Meletusnya perang saudara antara Ali bin Abi Thalib dan Aisyah dalam perang jamal serta Ali dan Muawiyah bin Abi Sufyan dalam perang sifin tercatat dalam berbagai literatur sejarah Islam sebagai dampak dari terbunuhnya Ustman bin Affan secara keji, bahkan dalam beberapa riwayat pembunuh Utsman adalah seorang yang oleh para ulama disebut sebagai “Imamul Maftun” seorang yang tidak perlu dipertanyakan kesalehan dan ketaatanya. Hal ini menunjukan dahsyatnya pengaruh fitnah sehingga berani menghalalkan darah saudaranya hanya karena tersulut berita dusta dan kepentingan politis. Peristiwa tersebut disebut oleh para ulama sebagai fitnanul kubro (fitnah besar) dan menjadi gerbang terpecahnya Islam dalam berbagai sekte yang pada awalnya hanya dari kepentingan politis menjadi kepentingan ideologis.Dalam sekte tersebut ada yang berani mengkafirkan sesama muslim bila bukan termasuk dalam golongan mereka, disebut najis bahkan darahnya halal untuk dibunuh. Dahsyatnya lagi faham ini terus berkembang hingga kini di seluruh dunia dalam berbagai organisasi yang mengatasnamakan Islam. Nabi sudah peringatkan sejak awal (shahih Bukhari No. 5585) bahwa akan muncul satu kaum dalam shalat, shaum dan amal mereka melebihi amal yang kita lakukan namun mereka membaca Al-Qur’an hanya sebatas bacaan; sedikitpun tidak melewati kerongkongan dan akan memecah agama bagai anak panah lepas dari busurnya. Dalam riwayat At-Tirmidzi pun disebutkan bahwa akan banyak para “Da’i-da’i yang mengajak kepada neraka jahanam” seakan mereka berkata benar, mengajak pada ketauhidan pada Allah, malah justru mereka sedang menelusuri jalan syaithon.Paham mudah melakukan takfiri ini tentu tidak bisa dibenarkan, ulama seperti imam Al-Qurtubi, Ibnu Taimiyah, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dan lainya telah mewanti-wanti agar berhati-hati dalam vonis kafir; dan mereka hanya menyebut kriteria-kriteria saat orang disebut kafir bukan menuduh kepada personal tanpa bukti yang jelas. Jika yang bukan pada golonganya disebut sebagai kafir dan halal darahnya untuk di bunuh, lantas saat khalifah Abu Bakar memerangi kaum yang tidak mau membayar zakat dan kaum itu bertaubat, adakah satu riwayat saja yang menyatakan bahwa mereka mesti untuk bersyahadat kembali? atau sekte-sekte yang terpecah saat fitnatul kubro terjadi dan orang-orang yang bertaubat mesti untuk bersyahadat pula? jawabannya adalah “tidak”, yang mereka lakukan hanya sebatas sebagaimana yang disebut dalam kitab taysir fi ulumil hadis sebagai“bid’ah mukafaroh” yakni orang yang melakukan kebid’ahan-kebid’ahan dalam Agama. Maka sudah selayaknya kita berhati-hati dalam vonis kafir khawatir seperti yang disebut dalam hadits Bukhari (5585) bahwa Nabi bersabda: “Tidaklah seorang memvonis orang lain sebagai fasiq atau kafir maka ia akan kembali kepadanya jika yang divonis tidak demikian.” Hadits ini menjadi bukti bahwa sikap mudah melakukan takfiri itu bila tanpa bukti; bisa menjadi dosa sebagai bentuk tuduhan palsu, dan sebutan kafir kembali kepada yang menuduh tersebut.Jika mereka mengatakan “kami mengkafirkan yang jelas-jelas Allah kafirkan dalam Al-Qur’an, mereka menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal” maka jawabanya adalah “kembali kepada pernyataan awal; perhatikan bagaimana Allah hanya menjelaskan sifat-sifat dan karakter kufur, adapun sebutan kafir kepada secara personal adalah kepada mereka yang secara terang-terangan mengakui, meyakini dan melakukan amalan yang keluar dari akidah Islam. Bagi mereka yang masih mengaku beriman dan menjalankan Islam sekalipun melakukan pelanggaran-pelanggaran seberat apapun tidak lantas kita bisa kafirkan, persoalan dia melakukan kekafiran atau tidak adalah hak prerogatif Allah, jika dengan mudah vonis kafir dituduhkan, maka dia sendirilah yang telah menghalalkan yang haram. Dalam satu riwayat (shahih bukhari no.158 bab larangan membunuh orang kafir setelah mengucap Laa ilaha illalah) salah seorang kafir mengucap Tahlil saat berada dalam ancaman, namun Usamah bin Zaid tetap membunuhnya sehingga perbuatan usamah tersebut dikecam oleh Nabi, bahwa perkara Iman tidaknya seseorang hanya dia dan Allah yang tahu.Maka bagaimanapun dan dari sudut pandang manapun sikap mudah melakukan takfiri tanpa bukti tidak bisa dibenarkan dalam Islam, malah Nabi memerintah untuk memerangi mereka yang bersikap seperti itu dengan kalimat :...فَأَيْنَمَا لَقِيتُمُوهُمْ فَاقْتُلُوهُمْ فَإِنَّ فِي قَتْلِهِمْ أَجْرًا لِمَنْ قَتَلَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (البخارى:6418)“......dimanapun kalian menemukan mereka (kaum takfiri) bunuhlah mereka, karena pada hal itu ada pahala pada hari kiamat.”Imam al-Bukhari rahimahullah berkata, “Ibnu ‘Umar radhiyallahuanhuma menganggap mereka sebagai makhluk Allah yang paling jelek, dan beliau berkata, ‘Sesungguhnya mereka mengambil ayat yang turun untuk orang-orang kafir, lalu menjadikannya untuk orang-orang yang beriman.”Kita hidup di zaman yang tidak mungkin ideal, Allah menegaskan dalam Surat Al-An’am Ayat 65 dengan bunyi “Dia (Allah) mampu memecah kamu dalam golongan-golongan yang sebagian merasakan keganasasn sebagian yang lain” maka sudah menjadi sebuah keniscayaan akan hadirnya sekte dan golongan yang menggerogoti Islam dari dalam. Kalau bukan berbekal ilmu, amal saleh dan Ikhwan yang siap mendukung visi-misi yang dicitakan sebagai umatan wahidatan dan Baldatun toyyibatun; dengan apalagi kita akan membentengi diri dari faham-faham tersebut dan selamat dari huru-hara dan fitnah yang terjadi. Tugas kita hanya sebatas untuk mengingatkan, dalam Q.S Al-Qasas ayat 56 Allah berfirman “kau takan bisa memberi hidayah pada orang yang kau cintai”. Persoalan hidayah hanya milik Allah, karena tugas itu sebagai bentuk pernyataan sikap bahwa kita tak ingin ditimpakan azab yang tidak khusus bagi orang yang zalim saja.Wallahu’alamPenulis Ilham Habiburrohman, SH.