Oleh sebab itu, untuk mencegah munculnya pemimpin yang zhalim, maka umat perlu memilih pemimpin yang memiliki sifat-sifat seperti yang dijelaskan oleh Imam Ghazali di atas. Pemimpin dengan sebelas karakter di atas walaupun sulit untuk ditemukan harus menjadi prioritas yang harus didukung. Sebab, pemimpin dengan sifat-sifat di atas akan lebih dekat pada keadilan. Keadilan seorang pemimpin akan dirasakan oleh seluruh masyarakat bukan hanya oleh sebagian yang mendukungnya. Mendapatkan pemimpin yang adil adalah anugerah. Selain amanat umat dapat tertunaikan dengan baik, pemimpin adil akan membuka pintu-pintu keberkahan dari langit.
Hanya saja, memilih pemimpin yang baik seringkali terhalang oleh pragmatisme pemilih. Banyak pemilih yang malas mencari tahu dan mengenali calon pemimpinnya. Kemalasan ini kemudian diperparah dengan perilaku calon pemimpin zhalim yang memanfaatkan situasi ini dengan mengandalkan kekuatan uang dan materi. Di tengah ketidaktahuan masyarakat itu, uang dan sogokan akhirnya menentukan pilihan. Muncullah kemudian pembenaran bahwa siapa saja yang ingin dipilih, maka bayaran kepada calon pemilih harus paling besar. Bagi calon yang tersedia dana besar akan dengan mudah masuk dan memengaruhi calon pemilih. Sebaliknya, calon yang ingin berusaha bersih sejak dini akan sangat kesulitan untuk memengaruhi masyarakat, walaupun memiliki kelayakan dan kapasitas untuk menjadi pemimpin.
Pragmatisme ini juga banyak melanda simpul-simpul masa seperti ormas, kiai, tetua kampung, lembaga pendidikan, dan semisalnya. Pilihan-pilihan pada calon pemimpin lebih didasarkan pada faktor pragmatis apa yang diberikan calon kepada kelompoknya. Seringkali soal gagasan untuk mewujudkan keadilan politik di negeri ini hanya menjadi lagu kenangan yang kapan-kapan kalau senggang dan sedang romantik diputar lagi. Wacana keadilan dianggap wacana usang karena dianggap penuh aroma kekalahan, sebab kemenangan hanyalah soal uang dan fasilitas besar kekuasaan. Sungguh ini godaan dan tantangan terberat yang dihadapi umat untuk mewujudkan kepemimpinan dan kekuasaan yang adil.
Apabila simpul-simpul masa yang selama karirnya memperjuangkan nilai dan menjadi garda pemelihara gagasan dan idealisme tiba-tiba luluh bersimpuh di hadapan pragmatisme kekuasaan hanya karena janji-janji materi atau jabatan, entah simpul masa mana lagi yang akan menjadi penjaga cita-cita? Di tangan kaum pragmatis idealisme dan cita-cita hanya seonggok cerita hingga sang penjaga cita-cita akan sulit bicara. Padahal, bicara adalah medium utama untuk ber-amar ma’ruf dan nahyi munkar untuk mengingatkan tentang cita-cita dan idealisme.
Nasihat Imam Al-Ghazali untuk Muhammad bin Maliksyah hendaknya menjadi teladan. Kedekatan Imam Al-Ghazali kepada ayahnya Sultan Maliksyah dahulu dan reputasinya sebagai pimpinan di Madrasah Nizhamiyah Baghdad yang tersohor sesungguhnya memudahkan Imam Al-Ghazali untuk mendapatkan keuntungan kekuasaan bagi dirinya atau kelompoknya. Akan tetapi, saat diminta untuk menyampaikan sesuatu kepada Sultan Muhammad yang baru saja naik menggantikan tahta ayahnya Sultan Maliksyah, Imam Al-Ghazali tetap memilih menjadi penjaga moral, cita-cita, dan gagasan. Kekuatan pemeliharaan atas cita-cita dan gagasan inilah yang menurut Majid Irsan Al-Kilani dalam Hâkadzâ Zhahara Jîl Shalâhuddîn Hâkâdzâ ‘Adat Al-Quds telah menjadi jembatan lahirnya generasi Shalahuddin Al-Ayyubi dan Nuruddin Zanki yang sanggup merebut kembali Baitul Maqdis dari tangan Pasukan Salib pada tahun 1187 M, beberapa puluh tahun setelah Imam Ghazali meninggal. Semoga kita pun dapat turut meneladaninya. Wallâhu a’lamu bi ash-shawwâb.
BACA JUGA: Iman Pangkal Kekuasaan