Bagaimana Hukum Badal Saum Termasuk Nazar Saum Bagi Orang Tua Yang Sudah Meninggal ?
Salah satu prinsip utama dalam Islam adalah keadilan. Setiap orang akan dibalas baik perbuatan baik berupa pahala maupun buruk berupa dosa atau hukuman dari Allah sesuai dengan amalannya masing-masing ketika hidup di dunia. Tidak ada seorangpun yang akan didzalimi terkait dengan balasan tersebut. Setiap orang mempertanggungjawabkan amalnya masing-masing.
{أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى (38) وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى (39 )
(yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, (An-Najm : 38-39)
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. (Fathir: 18)
وَاتَّقُوا يَوْمًا تُرْجَعُونَ فِيهِ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ تُوَفَّى كُلُّ نَفْسٍ مَا كَسَبَتْ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ
Dan peliharalah dirimu dari (azab yang terjadi pada) hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. Kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Al-Baqarah: 281)
Ketika seseorang telah meninggal dunia, maka putuslah semua amalannya kecuali tiga perkara
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim, sahih Muslim, 5/73)
Adapun terkait dengan dalil-dalil yang dianggap kebolehan mengganti atau badal saum bagi orang yang sudah meninggal, pertama berdasarkan hadis dari Ibn Abbas RA
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى
dari Ibnu Abbas ra berkata; Datang seorang laki-laki kepada Nabi ﷺ lalu berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meningal dunia dan dia mempunyai kewajiban (hutang) puasa selama sebulan, apakah aku boleh menunaikannya? Beliau ﷺ berkata: Ya, Beliau melanjutkan: Hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari, 3/35)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ أَفَأَحُجُّ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً اقْضُوا اللَّهَ فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ
dari Ibnu Abbas ra bahwa ada seorang wanita dari suku Juhainah datang menemui Nabi ﷺ lalu berkata: Sesungguhnya ibuku telah bernadzar untuk menunaikan haji namun dia belum sempat menunaikannya hingga meninggal dunia, apakah boleh aku menghajikannya? Beliau menjawab: Tunaikanlah haji untuknya. Bagaimana pendapatmnu jika ibumu mempunyai hutang, apakah kamu wajib membayarkannya? Bayarlah hutang kepada Allah karena (hutang) kepada Allah lebih patut untuk dibayar. (HR. al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, 3/18)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةً رَكِبَتْ الْبَحْرَ فَنَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ أَنْ تَصُومَ شَهْرًا فَنَجَّاهَا اللَّهُ فَلَمْ تَصُمْ حَتَّى مَاتَتْ فَجَاءَتْ ابْنَتُهَا أَوْ أُخْتُهَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَصُومَ عَنْهَا
dari Ibnu Abbas bahwa seorang wanita mengarungi bahtera, kemudian ia bernadzar seandainya Allah menyelamatkannya maka ia akan berpuasa satu bulan. Kemudian Allah menyelamatkannya dan ia tidak berpuasa hingga ia meninggal. Lalu anak wanitanya atau saudara wanitanya datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu beliau memerintahkannya agar berpuasa untuknya (HR. Abu Dawud, Sunan Abu dawud, 9/134)
hadis diatas saling menjelaskan satu sama lain. Hadis pertama sifatnya Mutlaq, belum ada keterangan saum jenis apakah dalam matan hadis tersebut. Namun dalam hadis kedua dan ketiga merupakan taqyid atau batasan, bahwa yang dimaksud saum dalam hadis pertama maksudnya saum nazar. Hadis-hadis tersebut secara sarih membolehkan mengganti hutang nazar yang dilakukan oleh orang tua yang telah meninggal.
Secara analisis sanad, hadis-hadis diatas riwayatnya sahih. Namun secara penunjukan makna jika difahami sebagai dalil bolehnya mengganti saum nazar orang tua yang sudah meninggal, maka pertama akan bertentangan dengan ayat tentang keadilan, bahwa setiap orang tidak akan dibalas kecuali sesuai dengan amalnya ketika di dunia. Karena itu dalam Islam, sesuai dengan prinsip keadilan, tidak ada transfer pahala maupun dosa.
Kedua, jika difahami dalam konteks nazar, maka akan bertentangan pula dengan hadis yang menyatakan bahwa amalan manusia ketika telah meninggal telah terputus, kecuali sadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang selalu mendo’akan. Ketiga amalan tersebut Kembali kepada amalan si mayit ketika hidup. Karena itu jika seseorang mempunyai hutang kepada Allah, maka pada hakikatnya, si mayit tidak dapat membayarnya lagi atau telah lunas, karena waktu untuk menunaikannya yaitu ketika hidup di dunia telah tiada.
Ketiga, secara analisis mukallaf orang yang sudah meninggal, sudah bukan lagi mukallaf sehingga dia tidak dibebani lagi oleh kewajiban-kewajiban kepada Allah, termasuk didalamnya dalam menunaikan nazar
Keempat, ibadah saum merupakan ibadah badaniyah, sebagaimana halnya salat. Karena itu tidak ada penggantian atau badal dalam masalah ibadah badaniyah, termasuk didalamnya pelaksaaan terhadap nazar saum orang tua yang telah meninggal.
Kelima, ketika bertentangan antara dalalah al-Quran dan dalalah as-Sunnah, maka didahulukan dalalah yang ditunjukkan oleh al-Quran
Dengan demikian kesimpulannya, pertama tidak ada penggantian atau pembayaran nazar saum bagi orang tua yang sudah meninggal. Kedua, hadis-hadis pembayaran nazar saum orang tua oleh walinya, walaupun secara sanad sahih, namun terkait penunjukan maknanya kami bertawaquf terhadap hadis-hadis tersebut, karena jika difahami zahir akan bertentangan al-Quran dan sunnah yang lebih kuat.
BACA JUGA:Bagaimana Kedudukan Hadis Mengazani Bayi Setelah Bayi Dilahirkan?