhmût.
Secara istilah thâgût artinya mujâwajat al-Haddi fî al-Ishyân melampaui batas dalam ma’siat (Al-Raghib, 304) Sementara al-Maraghi (II:90) menyebutkan, thâgût ialah,
مُجَاوَزَةُ الْحَقِّ وَالْعَدْلِ وَالْخَيْرِ إِلَى الْبَاطِلِ وَالظُّلْمِ وَالشَّرِّ.
“Melanggar haq, keadilan, dan kebaikan menuju pada kebathilan, kedzhaliman dan kejahatan”. Dan al-Raghib (tt:304) menyebutkan,
اَلطَّاغُوْتُ عِبَارَةٌ عَنْ كُلِّ مُتَعَدٍّ وَكُلِّ مَعْبُوْدٍ مِنْ دُوْنِ اللهِ.
“Thâgût ialah suatu bentuk bagi setiap yang melanggar hukum, melampaui batas dan setiap yang disembah selain Allâh Swt”. Karena itu tukang sihir, dukun, yang durhaka, yang berpaling dari jalan yang benar (al-Shârifu ‘an tharîqi al-Haqq) disebut thugyân yaitu kedzhaliman.
B. Thâgût dalam Al-Qur’ân
Dalam al-Qur’ân kata thâgût terdapat pada 8 ayat, yang tersebar dalam 5 surat, yaitu Al-Baqarah 256 dan 257, Al-Nisa 51, 60 dan 76, Al-Maidah 60, Al-Nahl 36, Al-Zumar 17.
1. Al-Baqarah: 256
لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ.
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang salah. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thâgût dan beriman kepada Allâh Swt, maka sesunguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allâh Swt Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Qs. Al-Baqarah [2]:256)
Al-Maraghi (I:15) menyebutkan, kufur kepada thâgût yaitu tidak beribadah kepada makhluk, seperti kepada insân (manusia), syaithân (syaitan), watsnân (berhala), shanamân (patung), taqlîd raîs (taqlid kepada pemimpin), dan thâ’at al-Hawâ (mengikuti hawa nafsu). Dan Ibnu Al-Jauzi (I:306) menyebutkan thâgût yaitu syetan, kâhin (dukun), sâhir (tukang sihir), ashnâm (patung) annahu muradatu ahli al-Kitâb (ia memandang guna-manfaat pada Ahli kitab). Dan Shawi (I:166) menambahkan, thugyân ka al-Jabrût wa al-Malkût (kedzhaliman kekuasaan dan kerajaan). Dan al-Suyuthi (II:22) juga menambahkan yaitu,
اَلشَّيْطَانُ فِي صُوْرَةِ الإِنْسَانِ وَهُوَ صَاحِبُ أَمْرِهِمْ.
“Syetan dalam wujud manusia yang dijadikan sebagai teman untuk menyelesaikan perkara atau pelindung”
Selanjutnya, Shawi dan al-Suyuthi menyebutkan, yang dimaksud thâgût pada ayat di atas adalah mâ yu’badu min dûnillah apa yang disembah selain Allâh Swt. Bisa berupa manusia, syetan, berhala, patung, taqlid pada penguasa, mengikuti hawa nafsu, dukun, tukang sihir, membenarkan ahli kitab, dzhalim kekuasaan, menjadikan syetan dari jenis manusia sebagai tempat penyelesaian perkara. Maka ayat di atas menginformasikan, orang yang tidak beribadah kepada selain Allâh Swt, iman kepada Allâh Swt ia telah berpegang pada tali yang kuat kokoh yang tidak akan putus.
2. Al-Baqarah: 257
اللهُ وَلِيُّ الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُم مِّنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَآؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُم مِّنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُوْلَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.
“Allâh Swt Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni nereka; mereka kekal di dalamnya”. (Qs. Al-Baqarah [2]:257)
Konteks ayat ini berkaitan dengan wali (pemimpin, penasihat), yaitu wali orang mu’min adalah Allâh Swt yang mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, dan wali orang kafir adalah thâgût yang mengeluarkan manusia dari cahaya kepada kegelapan. Maka secara kontekstual, thâgût dalam ayat ini berarti yang mengeluarkan dari cahaya kepada kegelapan. Dengan jalan, antara lain yasûquhum ilâ al-Thugyân (memimpin, mengendalikan pada jalan yang dzhalim), ithfâ-u al-Haqq (memadamkan kebenaran), sharfu al-Haqq ‘anhum (memalingkan haq dari manusia) (Al-Maraghi, I:19), tazyînu quranâ-i al-Kuffâr lahum al-Bâthil (bujuk rayu teman orang kafir pada kebathilan) dan mengingkari kebenaran Rasûl Saw setelah ia tahu (Al-Jauzi, I:306). Menurut mufassir di antara Syayâthîn (syetan-syetan) adalah Ka’ab bin al-Asyraf seorang Yahudi Bani al-Nadhir (Al-Jauzi, I:306) dan Kaum yang iman kepada Nabi Isa As mereka kufur setelah Muhammad Saw diutus (Al-Suyuthi, II:23)
3. Al-Nisa: 51
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِّنَ الْكِتَابِ يُؤْمِنُونَ بِالْجِبْتِ وَالطَّاغُوتِ وَيَقُولُونَ لِلَّذِينَ كَفَرُوا هَؤُلآَءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلاً.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al-Kitab Mereka percaya kepada jibt dan thâgût, dan mengatakan kepada orang-orang kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman”. (Qs. Al-Nisa [4]:51)
Al-Maraghi (II:63) menyebutkan turun ayat ini berkaitan dengan jawaban orang-orang Yahudi seperti Huyya bin Akhthab dan yang lainnya terhadap pertanyaan musyrikin tentang agama mana yang paling baik? Agama kami! atau agama Muhammad!, mereka menjawab,
دِيْنُكُمْ خَيْرٌ مِنْ دِيْنِهِ وَأَنْتُمْ أَهْدَى مِنْهُ وَمِمَّنِ اتَّبَعَهُ.
“Agamamu lebih baik dari agama Muhammad dan kamu lebih ada dalam petunjuk daripada pengikut Muhammad”
Al-Suyuthi (II:563) menyebutkan yang berkata bahwa kafir Quraisy lebih mendapat petunjuk daripada Muhammad adalah Ka’ab bin al-Asyraf, ia adalah thâgût yang memilih kafir lebih benar daripada orang beriman. Demikian juga yang dikutip oleh Ibnu Al-Jauzi (II:51) Ka’ab bin al-Asyraf adalah thâgût. Shawi (I297) mengatakan ada 2 patung bagi orang Quraisy, al-Jibtu yaitu nama bagi setiap patung yang disembah, thâgût yaitu syetan yang bersahabat dengan patung dan berbisik pada manusia, setiap patung ada setannya yang menipu dan menyesatkan manusia.
Dengan keterangan di atas maka thâgût dalam ayat ini adalah orang yang memandang (memilih) bahwa orang yang tidak beriman lebih benar jalannya daripada orang yang beriman, ia memilih yang tidak iman daripada orang beriman, seperti Ka’ab bin Al-Asyraf. dijelaskan al-Qur’ân,
هَؤُلآَءِ أَهْدَى مِنَ الَّذِينَ ءَامَنُوا سَبِيلاً.
“Bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman”. (Qs. Al-Nisa [4]:51)
4. Al-Nisa: 60
أَلَمْ تَرَإلِىَ الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَآأُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَآأُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحاَكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thâgût, padahal mereka telah diperintah mengingkari thâgût itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya”. (Qs. Al-Nisa [4]:60)
Al-Suyuthi (II:580) dan al-Maraghi (II:76) menyebutkan, ayat ini berkaitan dengan Abû Barzah al-Aslamiy seorang Kâhin dukun Yahudi yang biasa menyelesaikan permasalahan di antara mereka. Beberapa orang muslim munafiq mendatangi Abu Barzah dan meminta dihukumi-nya. Maka Abu Barzah adalah thâgût, dia seorang kâhin. Selanjutnya al-Maraghi menyebutkan, termasuk pada bagian ini yang disebut thâgût, setiap yang datang untuk dihukumi kepada dajjâlîn seperti al-Kahanah dukun-dukun tentang masa lampau, musta’widzîn tukang sulap, ‘arrâfîn dukun tentang masa datang dan yang semisal dengannya seperti tukang ramal. Dan Shawi (I:386) menjelaskan thâgût ialah,
كُلٌّ مَاأَوْقَعَ فِي الضَّلاَلِ وَالتَّابِعُ لَهُ فِي الضَّلاَلِ.
“Setiap yang ada dalam kesesatan dan yang mengikutinya”.
Maka dari uraian di atas, thâgût dalam ayat ini ialah dajjâlîn para pembohong, seperti kâhin, musta’widz, ‘arrâfîn, dan termasuk orang yang meminta perhukuman padanya.
5. Al-Nisa 76
الَّذِينَ ءَامَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَآءَ الشَّيْطَانِ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا.
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allâh Swt, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thâgût, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah”. (Qs. Al-Nisa [4]:76)
Konteks ayat ini berkaitan dengan perjuangan. Orang Mu’min berjuang di jalan Allâh Swt, orang kafir berjuang di jalan thâgût. Al-Maraghi (II:90) menafsirkan, orang mu’min berjuang liajli i’lâ-i kalimatillah (untuk menegakan kalimat (agama) Allâh) sedangkan orang kafir berjuang iIthbâ’ân lawaswasati al-Syaithân wa tazyinân lilkufri (mengikuti bisikan syetan dan hiasan kekafiran). Maka thâgût dalam ayat ini, adalah orang yang berjuang bukan untuk agama, bukan untuk menegakkan kalimat Allâh Swt.
BACA JUGA:Jenis-Jenis Perbuatan Syirik dalam Islam dan Dampaknya terhadap Tauhid (Bagian Pertama)