Sepuluh Kesadaran Pokok untuk Meraih Kepemimpinan yang Adil
Dalam hal keimanan di dalam Islam tentu tidak perlu dijelaskan panjang lebar. Keimanan diurai dalam penjelasan rukun iman yang enam sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab akidah ahlus-sunnah. Keimanan yang tertanam dalam diri seorang pemimpin akan terlihat wujudnya dalam ketaatannya terhadap syariat Allah Swt. dan keadilan di dalam menjalankan kepemimpinanya. Oleh sebab itu, untuk menguji apakah seorang pemimpin memiliki keimanan pada Allah Swt. atau tidak pertama kali dapat dlihat dalam ketaatannya pada syari’at. Ketaatan pada syari’at ada dua hal bentuknya. Pertama yang berhubungan dengan Allah Swt. yang wujudnya kemauan untuk menjalankan semua kewajiban dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Kedua, yang berhubungan dengan sesama makhluk. Ketaatan pada syari’at dari seorang pemimpin dalam hubungan dengan sesama makhluk ini disebut sebagai “keadilan”. Keadilan dapat mewujud dalam diri seorang pemimpin yang beriman bila terdapat sepuluh karakter berikut ini dalam dirinya.
Pertama, seorang pemimpin dapat berbuat adil apabila dia tahu apa manfaat dan bahaya dari kekuasaan yang dipegang bagi dirinya. Kalau dia melaksanakan tugas sebagaimana mestinya, tanpa menguranginya dan tanpa mengkhianatinya untuk kepentingan memenuhi hawa nafsunya, maka ia akan mendapatkan keberuntungan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, kalau kekuasaan yang dipegangnya dikhianati dan diselewengkan, ia akan mendapatkan siksa penuh kengerian di dunia dan akhirat. Kalau seorang pemimpin tidak pernah memiliki kesadaran seperti ini, apalagi menganggap kekuasaan semata-mata anugerah yang hanya akan memberikan manfaat pada dirinya tanpa menyadari adanya ancaman bahaya dari kekuasaan yang dipegangnya, maka ia akan cenderung mengeksploitasi kekuasaan hanya untuk memenuhi keinginan hawa nafsunya. Dari sinilah potensi kezhaliman dan ketidakadilan bermula. Penguasa seperti ini akan dekat dengan angkara murka.
Kedua, seorang pemimpin dengan keimanan yang kuat selalu ingin menemui para ulama untuk mendengarkan nasihat mereka; dan menghindari ulamâ’ sû’ (ulama jahat) yang hanya mencari kehidupan dunia. Ulama su’ biasanya berciri selalu menyanjung agar mendapatkan apa yang mereka inginkan dari dunia seperti harta kekayaan, kedudukan, atau privilege (perlakuan khusus) karena dekat dengan penguasa. Sedangkan ulama yang sungguh-sungguh harus dikejar dan didengar nasihatnya adalah yang tidak menginginkan fasilitas karena dekat dengan penguasa dan mau memberikan nasihat secara proporsional; tidak takut mengritik, meluruskan, dan mengingatkan bila si penguasa berbuat kesalahan, melanggar ajaran Allah Swt. Pemimpin yang ingin menjadi adil bukan menunggu ada yang memberikan nasihat, melainkan harus aktif mendengarkan nasihat-nasihat. Sebab, seseorang yang sudah berada di puncak kekuasaan, pada umumnya sedikit yang berani memberikan nasihat. Umumnya orang ingin dekat dan menjilat. Padahal, semakin tinggi posisi seseorang terpaan angin akan semakin kencang. Oleh sebab itu, pemimpin yang ingin tetap menjaga sikap adilnya harus menyengajakan diri mencari nasihat dari orang-orang yang ikhlas, tidak berkepentingan atas dirinya selain agar tetap berada dalam kebenaran.
Ketiga, pemimpin yang adil tidak hanya bertekad diri sendiri tidak berlaku zhalim, tetapi juga harus mencegah kezhaliman dilakukan oleh bawahan dan pembantunya. Seorang pemimpin harus sadar bahwa pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. bukan hanya tentang apa yang dilakukannya, melainkan juga tentang apa yang dia lakukan untuk mengarahkan, mendidik, dan mengendalikan bawahan-bawahannya. Bila ada bawahan yang melakukan penyimpangan dan kezhaliman karena kelalaian dari pemimpinnya, maka tanggungjawab di hadapan Allah Swt. juga akan kembali kepadanya. Oleh sebab itu, ia akan berusaha sekuat tenaga memilih pembantu-pembantunya yang baik dan serius mengarahkan mereka agar selalu berada di jalan Allah Swt.
Keempat, pemimpin yang baik dapat mengendalikan amarah dan emosi. Seorang pemimpin biasanya sombong. Di antara ciri kesombongannya, jika marah seringkali melampiaskan kemarahannya dengan menghukum orang yang dimarahinya tanpa ampun. Hukuman yang diberikan bahkan sering melampaui batas dan zhalim. Oleh sebab itu, agar tidak kehilangan kendali akal sehat dan tetap dapat melihat segala sesuatu secara adil dan proporsional, seorang pemimpin jangan mudah tersulut amarah. Jikapun dilanda kemarahan, harus mudah memaafkan. Mudah memaafkan kesalahan orang lain adalah kendali amarah yang paling baik. Dengan terkendalinya amarah, maka setiap kesalahan yang dilakukan oleh bawahan atau rakyat akan dilihat secara proporsional, tidak berlebihan. Dengan begitu, ia tetap menggunakan akal sehatnya untuk tetap berpegang pada kebenaran. Kalaupun harus menjatuhkan hukuman, sesuai dengan kekeliruan dan kesalahan hanya sekedar untuk menciptakan efek jera.
Kelima, seorang pemimpin akan dapat berbuat adil saat ia bisa merasakan diri sebagai rakyat saat mengambil keputusan untuk rakyat. Ia dapat berempati dan memosisikan kebijakan itu seolah-olah akan mengenainya. Jika ia sendiri merasakan ketidaknyamanan atas keputusan itu, tentu orang lain pun sama. Misalnya, ia menetapkan pajak yang tinggi. Sebelum keputusan itu diambil, rasakan oleh dirinya bagaimana jika ia yang harus membayar pajak itu sebagai rakyat biasa. Apabila ternyata dia merasa berat harus membayar pajak sebesar itu, maka begitulah yang dirasakan orang lain. Dengan begitu, ia selalu dapat mengambil keputusan yang tidak menzhalimi rakyatnya.
BACA JUGA: Sifat Dasar Pemimpin, Trilogi Tahdzibat