Studi Komparatif Terhadap Dua Model Lembaga Pendidikan Islam dalam Menanamkan Kedisiplinan

oleh Ismail Fajar Romdhon

08 September 2025 | 20:41

Studi Komparatif Terhadap Dua Model Lembaga Pendidikan Islam dalam Menanamkan Kedisiplinan.

Studi Komparatif Terhadap Dua Model Lembaga Pendidikan Islam dalam Menanamkan Kedisiplinan.


Usman Adhim, S.H.I.

Pemerhati Pendidikan & HKI


Pendahuluan


Kedisiplinan merupakan dimensi fundamental dalam dunia pendidikan, terlebih pada lembaga pendidikan Islam berbasis asrama (boarding school). Disiplin tidak semata-mata dipahami sebagai kepatuhan mekanis terhadap aturan, melainkan sebagai proses internalisasi nilai, pembentukan karakter, serta sarana untuk menumbuhkan kesadaran kolektif dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam perspektif Islam, kedisiplinan berakar pada konsep ketaatan (ṭha‘ah) yang memiliki dimensi teologis sekaligus sosial. Allah berfirman:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ


“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul, dan ulil amri (pemimpin) di antara kalian.” (QS. al-Nisā’: 59)


Ayat ini menegaskan bahwa ketaatan kepada aturan yang sahih merupakan bagian integral dari iman. Dengan demikian, penanaman kedisiplinan dalam lembaga pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan dari nilai normatif keagamaan.


Dalam praktik kelembagaan, terdapat dua model dominan yang digunakan untuk menanamkan kedisiplinan, yaitu sistem pembinaan dan sistem kepengasuhan. Kedua model tersebut memiliki keunggulan sekaligus kelemahan, yang dalam konteks pendidikan Islam perlu dianalisis secara komprehensif.


1. Sistem Pembinaan


Sistem pembinaan dapat dipahami sebagai model kedisiplinan partisipatif, di mana santri tidak hanya ditempatkan sebagai objek Pendidikan, melainkan juga berperan sebagai subjek dalam proses pembinaan dan pengawasan serta penegakan aturan. Model ini memiliki kedekatan epistemologis dengan metodologi Participatory Action Research (PAR), yang menekankan keterlibatan atau pastisipasi aktif komunitas dalam proses sosial.


Dalam praktiknya, struktur organisasi santri diberi kewenangan untuk mengontrol jalannya aturan, sehingga sistem berjalan secara rigid, universal, dan masif. Model ini banyak dijumpai pada lembaga pendidikan Islam tradional dan modern. Keunggulan sistem pembinaan ialah lahirnya kultur disiplin yang efektif, mengakar kuat, menyeluruh, dan berkelanjutan. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam :


 كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ


“Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang kalian pimpin.” (HR. Bukhārī dan Muslim)


Hadis ini menunjukkan bahwa penanaman kedisiplinan melalui sistem pembinaan bukan hanya instrumen teknis, melainkan juga sarana menumbuhkan tanggung jawab kepemimpinan di kalangan santri dengan partisipasi aktif.


Namun demikian, sistem pembinaan juga mengandung risiko serius. Keterlibatan santri dalam struktur kontrol dikhawatirkan dapat menumbuhkan budaya senioritas, yang dalam praktiknya berpotensi melahirkan perilaku represif, diskriminatif, bahkan perundungan. Apabila tidak diawasi dengan ketat oleh ustadz atau kiyai, sehingga dikhawatirkan partisipasi tersebut dapat bergeser dari leadership training menuju power domination.


2. Sistem Kepengasuhan


Berbeda dengan sistem pembinaan, sistem kepengasuhan menempatkan otoritas sepenuhnya di tangan guru atau ustadz. Santri murni diposisikan sebagai objek yang menerima arahan, instruksi, dan pengawasan, tanpa keterlibatan langsung dalam struktur pengendalian. Model ini banyak dijumpai pada lembaga pendidikan Islam postmodern, yang umum dikenal dengan istilah International Islamic Boarding School (IIBS).


Kelebihan model ini terletak pada absennya senioritas, karena seluruh pengawasan dilaksanakan oleh pendidik profesional. Filosofinya selaras dengan misi kerasulan Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wallam yang menegaskan fungsi utama beliau sebagai pendidik:


إِنَّمَا بُعِثْتُ مُعَلِّمًا


“Sesungguhnya aku diutus hanyalah sebagai seorang guru (pendidik).” (HR. Ibn Mājah)


Namun, sistem kepengasuhan memiliki kelemahan dalam aspek efektivitas. Jumlah guru yang terbatas sering kali tidak sebanding dengan banyaknya santri, sehingga intensitas pengawasan tidak sekomprehensif sistem pembinaan. Hal ini dapat mengurangi kualitas internalisasi kedisiplinan, terutama dalam dimensi kontrol keseharian yang memerlukan intensitas pengawasan secara detail dan kontinyu.


Analisa Pendekatan Sintesis


Dari perspektif pembelajaran nilai, norma, dan sikap implisit yang dipelajari siswa di sekolah melalui interaksi sosial dan lingkungan sekolah, bukan melalui materi pelajaran formal atau kurikulum tertulis (hidden curriculum), kedua sistem ini sesungguhnya sama pentingnya, karena berkontribusi pada pembentukan habitus santri. Sistem pembinaan menghasilkan kesadaran kolektif dan tanggung jawab sosial, sedangkan sistem kepengasuhan memperkuat orientasi kepatuhan normatif terhadap figur otoritas yang dapat dijadikan rule model. Sehingga menyembingkan sistem pembinaan dengan sistem kepengasuhan secara integral dapat menjadi pilihan yang ideal. 


Al-Qur’an sendiri mengajarkan pentingnya prinsip keseimbangan dalam segala urusan:


وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا


“Dan demikianlah Kami jadikan kalian umat pertengahan (seimbang).” (QS. al-Baqarah: 143)


Prinsip “ummatan wasaṭhan” dalam ayat tersebut, dapat dijadikan landasan untuk mengintegrasikan kedua model. Sistem pembinaan dapat digunakan untuk membentuk social responsibility, sementara sistem kepengasuhan dipertahankan untuk memastikan adanya kontrol normatif yang terarah dari guru. Dengan demikian, kedisiplinan tidak hanya terwujud sebagai rutinitas yang dipaksakan, melainkan sebagai program membangun kesadaran moral dan spiritual yang terukur dan mengakar.


Kesimpulan


Kedisiplinan dalam lembaga pendidikan Islam dapat ditanamkan melalui dua model utama. Yaitu ; sistem pembinaan dan sistem kepengasuhan. Sistem pembinaan unggul dalam menciptakan kultur disiplin partisipatif aktif, tetapi rawan melahirkan senioritas. Sistem kepengasuhan meniadakan risiko tersebut, namun rentan tidak efektif karena keterbatasan pengawasan guru secara interaktif.


Oleh karena itu, solusi ideal adalah pendekatan hibrid, yakni mengombinasikan kelebihan keduanya. Partisipasi aktif santri tetap difasilitasi dalam batas proporsional, sementara peran guru sebagai pengasuh utama tetap dominan dalam memberikan arahan. Dengan demikian, lembaga pendidikan Islam dapat menanamkan disiplin yang seimbang, sesuai prinsip ummatan wasaṭhan, serta selaras dengan tujuan pendidikan Islam: membentuk insan yang berkarakter, beriman, dan bertanggung jawab. Sebagaimana tujuan pendidikan nasional yang tertuang dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003.


BACA JUGA:

Makna Kemerdekaan Indonesia di Usia 80 Tahun dan Refleksi Usia Emas Lembaga Pendidikan