Ketika Menjadi Sederhana adalah Pilihan Seorang Guru

oleh Ismail Fajar Romdhon

24 Oktober 2025 | 07:15

Ketika Menjadi Sederhana adalah Pilihan Seorang Guru

Ketika Menjadi Sederhana adalah Pilihan Seorang Guru

Oleh. Usman Adhim Hasan

"Pemerhati Pendidikan & KHI"



Menjadi sederhana bukan karena tidak mampu hidup lebih dari sekadar cukup. Kadang, itu adalah pilihan sadar, keputusan hati yang memahami bahwa kemuliaan bukan diukur dari banyaknya harta, tetapi dari sejauh mana seseorang menjaga ketulusan niatnya.


Hidup pas-pasan, apa adanya, tampak sederhana di mata dunia, tapi sesungguhnya itulah keindahan hidup seorang guru. Sebab begitulah cara Allah menjaga hati mereka dari keserakahan, dari kebanggaan yang lahir karena harta. Allah berfirman:


وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ اِلٰى مَا مَتَّعْنَا بِهٖٓ اَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاەۙ لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِۗ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَّاَبْقٰ


Artinya ; “Dan janganlah engkau tujukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka (orang-orang kafir), sebagai bunga kehidupan dunia, untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.” (QS. Thaha : 131)


Namun di sisi lain, ada kenyataan yang juga indah untuk direnungkan. Ternyata, tidak sedikit guru yang hidup sederhana, tapi anak-anaknya diberi kehidupan yang lebih baik. Mereka bisa menyekolahkan anak hingga menjadi dokter, insinyur, bahkan belajar ke luar negeri.

Jika dipikir-pikir, dengan penghasilan yang terbatas, bagaimana mungkin itu terjadi? Logika dunia mungkin tidak menemukan jawabannya, tetapi di situlah letak rahasia Allah.


Kisah Guru dan "Sepatu" Anaknya


Ada seorang guru tua yang setiap hari berangkat mengajar dengan sepatu yang mulai usang. Murid-muridnya tahu, tapi beliau tidak pernah mengeluh. Setiap bulan, gajinya habis untuk biaya sekolah anak-anaknya.

Suatu hari, seorang murid bertanya lirih,


“Pak, kenapa Bapak tidak beli sepatu baru?”


Guru itu tersenyum, dan berkata ; “Sepatu ini masih bisa dipakai. Tapi anakku perlu buku, dan buku itu sepatu bagi langkah masa depannya.”


Tahun berganti, anak-anak guru itu tumbuh. Salah satu menjadi dokter, yang lain menjadi dosen, dan satu lagi pulang dari luar negeri dengan gelar dan bakti untuk negeri.

Mereka sering berkata ; "Kami besar bukan karena harta Bapak, tapi karena kesederhanaan dan doanya yang tak pernah putus.”


Rasulullah S.A.W. bersabda:


لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ. ( رواه البخاري و مسلم)


Artinya ; “Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Guru yang kaya hati itulah yang sering Allah cukupkan dalam kekurangannya. Sebab dari tangan-tangan yang ikhlas, Allah bukakan pintu rezeki dari arah yang tak terduga. Dalam kesahajaan mereka, Allah titipkan keberkahan — bukan hanya untuk diri mereka, tetapi juga untuk generasi yang mereka didik dan anak-anak yang mereka besarkan.


Maka kesederhanaan bukanlah tanda menyerah pada keadaan. Ia adalah cara hidup yang menjaga kemurnian jiwa dan menjauhkan dari kesombongan dunia. Guru tidak akan diangkat derajatnya dengan banyaknya harta yang diraih, tapi dengan jiwa yang tak pernah letih mendidik dengan sabar, tulus, dan penuh tanggung jawab.


Maka biarlah seorang guru hidup sederhana, tapi berhati lapang. Karena di balik kesahajaan seorang guru, Allah sering menanamkan keajaiban - keajaiban dari hati yang ikhlas, yang mengajarkan bukan hanya ilmu, tapi juga arti kehidupan.


BACA JUGA:

Do'a Untuk Keteguhan Hati Dalam Agama