Menumbuhkan Maskulinitas Anak Laki-Laki untuk Mencegah Penyimpangan Seksual

oleh Redaksi

27 April 2025 | 08:51

Menumbuhkan Maskulinitas Pada Anak Laki-Laki

Oleh: Dr. Fenti Inayati, S.Pd.I., M.Ag.

Bidgar SDM PD PERSISTRI Kab. Garut


Setiap anak dilahirkan dengan peran dan tanggung jawab sesuai dengan gender mereka (sebagai laki-laki atau perempuan) yang telah ditentukan oleh Allah. Dalam surat asy-Syûro ayat 49-50, Allah menjelaskan bahwa Anak perempuan kelak akan berperan menjadi seorang istri & ibu, sementara anak laki-laki kelak akan berperan sebagai suami & ayah. Perbedaan jenis kelamin ini merupakan bagian dari design langsung dari Allah yang harus diakui dan dipahami (QS Ali Imran ayat 36).  


Pendidikan seksual (tarbiyah jinsiyyah) dalam Islam memegang urgensi yang penting. Melalui pendidikan tersebut, anak-anak dapat mengenal identitas seksual mereka, memahami peran seksualitas yang sesuai dengan gender mereka, dan melindungi diri dari kejahatan seksual dan penyimpangan. Jika tarbiyah jinsiyyah diabaikan oleh orang tua maka dikhawatirkan anak-anak mengalami penyimpangan-penyimpangan seksualitas seperti fenomena LGBT. 


Di dalam tulisan ini, penulis akan secara khusus membahas tentang menumbuhkan maskulinitas (ar-Rujûlah) pada anak laki-laki. Sebab angka penyimpangan seksual jenis Gay (laki-laki senang laki-laki) akhir-akhir bisa disebut sangat mengkhawatirkan. Tentu banyak faktor yang mendorong seseorang menyukai sesama jenis, dan salah satu faktor tersebut adalah kurangnya pendidikan maskulinitas pada anak sejak dini.


Syaikh Muhammad Shâlih al-Munajjid, seorang ulama yang produktif, menguraikan berbagai hadis Nabi Muhammad Saw yang membahas pendidikan anak laki-laki untuk memelihara dan mengembangkan sifat maskulinitasnya. Ini termasuk cara-cara mendidik yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, baik secara langsung maupun melalui teladan yang diberikan oleh orang tua dan para pendidik. Di antara strategi yang digunakan oleh Rasulullah Saw. dalam menumbuhkan ar-Rujûlah (maskulinitas) pada anak laki-laki sebagai berikut : 



Pertama: Takanniyah (Memberi Kunyah Pada Anak)


Strategi pertama untuk menumbuhkan maskulinitas pada anak adalah memberi julukan (kunyah). Panggilan anak laki-laki bisa dengan "Abu Fulan" dan anak perempuan dengan "Ummu Fulan". Pola ini secara tidak langsung dapat mengembangkan rasa tanggung jawab, membuat anak merasa lebih dewasa karena kunyah. Cara ini juga merupakan panggilan kehormatan dalam budaya Arab yang menggantikan nama asli seseorang, seperti "Abu" dan "Ibnu" untuk laki-laki, serta "Ummu" dan "Bintu" untuk perempuan, ditambahkan dengan nama anak laki-laki pertama mereka, atau sesuai tradisi yang berlaku.


Pemberian kunyah juga dilakukan oleh Nabi Saw kepada anak-anak kecil, sebagaimana yang dituturkan oleh Anas bin Mâlik Ra:


عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا وَكَانَ لِي أَخٌ يُقَالُ لَهُ أَبُو عُمَيْرٍ قَالَ أَحْسِبُهُ فَطِيمًا وَكَانَ إِذَا جَاءَ قَالَ يَا أَبَا عُمَيْرٍ مَا فَعَلَ النُّغَيْرُ نُغَرٌ كَانَ يَلْعَبُ بِهِ فَرُبَّمَا حَضَرَ الصَّلَاةَ وَهُوَ فِي بَيْتِنَا فَيَأْمُرُ بِالْبِسَاطِ الَّذِي تَحْتَهُ فَيُكْنَسُ وَيُنْضَحُ ثُمَّ يَقُومُ وَنَقُومُ خَلْفَهُ فَيُصَلِّي بِنَا


Dari Anas ra, ia berakta: “Nabi Saw adalah manusia yang paling baik akhlaknya. dan aku memiliki adik laki-laki yang dipanggil Abu Umair. Dia (perawi hadis) berkata: “Aku menduga Anas mengatakan bahwa adiknya itu sudah disapih.” Anas melanjutkan: Apabila Rasulullâh Saw datang dan melihat adikku, beliau menyapa: “Wahai Abu ‘Umair, apa yang sedang dilakukan si nughair (burung pipit)?” yaitu burung kecil yang biasa dia bermain dengannya. [HR Bukhari : 5735]


Nilai Pendidikan dari hadis tersebut bahwa memberikan julukan (kuniyah) kepada anak-anak adalah penghargaan dalam budaya Arab serta tradisi Islam yang mapan untuk menumbuhkan maskulinitas dan memperlihatkan nilai-nilai tanggung jawab. Julukan seperti "Abu" atau "Ummu", digunakan oleh Nabi Muhammad Saw untuk memberikan penghargaan kepada anak-anak, menunjukkan sikap penuh kasih sayang dan perhatian beliau terhadap mereka sekaligus cara untuk membangun rasa dewasa dan tanggung jawab pada anak-anak. 


Penggunaan kunyah ini memiliki dampak positif yang signifikan, seperti meningkatkan rasa percaya diri dan semangat hidup anak, karena nama tersebut dapat menjadi simbol keberkahan dan harapan masa depan, misalnya Abu Fathan dengan harapan anak menjadi cerdas di masa depan. Namun, penggunaan kunyah yang negatif atau mengandung pelecehan dapat menurunkan rasa percaya diri anak dan mengganggu psikologisnya, bahkan dapat menjadi penyebab bullying di lingkungan sosialnya. Oleh karena itu, dalam Islam, pemilihan nama panggilan yang baik dianggap sebagai doa yang memuat harapan untuk masa depan si anak, sehingga orang tua perlu memperhatikan dengan seksama dalam memberikan kunyah kepada anak mereka untuk menjaga kesejahteraan psikologis dan sosialnya.


Kedua: Melibatkan Anak dalam pertemuan Orang Dewasa dan Mengintegrasikan Mereka dalam Komunitas Dewasa


Membawa anak laki-laki ke tempat-tempat pertemuan orang dewasa adalah cara untuk menumbuhkan sikap maskulin mereka. Dengan cara tersebut dapat meningkatkan pemahaman dan kemampuan akalnya, dan dapat mengalihkannya dari perbuatan sia-sia dan permainan yang menghabiskan waktu. Sehingga anak tidak menghabiskan seluruh waktunya hanya dengan bermain-main saja.


Contoh yang dilakukan oleh para sahabat, mereka membawa serta anak-anak mereka ke majelis Nabi Saw. Di antara kisah yang menceritakan hal ini adalah riwayat yang berasal dari Mu’âwiyah bin Qurroh, dari ayahnya berkata:


عَنْ قُرَّةَ قَالَ كَانَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا جَلَسَ يَجْلِسُ إِلَيْهِ نَفَرٌ مِنْ أَصْحَابِهِ وَفِيهِمْ رَجُلٌ لَهُ ابْنٌ صَغِيرٌ يَأْتِيهِ مِنْ خَلْفِ ظَهْرِهِ فَيُقْعِدُهُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَهَلَكَ فَامْتَنَعَ الرَّجُلُ أَنْ يَحْضُرَ الْحَلْقَةَ لِذِكْرِ ابْنِهِ فَحَزِنَ عَلَيْهِ فَفَقَدَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَالِي لَا أَرَى فُلَانًا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ بُنَيُّهُ الَّذِي رَأَيْتَهُ هَلَكَ فَلَقِيَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُ عَنْ بُنَيِّهِ فَأَخْبَرَهُ أَنَّهُ هَلَكَ فَعَزَّاهُ عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ يَا فُلَانُ أَيُّمَا كَانَ أَحَبُّ إِلَيْكَ أَنْ تَمَتَّعَ بِهِ عُمُرَكَ أَوْ لَا تَأْتِي غَدًا إِلَى بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ إِلَّا وَجَدْتَهُ قَدْ سَبَقَكَ إِلَيْهِ يَفْتَحُهُ لَكَ قَالَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ بَلْ يَسْبِقُنِي إِلَى بَابِ الْجَنَّةِ فَيَفْتَحُهَا لِي لَهُوَ أَحَبُّ إِلَيَّ قَالَ فَذَاكَ لَكَ


Dari Qurrah dia berkata; "Adalah kebiasaan Nabi Saw jika sedang duduk, beberapa orang dari sahabatnya duduk menemaninya. Diantara mereka ada seorang yang memiliki anak kecil yang mendatangi beliau dari belakang punggungnya, lalu beliau mendudukkan di depannya. Pada suatu hari anak itu meninggal dunia. Maka orang tersebut berhalangan untuk menghadiri majelis karena ingat anaknya, ia bersedih atas kematiannya. Lalu Nabi Saw merasa kehilangan dan bertanya: "Mengapa aku tidak melihat si fulan?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah Saw, Anak kecilnya yang engkau lihat telah meninggal dunia," lalu Rasulullah Saw bertemu dengannya dan bertanya tentang anaknya? Ia memberitahukan bahwa anaknya telah meninggal dunia, lalu beliau melawatnya, kemudian bersabda: "Wahai fulan, manakah yang lebih engkau cintai, engkau menikmati umurmu bersama anakmu? Atau kelak engkau tidak mendatangi salah satu pintu surga kecuali engkau mendapatkan anakmu telah mendahuluimu lalu membukakannya untukmu?" ia menjawab; "Wahai Nabi Allah, bahkan jika ia mendahuluiku menuju pintu surga lalu ia membukakannya untukku lebih aku cintai." Beliau bersabda: "Itulah bagianmu." [HR an-Nasâ`i dengan sanad yang shahih].


Nilai Pendidikan dari hadis tersebut bahwa partisipasi anak dalam pertemuan orang dewasa dan integrasi mereka dalam komunitas dewasa adalah strategi efektif untuk membangun sikap maskulin. Praktik ini tidak hanya mengalihkan anak dari aktivitas yang sia-sia dan permainan semata, tetapi juga membantu mereka mengembangkan pemahaman dan keterampilan intelektual yang lebih matang. 


Hadis riwayat Mu'awiyah bin Qurroh tentang seorang sahabat yang kehilangan anak kecilnya dan mendapat dukungan moral langsung dari Nabi Saw menunjukkan betapa beliau menghargai keterlibatan anak dalam kehidupan komunitas. Mengajak anak ke pertemuan umum tidak hanya memperluas jaringan sosial mereka, tetapi juga memungkinkan mereka untuk mempelajari etika, nilai-nilai moral, dan pengembangan karakter yang positif dari orang dewasa. 


Ketiga: Peran Ayah dalam Membentuk Keberanian Anak laki-laki


Tujuan pendidikan dari peran ayah dalam membentuk keberanian anak laki-laki adalah untuk mengilhami dan membimbing mereka agar tumbuh dengan memiliki keberanian yang kuat, serta mengembangkan karakteristik maskulin yang positif. Ayah memegang peranan sentral dalam memberikan teladan tentang bagaimana menghadapi tantangan dengan integritas dan keberanian yang tidak tergoyahkan, sehingga anak laki-laki dapat menginternalisasi nilai-nilai tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Hal ini tergambar dalam hadis berikut : 


أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلزُّبَيْرِ يَوْمَ الْيَرْمُوكِ أَلَا تَشُدُّ فَنَشُدَّ مَعَكَ فَقَالَ إِنِّي إِنْ شَدَدْتُ كَذَبْتُمْ فَقَالُوا لَا نَفْعَلُ فَحَمَلَ عَلَيْهِمْ حَتَّى شَقَّ صُفُوفَهُمْ فَجَاوَزَهُمْ وَمَا مَعَهُ أَحَدٌ ثُمَّ رَجَعَ مُقْبِلًا فَأَخَذُوا بِلِجَامِهِ فَضَرَبُوهُ ضَرْبَتَيْنِ عَلَى عَاتِقِهِ بَيْنَهُمَا ضَرْبَةٌ ضُرِبَهَا يَوْمَ بَدْرٍ قَالَ عُرْوَةُ كُنْتُ أُدْخِلُ أَصَابِعِي فِي تِلْكَ الضَّرَبَاتِ أَلْعَبُ وَأَنَا صَغِيرٌ قَالَ عُرْوَةُ وَكَانَ مَعَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ يَوْمَئِذٍ وَهُوَ ابْنُ عَشْرِ سِنِينَ فَحَمَلَهُ عَلَى فَرَسٍ وَوَكَّلَ بِهِ رَجُلًا


Telah mengabarkan kepada kami [Hisyam bin 'Urwah] dari [bapaknya] bahwa Para sahabat Nabi Saw berkata kepada Az Zubair dalam perang Yarmuk: "Mengapa kamu tidak menerobos barisan musuh agar kami turut menerobos bersamamu?" Az Zubair berkata: "Jika aku menerobos, kalian tentu akan berbohong." Mereka berkata: "Kami tidak akan melakukannya." Lantas Az Zubair menyerang musuh hingga dapat menerobos barisan mereka bahkan sampai mampu melewati mereka sementara tidak ada satu orang pun (dari mereka yang meminta agar dia menyerang) yang mengikutinya menyerang musuh. Kemudian dia kembali menghadap kepada musuh. Maka musuh itu mengambil tali kekang kudanya kemudian memukul Az Zubair dengan dua tusukan pada pundaknya. Di antara dua tusukan tersebut, satu tusukan dialaminya pada perang Badar. 'Urwah berkata: Aku pernah memasukkan jariku pada (lubang) bekas tusukan itu untuk mempermainkannya, saat itu aku masih kecil. 'Urwah melanjutkan: Saat itu bersamanya ada Abdullah bin Az Zubair yang masih berusia sepuluh tahun, yang diletakkan di atas seekor kuda dan dijaga oleh seorang laki-laki. [HR Bukhari : 3678].


Ibnu Hajar rahimahullâhu berkata di dalam Syarh-nya tentang hadis ini: “Seakan Az-Zubair senang anaknya memiliki keberanian dan terampil berkuda, maka beliau letakkan putranya di atas kudanya. Lantaran beliau khawatir kudanya diserang, maka beliau tugaskan seorang laki-laki untuk menjaganya dari tipu daya musuh di saat Az-Zubair sedang sibuk berperang.”


Hadis tentang Az-Zubair membawa putranya Abdullah bin Az-Zubair ke medan perang Yarmuk menyoroti nilai-nilai pendidikan yang krusial dalam Islam, terutama mengenai keberanian dan integritas. Az-Zubair menunjukkan ketegasan dalam mempertahankan prinsipnya ketika menolak untuk menerobos barisan musuh dengan alasan menghindari tipu daya, tetapi kemudian memilih untuk beraksi sendiri dengan berani. Tindakan ini tidak hanya menunjukkan keberanian seorang prajurit, tetapi juga memberikan teladan yang kuat tentang pentingnya mempertahankan nilai-nilai moral dalam setiap situasi. Abdullah bin Az-Zubair, yang hadir saat itu, bisa belajar langsung tentang keberanian dan keteguhan batin dari ayahnya, yang tidak terpengaruh oleh tekanan eksternal.


Kisah ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana seorang ayah dalam Islam tidak hanya menjadi teladan dalam tindakan fisik, tetapi juga dalam keberanian moral dan perhatian terhadap pendidikan anak. Dengan demikian, cerita Az-Zubair dan Abdullah bin Az-Zubair di perang Yarmuk menggambarkan bahwa pengajaran nilai-nilai keberanian, integritas, dan perhatian terhadap pendidikan anak merupakan bagian esensial dari pendidikan dalam Islam, sekaligus memperlihatkan kekuatan teladan dari seorang ayah yang berpengaruh.


Keempat: Membentuk Etika: Mengajarkan Anak Menghormati Mereka yang Lebih Tua


Tujuan dari mengajarkan anak laki-laki melalui adab terhadap yang lebih tua adalah untuk mengembangkan sikap hormat dan kesadaran terhadap perbedaan usia, yaitu untuk menghargai dari yang kecil kepada yang lebih tua. Di antara contoh hal ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ra dari Nabi Saw, bahwa beliau bersabda :


"لِيُسَلِّمِ الصغيرُ على الكبيرِ، والمارُّ على القاعدِ، والقليلُ على الكثيرِ" وفي رواية: "والراكبُ على الماشي". [متفق عليه]


“Hendaknya yang muda memberi salam kepada yang tua, yang berjalan kepada yang duduk, dan yang sedikit kepada yang banyak.” [HR Muttafaq ‘alaih]


Nilai Pendidikan adab terhadap yang lebih tua merupakan fondasi penting dalam pengembangan karakter anak-anak dalam Islam. Nilai-nilai seperti kesabaran, kesediaan untuk belajar, kesadaran akan posisi, dan kesediaan untuk berkorban, yang ditanamkan melalui menghormati yang lebih tua, tidak hanya mengajarkan anak tentang norma sosial, tetapi juga mengembangkan sifat-sifat maskulinitas yang esensial. Seperti dalam hadis di atas, Nabi Muhammad Saw mengajarkan anak-anak untuk memberi salam kepada yang lebih tua sebagai bagian dari etika yang mendalam dalam Islam, yang membangun dasar penghormatan terhadap otoritas dan pengakuan terhadap hierarki usia.


Menurut teori Jean Piaget, penghormatan terhadap yang lebih tua membantu dalam pembentukan identitas gender anak-anak dengan memperkenalkan mereka pada peran-peran yang diharapkan dalam masyarakat. Misalnya, dalam budaya Islam yang mengajarkan penghormatan yang tinggi terhadap orang tua dan yang lebih tua, anak laki-laki diajarkan untuk menghormati ayah mereka sebagai figur otoritatif dalam keluarga. Dengan mengikuti norma-norma sosial ini, anak laki-laki belajar tidak hanya mengenali peran mereka sebagai pengayom dan pemimpin dalam keluarga, tetapi juga menanamkan sikap hormat dan tanggung jawab sebagai aspek kunci dari identitas mereka sebagai laki-laki dalam agama Islam.


(Bersambung....)


BACA JUGA:

Boleh Jadi, Ibulah Penyebab Hilangnya Peran Ayah

Reporter: Redaksi Editor: Ismail Fajar Romdhon