Keenam, seorang pemimpin yang adil adalah mereka yang tidak suka menunda pelayanan kebutuhan rakyatnya. Bahkan, ia lebih mendahulukan melayani urusan rakyat dibandingkan mengerjakan ibadah sunnah. Ia tidak merasa rendah saat harus segera melayani urusan rakyat. Ia harus berjuang membuang perasaan seperti itu, karena umumnya seorang pemimpin memiliki sifat sombong dan tinggi hati. Ia merasa rendah dan turun derajatnya saat ada rakyatnya yang meminta tolong sesuatu padanya lalu ia segera menunaikannya. Penunaian kebutuhan rakyat dengan segera sering dianggap sebagai tindakan yang rendah secara hawa nafsu. Rakyat itu rendah kedudukannya; mengikuti keinginan rakyat dengan segera juga dianggap tindakan merendahkan diri. Sikap ini harus diredam dan dihindari oleh seroang pemimpin agar ia bisa menjadi pemimpin yang adil,
Ketujuh, pemimpin yang baik tidak membiasakan diri hidup dengan fasilitas yang mewah. Hawa nafsu mendorong manusia untuk menyibukkan diri dengan hal-hal yang serba mahal, mewah, dan berlebihan dalam bentuk kendaraan, pakaian, makanan, tempat tinggal, dan lainnya. Tidak ada ajaran Rasulullah Saw. dan contoh dari kehidupan para salafus-shâlih yang mengajarkan hidup mewah dan berlebihan sekalipun fasilitas untuk itu tersedia. Para pemimpin shalih dan adil pada masa lalu selalu hidup secara sederhana (qanâ’ah). Sejarah juga mengajarkan bahwa kehancuran dinasti-dinasti Islam selalu disebabkan karena kehidupan mewah para pemimpinnya. Kehidupan mewah akan menghalangi keadilan. Tidak ada keadilan tanpa sikap qanâ’ah dalam hidup; menerima apa adanya yang disediakan Allah Swt., tidak memaksakan mengadakan sesuatu secara berlebihan.
Kedelapan, pemimpin yang baik adalah yang memperlakukan rakyatnya dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, bukan dengan ancaman. Pemimpin adalah pemegang kuasa. Kekuasaan menjadi efektif karena ada kekuatan koersif (memaksa) yang menyertainya. Penguasa suatu negara dilengkapi dengan alat keamanan (polisi) dan pertahanan (tentara) yang memiliki persenjataan lengkap. Penguasa juga memiliki alat-alat hukum dan perangkat kekuasaan lainnya yang dapat digunakan untuk mengancam rakyatnya. Tidak sedikit pemimpin yang mudah sekali menebar ancaman kepada siapa saja yang dihadapinya. Apalagi pemimpin yang sombong. Bila punya keinginan dan tidak dituruti oleh orang lain, segeralah keluar ancaman dari mulutnya. Saat menyampaikan suatu program kepada masyarakat, yang lebih didahulukan adalah ancaman bukan persuasi. Padahal, seorang pemimpin akan dihormati dan dihargai apabila perlakuan pada rakyat diawali dengan pendekatan persuasif-dialogis yang berlandasakan kasing sayang dan keinginan baik untuk rakyatnya.
Kesembilan, pemimpin yang baik berusaha melakukan hal-hal yang disenangi rakyatnya, namun tidak bertentangan dengan syariat Allah Swt. Akan tetapi, untuk mengukur keridhaan rakyat jangan tertipu dengan orang yang berusaha ingin mendekatinya dan terus memuji-mujinya. Jangan dianggap pandangan rakyat seperti pandangan penjilat itu. Ia justru harus mencari orang yang terpercaya, jujur, dan stiqah yang tidak segan-segan menyampaikan kritik rakyat atas tindakan-tindakannya.
Kesepuluh, pemimpin yang adil tidak akan berusaha mencari dukungan dan keridhaan dari rakyat dalam perkara yang bertentangan dengan syariat. Dibenci orang karena berpegang pada syariat tidak akan membahayakannya. Ia yakin kekuatan Allah Swt. lebih kuat daripada ancaman manusia. Oleh sebab itu, dalam mengambil kebijakan atau menjalan suatu pekerjaan, yang terlebih dahulu menjadi pertimbangan adalah keridhaan Allah Swt.. Setelah itu, barulah diperhatikan apa yang disenangi rakyat. Walaupun tidak disenangi rakyat, tapi muwâfaqah (sesuai) dengan syariat Allah Swt., tidak masalah baginya.
Kesepuluh hal di atas akan berjalan dan tertanam dengan baik apabila didahului dengan ketaatan kepada Allah Swt., menjaga hak-hak Allah Swt. dengan baik melalui ibadah pada-Nya, baik yang wajib maupun yang sunnah. Tambahan lagi, ia akan semakin kuat menjalan kesepuluh riteria di atas apabila ia memahami betul tercelanya dunia. Ia tahu rendahnya dunia sehingga tidak ada dalam pikirannya hidup dan bekerja untuk tujuan duniawi seperti menumpuk harta, mempertinggi jabatan, mencari kemasyhuran, menikmati wanita, dan semisalnya. Semua itu disadarinya sebagai hal yang fana’ dan sementara. Kalaupun dunia itu harus dimiliki sama sekali bukan sebagai tujuan, melainkan sebagai wasilah dan alat untuk mencapai tujuan tertinggi, yaitu ridha Allah Swt. Selain itu, ia juga harus memiliki kesadaran tentang nasib hidupnya nanti di akhirat. Ia tidak ingin hidup di dunia ini sejahtera, tetapi di akhirat hancur. Ia sadar bahwa nanti akan berhadapan dengan pengadilan Allah Swt. Ia harus selamat dari pengadilan itu. Motivasi dasar ini akan memunculkan dengan mudah kesepuluh sifat-sifat di atas.
BACA JUGA: Larangan Memilih Pemimpin Non Muslim adalah Final dan Tidak Multi Tafsir