Krisis kejahatan kemanusiaan sejak ‘masa kelam’ bangsa eropa sampai renaisance atau yang terjadi sejak meletusnya perang dunia kedua sampai berakhir dengan lahirnya Universal declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948 tidak serta merta menghapus imoralitas yang memilukan tersebut. Genosida atas etnis Rohingya, penjajahan Palesntina, konflik suriah, sikap diskriminatif pemerintah India terhadap Muslim menjadi bukti kejahatan kemanusiaan masih menjadi parasit yang bisa hinggap dimana saja. Seolah benar apa yang dikatakan Joseph Stalin “one deaths is a tragedy, million death just a statistic” (satu kematian ialah tragedi, jutaan kematian hanyalah statistik).
Sisi baiknya, banyak negara yang meratifikasi deklarasi UDHR ke dalam undang-undang bahkan sebagian menilai bahwa hak dasar setiap manusia mesti tertuang secara spesifik dalam konstitusi negara. UDHR setidaknya memuat 18 poin tentang hak asasi yang melekat pada setiap manusia, dampaknya semakin banyak orang tersadar untuk menuntut hak atau menganggap deklarasi itu sebagai makna kebebasan yang acapkali kebablasan.
Disebut kebablasan karena seringkali interpretasi atau tafsiran akan makna hak tersebut berstandar ganda. Seperti tuntutan akan hak kemerdekaan badan yang digaungkan kaum LGBT. Kalau boleh mengutip pendapat seorang filsuf politik Rusia, Isaiah Berlin dalam two concepts of Liberty bahwa sekalipun manusia memiliki freedom for atau kebebasan untuk melakukan apapun, pada dirinya dan orang lain pun melekat freedom from atau kebebasan dari. Ketika semua agama melarang dan mengharamkan LGBT maka perbuatan tersebut mencederai kebebasan dalam hal ini keyakinan orang lain. Jangan sampai makna kebebasan bersifat parsial, sejatinya kebebasan seseorang dibatasi juga oleh kebebasan orang lain.
Ketika Prancis mengklaim penghinaan terhadap Nabi Muhammad merupakan bentuk kebebasan bereskspresi, maka klaim tersebut mencederai kebebasan dalam hal ini keyakinan orang lain. Apalagi Faith atau keyakinan merupakan aspek kebebasan paling fundamental setiap manusia yang tidak bisa diusik oleh siapapun.
Kebebasan berekspresi ala Prancis yang disebut sebagai laicite bukan aturan yang terjadi dalam semalam. Traumatik Sejarah kelam bangsa eropa terhadap segregasi dengan doktrin gereja kristen katolik menjadi sebab utama. Semboyan revolusi Prancis 1789- Kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan (Liberte, egalite, fraternite) seolah menjadi piagam agung, bahkan tahun 1905 Prancis menghapus agama dari konstitusi mereka. H. Gruber menyatakan prinsip liberalisme atau kebebasan yang paling mendasar ialah pernyataan bahwa tunduk pada otoritas apapun namanya bertentangan dengan hak asasi, kebebasan dan harga diri manusia. Faham ini seperti relativisme ala protagoras yang mengajarkan ‘manusia adalah ukuran dari segalanya (homo mensura omnium est). Ketika agama ikut mengatur kehidupan manusia maka disebutlah ‘manusia yang tidak bebas’.
Menggusur peran agama dan otoritas wahyu dari wilayah politik, ekonomi maupun sosial menjadi peran wajib atas nama liberalisme. Tidak ada istilah Amar Ma’ruf Nahi munkar. Maka tidak salah jika liberalisme dipadankan dengan sekularisme. Sehingga sekularisme seakan menjadi hal yang wajib jika sebuah bangsa ingin maju seperti yang pernah terjadi saat Mustafa Kemal mensekulerkan Turki. Simbol dan identitas Agama dilarang untuk tampil di ruang publik sehingga masyarakat dipaksa untuk menyeseuaikan keyakinan mereka terhadap nilai-nilai sekularisme bukan sebaliknya.
Dr syamsudi Arif dalam ‘Diabolisme Intelektual’ merinci tiga makna kebebasan dalam Islam. Pertama kebebasan identik dengan fitrah, sebagaimana sabda Nabi; Kullu mauludin yuladu ala fitrah, artinya setiap manusia yang lahir terbebas dari noda kemusyrikan. kedua, adalah kebebasan berkehendak dan keinginan, manusia berhak memilih untuk menempuh jalan-jalan yang ditunjukan oleh para Nabi dan pewarisnya atau mengikuti jalan syaitan. Makna ketiga, kebebasan dalam memilih yang baik (Ikhtiyar). Syed Naquib Al-Attas menjelaskan sebagaimana akar katanya ikhtiyar yakni menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya. Itulah mengapa dalam dunia beradab manusia tidak dibiarkan merusak, menganiyaya, membunuh atau merampas hak orang lain.
Pada kesimpulannya, ketika manusia mencederai fitrahnya sebagai makhluk yang beriman dan anugrah kebebesan berkehendak untuk merenggut kebebasan orang lain justru merekalah golongan ‘orang yang tidak bebas’ menyalahi fitrahnya sebagai manusia atau dengan kata lain makna kebebasan yang begitu menggaung dibumi eropa bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Penulis:
Ilham Habiburohman
[Anggota Lembaga konstultasi dan Bantuan Hukum PP Persis, Mahasiswa Pascasarjana Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran]