Mengenal Identitas Kebudayaan (Bagian Satu)

oleh Ismail Fajar Romdhon

05 Juli 2025 | 05:40

Mengenal Identitas Kebudayaan

Mengenal Identitas Kebudayaan


Tiar Anwar Bachtiar


Tema mengenai kebudayaan selalu menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam pembicaraan mengenai bagian-bagian dari kehidupan kita, di samping tema-tema lainnya seperti ekonomi, politik, dan sebagainya. Hanya saja, ketika menyebut kata “budaya” kita sering terjebak pada suatu stigma sempit antara lain: kesenian, adat kebiasan, atau bahkan adat kebiasaan unik yang masih hidup tapi sudah hampir punah. Banyak orang yang menunjuk kegiatan kebudayaan seperti pada pementasan wayang, tari-tarian, hajat laut, kenduri, dan bahkan kebiasaan korupsi, kebiasaan hidup jorok, dan sebagainya. Sekalipun hal demikian termasuk dalam ketegori budaya, namun menyempitkan budaya pada hal-hal semacam itu tidak mewakili makna budaya yang sesungguhnya menjangkau hal yang sangat luas.


Di samping itu, pemahaman yang sempit atas budaya juga menyebabkan kita tidak dapat memberi kontribusi pada pengembangan kebudayaan hanya lantaran kita bukan “seniman” atau bukan aktivis “upacara adat”. Padahal, lapangan kebudayaan yang luas menuntut andil dari semua orang dari berbagai ragam profesi, keahlian, dan keilmuan. Apabila dikaitkan dengan “dakwah” pemahaman yang sempit atas kebudayaan pun menyebabkan istilah “dakwah kebudayaan” pun menyempit menjadi kegiatan seni-religi. Ini pun jelas akan merugikan dakwah itu sendiri, karena dakwah pada akhirnya tidak dapat memberikan alternatif “jalan budaya” bagi manusia agar menjadi benar dalam segala aspek kehidupan.


Mengapa kebudayaan selalu diperbincangkan? Salah satunya karena kuatnya pengaruh budaya dalam menggerakkan masyarakat dalam melakukan satu tindakan tertentu, baik atau buruk tindakan itu. Sesuatu yang sudah “membudaya” mudah sekali dikerjakan oleh banyak orang. Dahulu orang malu memakai “kerudung” di tempat umum seperti sekolah, pasar, dan perkantoran. Persepsi masyarakat kerudung hanya dipakai di Mesjid atau tempat pengajian. Suatu revolusi kebudayaan terjadi dimulai dengan munculnya ide, wacana, perbincangan dari ruang khusus sampai ke warung kopi tentang keharusan wanita menutup auratnya sesuai perintah agama (Islam). Ide ini kemudian menjelma menjadi simbolisasi kongkrit berwujud model-model kerudung (khimar), gamis, dan jilbab (baju panjang terusan) sebagai bentuk pelaksanaan gagasan “menutup aurat”. Model-model ini terus tersebar ke tengah masyarakat Muslim sehingga menjadi pengetahuan umum. Baik tata nilainya sebagai “makna”, maupun kreativitas penciptaan berbagai model hijab syar’i sebagai simbol, ternyata dapat diterima oleh masyarakat. Akhirnya tata nilai baru yang revolusioner soal menutup tubuh ini telah menjadi milik publik sejak gagasan, sistem relasi sosial, hingga mewujud menjadi hijab simboliknya. Ini juga bermakna jilbab telah menjelma menjadi budaya masyarakat Muslim di Indonesia. Pada saat inilah penyebaran gagasan baru ini menjadi lebih cepat dan mudah diterima masyarakat. Masyarakat pun bergerak dengan kesadaran sendiri melakukan apa yang dituntut oleh gagasan baru itu.


Karena sifatnya yang seperti itu, dakwah sangat berkepentingan atas wawasan kebudayaan, karena dakwah sendiri sesungguhnya merupakan gerakan kebudayaan. Dakwah tanpa wawasan kebudayaan akan berubah menjadi ide dengan raga wadag yang kaku dalam memberikan solusi kepada masayarakat yang tingkat kebutuhannya beragam. Dakwah tanpa visi kebudayaan juga rentan menjadi tunggangan gerakan budaya non-dakwah yang destruktif sehingga nilai luhur dakwah ternodai. Tulisan ini yang akan dibuat secara berseri ini berusaha untuk memberikan penjelasan tentang pentingnya wawasan dan visi kebudayaan dalam dakwah; serta bagaimana mewujudkan dakwah menjadi suatu kreativitas budaya yang solutif bagi persoalan-persoalan yang tengah dihadapi masyarakat. Kita akan memulai tulisan ini dengan membincangkan makna kebudayaan secara akademik berdasarkan hasil penelitian para sarjana di berbagai belahan dunia.


***



BACA JUGA:

Ngahirup-huripkeun Deui Budaya Tatanen Urang Sunda