Pencabutan Lampiran “Perpres Miras” Masih Menimbulkan Tanda Tanya

oleh Reporter

11 Maret 2021 | 19:28

Enam bulan pasca disahkannya RUU Omnibuslaw Cipta kerja, pemerintah terus tancap gas berupaya memulihkan perekonomian yang dianggap berjalan ditempat bahkan disebut terus merosot. Dengan legitimasi UU Cipta kerja, pemerintah dalam dua pekan lalu mengeluarkan Peraturan Presiden No. 10 tahun 2021 tentang penanaman modal. Perpres tersebut menjadi ‘pelicin’ ditengah rumitnya birokrasi hukum yang melilit dan dianggap menghalangi laju ekonomi.

Perlu ditegaskan kembali, sebagai negara warisan jajahan Belanda yang menganut eropa continental  atau dalam kata lain disebut sebagai civil law, yang artinya negara bergantung pada kodifikasi hukum, atau hukum yang tertulis. Sehingga laju pemerintahan sangat bergantung pada regulasi yang ada. Oleh sebab itu Presiden sebagai pelaksana dan DPR sebagai pembentuk undang-undang adalah dua Lembaga yang paling menentukan arah negara.  

Hukum tertulis di Indonesia berlaku secara hierarkis (yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi), hal ini termaktub dalam UU No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Singkatnya perpres berada dibawah Undang-Undang, sehingga perpres tidak boleh bertentangan dengan aturan yang berada di atasnya dalam hal ini Undang-Undang yang dalam ilmu hukum disebut dengan asas Lex Superior derogat legi inferior (hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah).

Perpres penanaman modal yang ramai diperbincangkan dalam dua pekan terakhir adalah bentuk pelaksanaan dari pasal 77 UU cipta kerja. Didalamnya menyebut  bahwa regulasi tentang penanaman modal akan diatur secara rinci oleh Peraturan Presiden. Terbitnya perpres tersebut tak lepas dari persoalan, umat Islam secara khusus merasa keberatan dengan adanya penyebutan investasi minuman beralkohol atau awam disebut sebagai minuman keras. Bukan tanpa alasan, sekalipun aturan miras secara khusus untuk wilayah tertentu (Bali, Sulawesi Utara, NTT dan Papua), khawatir ke depan minuman keras menjadi komoditi baru, dengan dalih memulihkan ekonomi tanpa mengindahkan prinsip Indonesia sebagai negara beragama sebagaimana tercantum dalam sila pertama Pancasila. Bukan hanya komoditi, miras menjadi salah satu sumber utama masalah kriminalitas, contoh pada 2011; 70 persen kriminalitas di Sulawesi Utara (yang menjadi target investasi miras) berasal dari minuman tersebut. Sepatutnya pertimbangan-pertimbangan inilah yang mesti diperhatikan.

Sudah sejak lama manusia dan minuman beralkohol seperti menjadi kebutuhan primer. sehingga larangan ‘khamr’ sudah secara tegas Allah sebut dalam Al-Qur’an. Sejak berdirinya Indonesia hingga sekarang, tarik ulur aturan minuman beralkohol sudah beberapa kali terjadi. Tidak pernah minol diatur secara tegas menjadi barang terlarang, Kepres No. 3 tahun 1997 menentukan bahwa aturan minol diatur oleh menteri perdagangan. Pertengahan tahun 90 hingga 2000an miras golongan A (mengandung alkohol maksimal 5% ) sempat beredar bebas di mini market, Pada 2013 Kepres tersebut dibatalkan oleh MA karena dianggap bertentangan dengan bereapa UU (Kesehatan, perlindungan konsumen, dan pangan). Sehingga keluar aturan lebih lanjut mengenai minol lewat peraturan menteri perdagangan pada 2015. Oleh sebab itu, aturan-aturan yang ada hanya sebatas syarat-syarat tertentu, seperti batasan usia, lokasi yang tidak dekat tempat peribadatan, dan pihak-pihak yang telah memiliki izin edar.

Pada 2016 sempat mencuat RUU minol. sebagian pihak menolak; dimulai dari melanggar privasi, tidak ada kaitan dengan kriminalitas, hingga kekhawatiran masyarakat akan lari ke miras oplosan. Sehingga ‘masyarakat’ seolah selalu mencari celah untuk terus bisa menenggak barang haram tersebut.

tidak berhenti pada persoalan miras, mantan menteri kelautan Susi Pujiastuti mengkritik perpres tersebut yang membuka peluang asing menguasai kekayaan ‘harta karun’ di dalam lautan Indonesia yang diperkiraan mencapai 117 triliun. Artinya secara subtansi perpres yang diteken jokowi tersebut masih menyimpan beberapa masalah.

Mendengar desakan dari masyarakat untuk menghilangkan investasi miras dalam lampiran perpres tersebut, jokowi akhirnya secara resmi mencabut lampiran yang berkaitan dengan investasi miras. Secara ketatanegaraan pencabutan lampiran adalah hal yang baru, sehingga hal tersebut masih menimbulkan tanda tanya banyak pihak. Apakah hanya dengan pidato kenegaraan secara otomatis aturan tersebut hilang; sementara kembali ke awal bahwa Indonesia menganut kodifikasi hukum, harus jelas hitam diatas putihnya.

Dalam ilmu hukum, ada dua mekanisme resmi untuk mencabut, mengubah atau membatalkan sebuah peraturan perundang-undangan, pertama, dengan peraturan yang setingkat. Kedua, dengan lembaga peradilan yang memiliki kewenangan. Sehingga terdapat dua kemungkinan untuk mencabut, merevisi atau membatalkan perpres, adalah dengan mengeluarkan perpres perubahan atau lewat keputusan presiden. Dan yang kedua dengan gugatan ‘pihak ketiga’ yang dilayangkan ke Mahkamah Agung.

Sehingga apa yang disampaikan Presiden jokowi terkait pencabutan lampiran masih menimbulkan tanda tanya, apakah secara hukum pencabutan tersebut sah dan menjadi barang baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia atau mesti ada upaya yang telah diatur secara resmi sebagaimana disebut diatas.

Penulis berpendapat, Pertama, Presiden mesti mengeluarkan Keputusan presiden (Kepres) yang menyatakan bahwa Peraturan Presiden tentang penanaman modal mengalami perubahan. Sebab Peraturan Presiden yang bersifat regeling (mengatur) dan Keputusan Presiden yang bersifat beschikking (keputusan/bersifat administratif) berada pada tingkat yang sederajat. Kedua, jika sebagai pemimpin masih belum mampu melarang hal yang haram, maka jangan pula membuka peluangnya.

Wallahu A’lam Bissawaab

 

***

Penulis:  Ilham Habiburohman (Anggota Laznah Bantuan Hukum PP Persis)

Reporter: Reporter Editor: admin