oleh Silma Kaffah Millati, S.Psi*
Sejak pertama manusia diciptakan, manusia hidup berdampingan dengan berbagai macam tantangan dan permasalahan. Sampai hari ini, kita hidup dalam kemajuan teknologi yang sangat pesat, arus informasi yang sangat cepat dan acak-acakan, kehidupan bisa kita nikmati melalui genggaman, saling tersenyum dengan sahabat menggunakan sebidang layar kecil dan kemudahan lainnya.
Problematika kehidupan satu abad lalu bahkan belasan tahun lalu saja dengan saat ini jauh berbeda. Di samping segala macam kemudahan yang dihadirkan oleh teknologi, ternyata banyak juga tantangan dan permasalahan baru yang harus manusia hadapi.
Terutama tantangan dalam aspek psikologis, manusia yang hari ini sangat dekat dengan digitalisasi khususnya generasi milenial dan generasi Z terdampak banyak oleh digitalisasi, baik dampak positif maupun dampak negatifnya.
Dampak positif yang ditimbulkan tentu berbagai macam kemudahan, mulai dari kemudahan komunikasi, informasi, transportasi, sampai kemudahan transaksi.
Namun, tidak dapat menutup mata, dampak negatif yang selanjutnya menjadi tantangan yang harus kita hadapi di era digital ini adalah derasnya arus informasi yang tidak bisa kita bendung, kekerasan yang berbasis digital (cyber bullying, cyber crime, cyber sexual), mentalitas “instan” yang secara langsung ataupun tidak, misalnya, fenomena Fearing Of Missing Out (FOMO) dan masih banyak permasalahan lainnya yang hadir.
Dalam menghadapi berbagai macam dinamika kehidupan, Allah telah menganugerahkan kepada setiap manusia self recilience, yaitu mekanisme dinamis yang menyertakan peran beragam faktor individual, sosial, dan lingkungan yang menggambarkan kapasitas dan ketangguhan seseorang untuk bangkit dari permasalahan emosional negatif ketika menghadapi situasi yang menekan atau mengandung kendala yang signifikan (Hendriani, 2018)[1].
Secara alamiah manusia memiliki ketangguhan, kecenderungan untuk bangkit dari keterpurukan, kemampuan beradaptasi dengan situasi yang menyulitkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Reivich dan Shatte (2002) selama kurang lebih 15 tahun di Universitas Pennsylvania mengungkapkan bahwa resiliensi memegang peranan penting dalam hidup individu, yang mana resiliensi merupakan hal yang esensial bagi kesuksesan dan kebahagiaan[2].
Bahkan jauh sebelum teori-teori barat dan penelitian tentang self recilience ini, Allah sudah mengabarkan bagaimana kita harus bersabar dalam menghadapi ujian melalui firman-Nya dalam QS Furqan ayat 75.
”Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.”
Sebab bersabar dalam ujian adalah fondasi awal self recilience menuju langkah-langkah selanjutnya untuk bangkit.
Memang terdengar klasik di telinga kita, dan orang pada umumnya sudah mengetahui bahwa ketika diuji harus dihadapi dengan kesabaran. Namun sering kali dalam realitanya bersabar adalah sesuatu yang sangat sulit saat dijalani. Oleh sebab itu lah Allah membalas kesabaran kita di dunia dengan surga, Insyaallah.
Apalagi di era digital ini, permasalahan dan ujian bisa datang kapan saja dan dengan mudahnya dapat mengubah kondisi emosional kita. Secara pribadi, saya ingin mengajak kepada seluruh pembaca untuk sama-sama lebih tangguh dalam menjalani kehidupan bagaimanapun kondisinya.
Percayalah pada Allah Swt. bahwa Dia akan menolongmu, percayalah pada diri sendiri bahwa kita mampu melewati ujian ini dengan baik, percayalah pada masa depan yang lebih baik jika kita mampu bersabar hari ini.