Teknologi Informasi dan Komunitas Literasi,
Jalan Menuju Generasi Emas Indonesia
Nafis Nur Abdillah, Rizal Syamsul Muttaqin, Selo Rasyd
Pimpinan Wilayah HIMA PERSIS Daerah Istimewa Yogyakarta
Pendahuluan
Pendidikan merupakan pilar utama bangsa. Pendidikan menjadi acuan penting dalam menilai kualitas personal maupun komunal. Pendidikan membantu manusia dalam mengembangkan potensi diri secara sistematis dan penuh kesadaran untuk dapat memberikan kontribusi positif bagi lingkungan sekitar [1] (Pratomo I, Herlambang Y, 2021). Peranan Pendidikan di masyarakat menjadi penting terutama dalam membentuk pemerintahan, kebudayaan, dan paradigma berpikir masyarakat yang sehat. Ketiadaaan pendidikan dapat menyebabkan penurunan kualitas masyarakat yang berdampak pada meningkatnya kriminalitas, angka kemiskinan, dan berbagai kemunduran lainnya.
The World Top 20, sebuah projek internasional yang didanai oleh NJ MED (New Jersey Minority Educational Development) merilis laporan terbaru kualitas pendidikan setiap negara di dunia. Indonesia menempati peringkat ke-67 dari 130 negara. Sedangkan dalam cakupan Asia Tenggara, Indonesia menduduki peringkat ke-sepuluh dari sebelas negara ASEAN. Ini membuktikan bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih tertinggal dan perlu adanya peningkatan kualitas pendidikan.
Dalam upaya membangun Pendidikan Indonesia yang berkualitas, pemerintah sebagai pemangku kebijakan tertinggi mengupayakan berbagai program yang ditujukan untuk berbagai pihak dalam lapisan masyarakat. Sebagai contoh, program zonasi untuk sekolah pada tingkat Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah sebagai upaya penyamarataan kualitas dan kuantitas murid di setiap sekolah. Pada kenyataannya, program ini tidak berjalan maksimal.
Perjalanan pendidikan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perkembangan industri. Sampai saat ini, Kurikulum Merdeka dan Kampus Merdeka, dua program yang disusun untuk siswa dan mahasiswa di Indonesia masih pada tahap era pendidikan 4.0. Era pendidikan (yang dipengaruhi oleh revolusi industri 4.0) ini memecahkan persoalan pendidikan yang terhalang oleh ruang fisik menjadi era pembelajaran yang virtual dan dapat diakses dari mana saja. Kemudahan mengakses internet dan teknologi informasi membuat gebrakan baru yang membantu percepatan pembelajaran di Indonesia.
Wilson menyatakan bahwa pembelajaran pada era revolusi industri 4.0 ditemukan inovasi model pembelajaran hybrid/blended-learning. Blended-learning merupakan metode pengajaran baru yang menggabungkan pembelajaran tatap muka di kelas dengan tatap maya di mana saja. Pada era ini, siswa diharapkan untuk dapat berpikir kritis sebagai bagian dari pesatnya informasi yang dapat diakses. Temuan lainnya yang mucul sebagai akibat dari revolusi industri 4.0 adalah metode Case-base learning untuk siswa. Metode ini merupakan Teknik pembelajaran yang menitikberatkan pada pemecahan masalah dalam suatu kasus. Teknik pembelajaran ini diharapkan dapat meningkatkan potensi siswa, terkhusus dalam keterampilan analisis berpikir, pengambilan keputusan, dan sikap mawas diri [3] (Rahayu, 2-21).
Pada era industri Society 5.0, era industri yang berupaya memecahkan persoalan sosial dengan bantuan ruang fisik dan virtual yang terintegrasi [4] (Rahayu, 2021). Era ini diperkenalkan pertama kali oleh pemerintah jepang yang berupaya mencapai tatanan komunitas yang disebut dengan Super Smart Society. Era ini menitikberatkan pada adanya titik temu antara fenomena-fenomena humaniora dengan teknologi saat ini. Dalam mencapai tatanan komunitas ini, diperlukannya kesiapan teknologi dan sumber daya manusia yang tersertifikasi agar dapat memberikan kontribusi maksimal terhadap masyarakat. Era ini menjadi wahana baru dalam pengimplementasian Sustainable Development Goals dalam upayanya memberikan kesetaraan dalam berbagai aspek di seluruh dunia.
Sustainable Development Goals (selanjutnya disebut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) merupakan projek besar Persatuan Bangsa-Bangsa bersama dengan 195 kepala negara–termasuk Indonesia–yang disusul dengan disahkannya Perpres No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan memiliki tujuh belas tujuan, di antaranya adalah Pendidikan berkualitas dan kemitraan untuk mencapai tujuan. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ini dibuat didasarkan pada tindak lanjut dari MDGs (Millenial Development Goals) sebagai hasil dari keterlibatan banyak negara dalam menyelesaikan persoalan persamaan hak dan kesetaraan.
Pembahasan
Pendidikan milik semua orang. Premis ini menjadi poin penting yang menekankan bahwa seluruh lapisan masyarakat perlu menyadari urgensi pendidikan. Premis ini dikuatkan oleh UUD 1945 pasal 31 ayat 1 bahwa “Setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan pendidikan”. Warsito (2019) [6] memberikan pandangan bahwa Bonus Demografi yang akan Indonesia hadapi pada tahun 2030 menjadi titik puncak sebelum kemudian akan kembali menurun sampai pada tahun 2045. Beberapa poin menarik dalam penelitiannya adalah perlu adanya evaluasi dan pemantauan yang berkelanjutan berbagai pihak dalam memanfaatkan peluang bonus demografi ini.
Mengevaluasi dan memantau terhadap generasi muda sebagai agen of change merupakan langkah tepat yang perlu dilaksanakan secara bersama dan berkelanjutan. Generasi muda sudah seharusnya mulai dapat dilibatkan secara aktif dalam berbagai perubahan perilaku sosial yang ada ke arah yang lebih baik. Generasi muda perlu menjadi pemegang kontrol budaya, individu, masyarakat, dan sosial dalam upayanya menutup berbagai ketimpangan yang ada di masyarakat [7] (Al Mighwar, 2014).
Dalam menciptakan generasi yang siap berperan sebagai agen of change, perlu adanya persamaan persepsi bahwa–setidaknya–agen of change memerlukan dua kualifikasi berikut: mampu (1) memanfaatkan teknologi informasi dan digital; serta (2) mampu membentuk dan mengembangkan komunitas baca. Kedua kualifikasi ini penting mengingat perlu adanya pakem yang kuat sebagai panduan dalam menciptakan generasi agent of change.
a. Pemanfaatan Teknologi Informasi.
Teknologi menjadi bagian primer kehidupan sekarang. Transisi dari radio yang hanya mendengar suara saja, kemudian berkembang menjadi televisi yang memadukan suara dan visual; dari pesan yang dikirim via pos dan surat kabar koran hingga menjadi pesan elektronik dan media berita daring, yang keduanya dapat diakses dengan sangat mudah serta fleksibel diakses di manapun berada.
Salah satu bidang yang mendapati dampaknya adalah pendidikan, terlebih sewaktu 2019, saat corona virus disease atau COVID-19 menjadi pandemi, orang-orang “dirumahkan” beserta segala kegiatannya, termasuk sekolah. Ajar-mengajar yang dahulu dilaksanakan di ruangan harus beralih ke layar kaca yang berbasis online. Namun, alihalih penggunaan teknologi dapat membantu meningkatkan mutu pendidikan dan memudahkan kegiatan pembelajaran, kenyataannya sebaliknya, dua tahun lebih kegiatan pembelajaran daring jauh dari kata memuaskan [8]. (UNICEF, 2021).
Masalah utama di satu sisi akses terhadap internet yang belum memadai, tentunya juga ada pada gurunya sendiri. Peggy Ertemer, salah seorang profesor dari Purdue University, Amerika Serikat (AS), memaparkan bagaimana pemahaman guru terhadap teknologi begitu berpengaruh dalam metode pembelajaran. Menurutnya, sebagian guru cenderung memiliki pandangan deterministik yang mana teknologi sebagai resep mujarab untuk mengobati beragam ‘penyakit’ dalam pendidikan, yang pada akhirnya berimbas pada penggunaan teknologi pendidikan sebagai tujuan akhir, tanpa memikirkan bahaya atau dampak-dampaknya penggunaan teknologi itu sendiri.
Selain itu, masalah selanjutnya adalah metode dari pembelajarannya itu sendiri. Dijelaskan Chin-Chung Tsai dan Ching Sing Chai bahwa lemahnya kompetensi dalam mendesain pembelajaran menjadi kendala yang lain. Hal tersebut penting bagi guru guna mengajar sesuai konteks dan kebutuhan siswa. Seperti pembelajaran yang menggunakan media-media yang ada di internet, atau menonton film, tidak hanya menggunakan cara ceramah yang satu arah dan jarang melibatkan para siswa-siswinya [9] (Pasaribu, T & Harendita, M. E, 2022).
Dalam pandangan fenomenologi, catatan yang dirilis oleh UNICEF dan Chin-Chung Tsai dan Ching Sing Chai perlu menjadi perhatian serius sebagai bentuk evaluasi dalam mengimplementasikan program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Ketidakefektifan penggunaan teknologi informasi dan lemahnya kompetensi dalam pembelajaran yang tidak dibenahi secara berkala dan serius dapat menjadi masalah besar bagi generasi penerus bangsa. Hal ini ditakutkan akan menjadi ancaman serius dalam menyambut generasi emas 2045 seperti yang dipaparkan oleh Warsito dalam penelitiannya.
Uniknya, justru hal ini dapat diatasi dengan memaksimalkan media sosial sebagai salah satu turunan dari teknologi informasi. Menjamurnya berbagai akun media sosial yang membantu pembelajaran menjadi batu loncatan baru dalam memperbaiki pendidikan secara bertahap dari lapisan terbawah di masyarakat: personal pengguna media sosial. Surniyasih (2020) [10] mencatat bahwa peserta didik yang diimbangi dengan mengikuti akun pembelajaran di media sosial cenderung mengalami peningkatan prestasi belajar. Hal ini didasarkan pada fleksibilitas dalam mencari wawasan baru, efisiensi berdiskusi dengan guru secara maya, dan sebagai pendukung media pembelajaran. Temuan lainnya datang dari Nadeak (et. all., 2019) [11] yang mencatat bahwa mahasiswa di Universitas Kristen Indonesia yang aktif di media sosial cenderung dapat berpikir kritis.
Fenomena ini menunjukkan bahwa adanya kegagalan penyelenggara pendidikan dalam memanfaatkan teknologi informasi, di samping tidak tersertifikasinya guru sesuai kompetensi yang dibutuhkan. Namun, di sisi lain, peserta didik dan mahasiswa menunjukkan perkembangan yang signifikan berkat bantuan media sosial.
b. Membentuk Komunitas Baca
Membaca merupakan aktifitas transfer ilmu antara manusia dengan buku. Membaca dapat meningkatkan kualitas pengetahuan dan pengalaman pembaca. Membaca memerlukan kemampuan membaca yang baik. Kemampuan membaca yang baik ditandai dengan memahami pesan-pesan yang disampaikan dalam buku, merefleksikan pesan-pesan yang ada dengan kehidupan, dan mengimplementasikan pesan-pesan tersebut menjadi Tindakan yang positif. Dahlan dalam Rahmawati (2022) [12] menjelaskan bahwa tugas untuk meningkatkan minat baca di Indonesia adalah tugas bersama, tidak hanya milik individu maupun kelompok tertentu.
Tumbuhnya banyak komunitas baca menjadi upaya baru dalam menyambut generasi emas. The Young Foundation [13] (2012) mencatat bahwa berkembangnya berbagai komunitas baca merupakan inovasi sosial. Inovasi sosial merupakan inovasi dalam pemenuhan kebutuhan sosial, mengembangkan kompetensi keterampilan baru, membentuk relasi baru, dan memperkaya aset intelektual.
Komunitas Rumah Luwu sebagai contoh angin segar dalam membentuk dan meningkatkan minat baca di lingkungan Kab. Luwu. Tidak hanya menjadi rumah baca bagi masyarakat, Komunitas Rumah Luwu menjadi wadah bagi suku Bugis dalam menanamkan nilai-nilai budaya, di antaranya sipakatau (Memanusiakan Manusia).
Sipakalebbi’ (Saling memuji, Mengasihi, dan Saling Membantu) dan Sipakainge’ (Saling Mengingatkan). Prinsip ini merupakan modal sosial yang terus di tanamkan kepada masyarakat sebagai bekal dalam mengembangkan suatu komunitas [14] (Rahmawati, 2022).
Selain Komunitas Rumah Luwu, lahir juga banyaknya komunitas membaca di berbagai daerah di Indonesia, sebut saja Klub Buku Narasi yang diprakarsai oleh Najwa Shihab di Jakarta, Bookclan di Manggarai, Jakarta Pusat, Sunmor Book Club di Yogyakarta, dan beragam komunitas baca lainnya. Dalam bentuk dan implementasi kegiatan di setiap klub buku, visinya tetap sama sebagai gerakan mencerdaskan bangsa. Poin menarik dalam beragam gerakan berbagai komunitas baca ini adalah gerakan ini menekankan pada ‘rangsangan’ yang disebar dalam bentuk konten di media sosial.
Epilog
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan program tepat dalam memberdayakan generasi muda sebagai agen of change untuk menyambut bonus demografi pada tahun 2045. Perlu adanya evaluasi secara seksama yang melibatkan berbagai kalangan. Pemanfaatan teknologi informasi dan kompetensi guru perlu menjadi catatan penting dalam membenahi pendidikan. Perlunya dibuat kebijakan satu arah yang dapat menyelaraskan pemanfaatan teknologi informasi dalam pendidikan.
Selain itu, menjamurnya komunitas baca di berbagai daerah menjadi Gerakan segar dalam mengimplementasikan program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Adanya minat baru masyarakat dalam hadir dan aktif dalam kegiatan-kegiatan komunitas literasi ini menandakan bahwa kesadaran terhadap pentingnya pendidikan sudah muncul dari masing-masing anggota masyarakat.
Media sosial menjadi variabel tidak terduga yang dapat menjadi solusi sekaligus alat yang dapat mempermudah akses pendidikan ke masing-masing pengguna media sosial. Media sosial juga menjadi variabel penting yang dapat mengembangkan komunitas baca dan lahirnya berbagai komunitas baca di berbagai kota di Indonesia.
BACA JUGA:Keutamaan Shalat di Masjidil Haram: Berlaku di Seluruh Tanah Haram?