Oleh: Insania Zakiah
Kajian Al Baqiatush Shalihah (Kabisa)
Berbicara tentang remaja, seolah tak pernah habis pembahasannya. Di setiap generasi selalu muncul anak-anak muda yang bertingkah laku “tidak wajar” sehingga memunculkan banyak pro dan kontra.
Demikian pula yang kita lihat di Citayam Fashion Week (CFW) yang sedang viral dalam sebulan ini. Tingkah laku para anak muda berbagai usia, bahkan tak sedikit yang masih belia, menampilkan “kreatifitas” ala mereka dalam hal berpakaian.
Tentu saja menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan.
Walau tak sedikit yang mendukung dan memandang positif kegiatan ini. Namun, kenyataannya muncul berbagai dampak negatif yang semakin hari semkain tak terkendali.
Sebut saja kemacetan dan kegaduhan yang dihasilkan oleh anak-anak muda tersebut, yang ternyata cukup mengganggu aktifitas serta mobilitas sesama pengguna kawasan itu.
Belum lagi isu kriminalitas serta LGBT yang semkain hari semakin massif.
Fenomena ini layaknya membuat kita khawatir. Apalagi mereka adalah generasi muda yang merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan para pendahulunya. Mereka adalah anak-anak muda yang sedang dalam masa pertumbuhan prima.
Secara fisik mereka sedang ada pada fase perkembangan terbaik. Makanya jarang ditemui anak-anak muda pada fase ini sakit.
Secara kognitif, mereka juga sedang ada pada tahap perkembangan terbaik. Pikiran mereka penuh dengan ide-ide murni tanpa terganggu berbagai preferensi dan stereotype.
Semangat anak-anak muda di fase ini menggebu-gebu. Mereka berani mengambil resiko tanpa cemas dan khawatir.
Idealnya, generasi ini adalah motor utama penggerak kemajuan sebuah bangsa. Mereka adalah garda terdepan yang akan mengukir sejarah suatu bangsa.
Tentunya dengan bimbingan kebijaksaan dan pengalaman para orangtuanya. Makanya, presiden pertama kita, Soekarno dulu pernah berkata, “berikan aku 10 pemuda, akan kuubah dunia”.
Kenyataannya, masih banyak anak muda di negara ini yang belum bisa memahami peran sentral mereka untuk peradaban. Fenomena CFW adalah salah satu wujudnya.
Kreatifitas yang mereka tampilkan dalam berbusana memperlihatkan gaya anak muda yang semangat, tidak takut cemoohan, penuh ide orisinal, dan murni tanpa memandang berbagai stereotype yang muncul.
Sayangnya, perwujudan kreatifitas ini tidak didukung oleh peran para orangtua yang sejatinya menjadi pengarah yang bijaksana. Yang mampu meluruskan orientasi mereka, memfasilitasi semangat mereka agar berdaya guna bagi agama, nusa, dan bangsa.
Bukan sekedar bagi geliat perekonomian semata.
Jika dulu Soekarno menyatakan bahwa pemuda itu adalah pengubah dunia. Maka sekarang, untuk mengurus satu saja anak muda, banyak orangtua merasa pusing dibuatnya.
Tingkah mereka yang seringkali menabrak batas-batas norma membuat banyak orangtua kehabisan akal menghadapinya. ide-ide mereka juga tak jarang membuat banyak orangtua bergidik karena mnegandung banyak madharat dibanding manfaatnya untuk kehidupan masa depan.
Kondisi ini tentunya bukan sebuah kejadian serta merta yang terjadi begitu saja. Kondisi ini adalah hasil akumulasi proses pendidikan anak-anak muda tersebut sejak mereka dini.
Proses pendidikan yang sejatinya diarahkan guna membekali mereka agar tumbuh menjadi generasi muda yang penuh tanggung jawab, mandiri, dan berkepribadian.
Proses pendidikan yang menanamkan nila-nilai ilahiah sebagai dasar pijakan utama dalam hidup, mampu menjadi raja tega tanpa kehilangan sentuhan kasih sayang, yang mampu membentuk kemampuan berpikir tanpa menafikan hati dan rasa, yang menanamkan adab sebelum membekali mereka ilmu.
Sehingga saat anak-anak ini tumbuh dewasa semangat meggebu, serta pola pikir berani yang tumbuh dalam dirnya, tidak menerobos berbagai batas aturan dan tetap dalam koridor manfaat bukan madharat
Tanggungjawab untuk menghadirkan proses pendidikan seperti ini memang utamanya ada pada orang tua. Namun, peran masyarakat terutama negara sebagai pemangku kebijakan juga tak kalah pentingnya.
Fungsi kebijakan dalam menghadirkan tatanan masyarakat yang nyaman dan aman, serta menjamin keberlangsungan pendidikan yang berpihak pada anak, adalah fungsi penting posisi pemerintah.
Apalagi jika berbagai perilaku anak-anak muda tersebut sudah memunculkan berbagai dampak negatif bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk agama dan masyarakat sekitarnya.
Dengan fungsi kebijakan yang dimiliki pemerintah, mereka seharusnya mampu bertindak segera meminimalisir berbagai dampak negatif yang meresahkan masyarakat.
Mereka harusnya mampu jeli melihat berbagai peluang kemudharatan yang lebih besar. Dan tidak menunggu mencuatnya kasus dan merebaknya dampak negatif di tengah masyarakat.
Popularitas dan uang memang magnet duniawi yang sungguh meggiurkan. Maka, tak heran fenomena CFW ini dalam waktu sebentar saja mampu menyedot perhatian berbagai kalangan untuk ikut terlibat dan ambil bagian di dalamnya.
Demi nafsu dunaiwi ini, tak sedikit orang menutup mata dari berbagai dampak negatif yang ditimbulkannya.
Geliat ekonomi dirasa lebih menguntungkan dan abai terhadap dampak negatif pada kepribadian serta masa depan anak-anak muda tersebut.
Magnet popularitas tengah menjadi santapan anak-anak muda zaman sekarang. Kemudahan menggunakan media social membuat setiap orang punya kesempatan yang sama besar untuk terkenal.
Fenomena artis dadakan dengan segudang keuntungan duniawi membayangi anak-anak muda masa kini, menjadi angan-angan mereka bahkan turut meracuni pikiran adik-adik mereka yang masih belia.
Beruntung bagi anak-anak yang telah memiliki dasar kepribadian, mental keimanan yang kuat serta adab yang mampu memagari berbagai ide brilian mereka.
Popularitas yang menyapa mereka tidak serta merta membuat mereka lupa daratan. Mereka akan mampu tetap berpijak pada kebenaran, dan menggantungkan semua semangat mereka demi meraih cita-cita masa depan.
Kenyatannya, sebagian besar anak-anak muda yang tampil di CFW tidak menampilkan karakter seperti ini. Sehingga mereka menjadi mudah terbawa arus.
Mereka akan dengan sennag hati mengikuti apa pun, semnagat mengambil resiko apapun, demi kepuasan duniawi dan popularitas. Dan magnet tersebut telah mampu menyedot bibit-bibit lainnya, sehingga fenomena ini menjadi trend dan mulai diikuti daerah-daerah lainnya.
Tulisan ini mungkin dirasa lebih mengedepankan kekhawatiran dibanding optimisme. Namun, memang begitulah seharusnya.
Sebagaimana kaidah hukum Islam menyatakan bahwa “mencegah madharat lebih diutamaan daripada mengambil manfat”.
Maka, kami ingin menyuarakan agar para pemangku kebijakan ikut turut andil memperbaiki tatanan yang rusak di ajang CFW ini. Bukan sekedar memfasilitasi tapi abai terhadap dampaknya.
Wallahu alam. (*)
Foto: Persis Photography
Editor: Fia Afifah