Sosok Fikri terbaring lemah. Hidungnya masih mimisan. Terkadang dia mengerang dan merintih. Dia menderita kanker leukimia. Sebuah penyakit langka.
Fikri berusia 5 tahun. Sebelumnya dia tak pernah menderita sakit berat. Paling hanya flu batuk pilek saja. Dia anak yang ceria dan cerdas. Dia siswa TK Persis Samirono di lereng Merbabu.
Keluarganya Fikri adalah keluarga mualaf. Mereka bersyahadat 7 tahun yang lalu. Tadinya mereka beragama Budha.
Awalnya mereka tinggal di Dusun Thekelan yang merupakan dusun tertinggi di posko pendakian Merbabu.
Kemudian mereka menjual rumah mereka di Thekelan dan memutuskan pindah ke Dusun Wates-Sumogawe. Dengan harapan bisa memperbaiki taraf perekonomian keluarga.
Tapi sampai saat ini taraf hidup mereka masih belum berubah. Mereka hidup dengan sangat sederhana. Keluarganya Fikri bekerja mengurusi kandang sapi milik orang lain.
Mereka tak punya peliharaan milik sendiri. Jangankan sapi atau kambing, ayampun tak punya.
Setiap Subuh, mereka sudah membersihkan kandang. Bergulat dengan aneka kotoran sapi. Membersihkan kotoran sapi, memerah, juga memberi pakan.
Mereka tinggal di sebuah rumah kosong milik warga. Rumah yang mereka tempati masih berlantai tanah, berdinding kayu. Dan mereka tidur di atas kasur tipis yang digelar langsung diatas tanah, tak ada dipan.
Cuaca dingin Merbabu di malam hari, dengan leluasa menyapa tubuh-tubuh ringkih keluarga mereka.
Meskipun kondisi mereka sangat sederhana, penghalusan kata dari kekurangan, tapi Fikri tumbuh menjadi anak ceria. Setiap pagi dia bersekolah di TK PERSIS Samirono, satu-satunya TK gratis di lereng Merbabu.
Keluarga Fikri sengaja memilih TK tersebut dengan pertimbangan tak perlu mengeluarkan uang sepeserpun untuk bersekolah di sana.
Penghasilan mereka hanya cukup untuk makan sehari-hari saja. Berapalah penghasilan seorang buruh kandang sapi.
Suatu ketika Fikri sakit mendadak yang cukup parah. Kemudian langsung dilarikan ke UGD RSUD Salatiga. Dari pemeriksaan medis, diketahui Fikri menderita leukimia.
Trombosit pernah mencapai angka 7 saja. Padahal angka normal trombosit adalah 150.
Kedua orang tua Fikri hanya lulusan SD, sedangkan kakek dan neneknya tak bersekolah. Mereka tidak terlalu faham tentang betapa gawatnya kondisi sakit Fikri.
Mereka tak mengerti jalan panjang yang harus dilalui demi kesembuhan putra sulung ataupun cucu mereka.
Saking tak fahamnya dengan "dunia", ayah dan ibunya Fikri hanya menikah siri. Mereka tak memiliki kartu keluarga, apalagi BPJS. Fikri tak memiliki NIK sama sekali.
Kondisi tak memiliki data kependudukan inilah yang membuat kami nelangsa. Biaya pengobatan leukimia sangat mahal. Pengobatannya pun lama dengan aneka kemoterapi yang harus dilalui. Dan mereka dhuafa tapi tak punya BPJS.
Saat bezuk Fikri yang tak berdaya dan keluarganya yang begitu polos, saya hanya bisa menangis. Baru kali ini menemukan pasien yang begitu lugu tak memiliki data kependudukan.
Mereka tak tahu harus bagaimana kalau tidak diarahkan. Mereka benar-benar polos dan lugu. Bahkan ketika infus Fikri habispun mereka hanya diam, mungkin saking bingung dan mindernya.
Rasanya nggregel, nelangsa melihat ada sebuah keluarga yang sebegitu lugunya.
Fikri dirujuk ke RS Kariadi Semarang untuk mendapatkan perawatan yang lebih intensif. Tapi berhubung Fikri belum punya kartu BPJS, ataupun identitas kenegaraan lainnya maka dipending dulu.
Kami faham biaya pasien umum untuk leukimia sangat mahal. Sangat berat bagi keluarga Fikri untuk membiayai pengobatannya sebagai pasien umum.
Mereka keluarga mualaf dan dhuafa. Mereka termasuk golongan yang sangat berhak untuk mendapatkan pertolongan dari saudara-saudaranya sesama muslim.
Mari kita bahu-membahu meringankan beban keluarga Fikri.
Muamalat 5080000396 Widi Astuti
Jazakumullohu Khoiron Katsir
Barakakallahufikum.
[]