Oleh: Artawijaya
Babe H. Ridwan Saidi bin Abdurrahim bin Sa'idi. Lahir di Gang Arab, Sawah Besar (Sao Besar), Batavia Centrum (Jakarta Pusat sekarang), pada tahun 1942. Ia anak keempat, satu-satunya laki-laki dari tiga saudara kandungnya; Rogaya, Aisyah, dan Sahla.
Ayah beliau, Abdurrahim, adalah pimpinan organisasi Persatuan Islam (PERSIS), Sawah Besar. Terkait aktifitas ayahnya di PERSIS, Ridwan menulis, "Emba' (sebutan untuk ayah bagi org Betawi, asalnya dari kata Baba) aktifis Persatuan Islam. PERSIS, singkatannya, adalah organisasi Islam modern.
Cing (Oom dlm bahasa Betawi) Jilin, Cing Muhajirin, juga anggota PERSIS. Di rumah acapkali ada tadarusan, pengajian Al-Qur'an. Teman-teman ayah berdatangan. Orang-orang duduk berkeliling. Di tengah-tengah ada dupa yang dibakar. Setelah itu dupa dibawa masuk, dan tadarusan dimulai..."
Di pengajian-pengajian tradisional orang Betawi dulu, pembakaran dupa/kemenyan biasanya untuk membuat suasana pengajian harum dari asap yang menyebar, bukan untuk tujuan mistis. Selain dupa, biasanya juga disediakan parfum minyak kesturi yang dibagikan keliling.
Ridwan melanjutkan cerita aktifitas ayahnya di PERSIS. "Saya mendengarkan pertemuan-pertemuan PERSIS di rumah kami. Yang berbicara adalah orang-orang Betawi, seperti Guru Mughni Alhambra, Ismail Fikri, Said Mangun. Tetapi mereka berbicara Melayu. Sekali-sekali terdengar peserta pertemuan tertawa karena lelucun Ustaz Said Mangun,"
Selain aktifis PERSIS, ayahnya Ridwan Saidi juga aktif di Partai Masyumi. Pertemuan-pertemuan para aktifis Masyumi kala itu juga sering dilakukan di rumahnya. Sebagai aktifis Masyumi, Ridwan menceritakan ayahnya sangat toleran dengan tetangga-tetangganya yang orang Cina dan Eropa (Kristen)
Selain di Sawah Besar, Persatuan Islam (PERSIS) di Batavia pada masa lalu juga tercatat sering mengadakan pengajian di Tanjung Priok, Gang Kenari Salemba, dan Tanah Abang.
Saat terjadi perdebatan antara A. Hassan dengan Ahmadiyah di Gang Kenari, Paseban, Batavia, pada tahun 1933, dalam liputan media ditulis, peserta yang hadir dalam perdebatan itu datang dari mana-mana, termasuk dari Tanjung Priok, yang datang dengan berbondong-bondong menaiki delman/sado.
Di Batavia, di antara ulama PERSIS yang cukup dikenal pada masa lalu adalah K. H. Muhammad Ali Al-Hamidy, yang tinggal di Gang Matraman 2, Jakarta Pusat. Ia dikenal karena karya tulisnya yang banyak dengan menggunakan aksara Arab Pegon. Orang Betawi menyebutnya KH Alhamidy Matraman.
K. H. Ali Al-Hamidy pernah ikut mengajar bersama A. Hassan di Pesantren PERSIS Bandung pada pertengahan tahun 1930-an dan ikut pindah ke Bangil, Jawa Timur, pada tahun 1940, ketika A. Hassan pindah ke kota itu dan mendirikan pesantren di sana.
Ridwan Saidi adalah orang Betawi yang hidup dalam kultur modernis. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), anggota DPR dari Partai PPP di tahun 70-80-an, dan Sekjend Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara.
Kultur kelompok modernis yang banyak menulis buku dan artikel di media massa, juga ada pada Ridwan Saidi. Pada masanya, tulisan-tulisannya tajam dan enak dibaca. Di media massa, ia pernah memakai nama pena "Abu Jihan", merujuk pada nama anak perempuannya.
Ridwan juga pernah terlibat perdebatan dengan sesama koleganya di HMI, Cak Nur (Nurcholis Madjid). Dalam berpolemik atau berdebat, Ridwan Saidi mengaku banyak belajar dari Tuan A. Hassan, guru utama Persatuan Islam (PERSIS).
[]
Foto: Instagram @JakartaInformasi
Editor: Fia Afifah