Oleh: Ustaz Amin Muchtar (Sekretaris Dewan Hisbah PP PERSIS)
Pada bulam Muharram, terdapat satu hari yang dianggap istimewa oleh berbagai kalangan, baik umat Islam maupun di luar umat Islam. Hari yang dimaksud adalah hari Asyura, sebutan untuk tanggal 10 bulan Muharram.
Pengertian Asyura dan Sejarahnya
Al-Qurthubi berkata:
عَاشُوْرَاءُ مَعْدُوْلٌ عَنْ عَاشِرَةٍ لِلْمُبَالَغَةِ وَالتَّعْظِيْمِ وَهُوَ فِي الأَصْلِ صِفَةٌ لِلَّيْلَةِ الْعَاشِرَةِ لأَنَّهُ مَأْخُوْذٌ مِنَ الْعَشْرِ الَّذِي هُوَ إِسْمُ الْعَقْدِ وَالْيَوْمُ مُضَافٌ إِلَيْهَا فَإِذَا قِيْلَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ فَكَأَنَّهُ قِيْلَ يَوْمُ اللَّيْلَةِ الْعَاشِرَةِ اَلاَ إِنَّهُمْ لَمَّا عَدَلُوْا بِهِ عَنِ الصِّفَةِ غَلَبَتْ عَلَيْهِ الإِسْمِيَّةُ فَاسْتَغْنَوْا عَنِ الْمَوْصُوْفِ فَحَذَفُوْا اللَّيْلَةَ فَصَارَ هذَا اللَّفْظُ عَلَمًا عَلَى الْيَوْمِ الْعَاشِرِ
Artinya: “Kata Asyura adalah shigah mubalagah, yaitu dirubah dari kata ‘asyirah yang berfungsi untuk menyangatkan arti (mengandung makna sangat) dan mengagungkan. Pada asalnya digunakan sebagai sifat malam ke-10, karena diambil dari kata al-asyr sebagai nama bilangan puluhan, dan kata yaum disandarkan kepadanya. Bila dikatakan Yaum Asyura seolah-olah perkataan itu bermakna: Hari malam Asyirah. Ketahuilah, ketika mereka merubah kata itu dari sifat, dan didominasi oleh isim (nama), mereka mengangap cukup dengan mausuf (kata yang disifatinya), lalu membuang kata “al-lail”, sehingga kata itu menjadi nama bagi hari ke-10.” [1]
Sebagian ulama berpendapat bahwa hari ke-10 bulan Muharram dinamakan Asyura karena pada hari itu Allah memuliakan 10 Nabi dengan 10 kemuliaan. Para nabi yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Pertama, Adam (diperkirakan hidup pada 5872-4942 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diterima taubatnya.
Kedua, Nuh (diperkirakan hidup pada 3993-3043 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diselamatkannya dari banjir besar dan bahteranya berlabuh di atas bukit Judi.
Ketiga, Ibrahim (diperkirakan hidup pada 1997 -1822 SM). Pada hari itu ia dilahirkan.
Keempat, Ya'qub (diperkirakan hidup pada 1837 - 1690 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan disembuhkannya dari kebutaan.
Kelima, Yusuf (diperkirakan hidup pada 1754 - 1635 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diselamatkannya dari sumur.
Keenam, Musa (diperkirakan hidup pada 1527 - 1407 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diselamatkannya dari kejaran Fir’aun.
Ketujuh, Dawud (diperkirakan hidup pada 1041 - 971 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diterima taubatnya.
Kedelapan, Yunus (diperkirakan hidup pada 820 - 750 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diselamatkannya dari perut ikan.
Kesembilan, Isa (diperkirakan hidup di bumi pada 1 SM – 32 M). Pada hari itu ia dilahirkan dan diangkat ke langit dalam keadaan hidup.
Kesepuluh, Muhammad (diperkirakan hidup pada 571 – 632 M). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diampuni dosa-dosanya, baik di masa lalu maupun masa mendatang.
Sementara menurut ulama yang lain, kategori 10 Nabi itu meliputi Idris, Ayub, dan Sulaiman.
Adapun bentuk pengistimewaannya sebagai berikut: Idris (diperkirakan hidup pada 4533 - 4188 SM). Pada hari itu ia diangkat ke langit.
Ayyub (diperkirakan hidup pada 1540 - 1420 SM). Pada hari itu ia disembuhkan dari penyakitnya.
Sulaiman (diperkirakan hidup pada 989 - 931 SM). Pada hari itu ia dianugerahi kekuasaan sebagai raja. [2]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa dilihat dari aspek kronologi, sikap manusia terhadap Asyura memiliki rentang waktu yang cukup panjang.
Meski demikian, yang akan diuraikan di sini hanya beberapa periode nabi yang diterangkan di dalam al-Quran dan Sunnah, di mulai pada masa Nabi Nuh (diperkirakan hidup pada 3993-3043 SM).
Asyura Zaman Nabi Nuh (diperkirakan hidup pada 3993-3043 SM).
Pada zaman ini, Asyura berhubungan erat dengan suatu peristiwa yang dialami oleh Nabi Nuh As., sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt. sebagai berikut:
وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Artinya: Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim." (Q.S Hud:44)
Peristiwa berlabuhnya kapal Nabi Nuh di atas bukit Judi terjadi pada hari Asyura sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، قَالَ: مَرَّ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم بِأُنَاسٍ مِنَ الْيَهُودِ قَدْ صَامُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: ...وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِىِّ، فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى...
Artinya: Dari Abu Huraerah, ia berkata, “Nabi saw. melewati beberapa orang Yahudi, sungguh mereka shaum hari Asyura, mereka berkata, “…Ini adalah hari di mana perahu itu (Nuh) berlabuh di atas bukit Judi, lalu Nuh dan Musa melaksanakan shaum hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah…”HR. Ahmad. [3]
Kata Imam al-Qurtubi:
إِسْتَوَتْ عَلَيْهِ فِي الْعَاشِرِ مِنَ الْمُحَرَّمِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَصَامَهُ نُوْحٌ وَأَمَرَ جَمِيْعَ مَنْ مَعَهُ مِنَ النَّاسِ وَالْوَحْشِ وَالطَّيْرِ وَالدَّوَابِ وَغَيْرِهَا فَصَامُوْهُ شُكْرًا للهِ تعالى
Artinya: “Perahu itu (Nuh) berlabuh di atasnya pada 10 Muharram, hari Asyura. Maka Nabi Nuh melaksanakan shaum (hari itu) dan ia memerintah kepada semua makhluk yang menyertainya: manusia, binatang liar, burung, dan binatang ternak, dan lain-lain, lalu mereka melaksanakan saum itu sebagai rasa syukur kepada Allah.” [4]
Kata Ibnu Hajar:
وَحَاصِلُهَا أَنَّ السَّفِيْنَةَ اسْتَوَتْ عَلَى الْجُوْدِيِّ فِيْهِ فَصَامَهُ نُوْحٌ وَمُوْسَى شُكْرًا
Artinya: “Dan kesimpulannya bahwa perahu itu (Nuh) berlabuh di atas bukit Judi pada hari itu (10 Muharram), lalu Nuh dan Musa melaksanakan shaum hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah.” [5]
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa bagi Nabi Nuh hari Asyura dianggap istimewa karena pada hari itu Allah menyelamatkan beliau dan kaumnya yang beriman dari banjir besar.
Lalu Nabi Nuh melaksanakan shaum pada hari itu sebagai sebagai rasa syukur kepada Allah.
Adapun posisi bukit judi berhadapan dengan semenanjung Ibnu Umar, yang sekarang menjadi perbatasan Suriah-Turki, di tepian sebelah timur sungai Tigris. Bukit Judi ini terlihat jelas dari daerah Ainu Diwar, Suriah. [6]
Asyura Zaman Nabi Musa (diperkirakan hidup pada 1527 - 1407 SM).
Pada zaman ini, Asyura berhubungan erat dengan suatu peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa As., sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt. sebagai berikut:
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” QS. Al-Baqarah:49
Peristiwa di atas terjadi pada hari Asyura sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هذَا قَالُوا هذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Artinya: Dari Ibnu Abbas berkata, Ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, beliau medapati orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum pada hari Asyura. Maka beliau bertanya mengenai hal itu, maka mereka berkata, “Pada hari ini Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan bani Israil atas (kejaran) Fir’aun, maka Musa menshauminya.” Rasulullah Saw. menjawab, “Kamilah yang paling berhak dengan Musa.” Kemudian beliau shaum dan memerintah para shahabat agar menshauminya. HR. Al-Bukhari. [7]
Imam al-Bukhari meriwayatkan pula dengan redaksi:
فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْن فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ
“Maka mereka berkata, ‘Ini adalah hari agung, yaitu hari ini di mana Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan Fir’aun beserta tentaranya, maka Musa menshauminya sebagai rasa syukur kepada Allah.” [8]
فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْفَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ وَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ
“Maka mereka berkata, ‘Ini adalah hari di mana Allah Swt. pernah memenangkan Nabi Musa dan bani Israil atas Fir’aun, dan kami menshauminya karena mengagungkannya’.” [9]
Hadis di atas menunjukkan bahwa bagi orang Yahudi hari Asyura dianggap istimewa karena pada hari itu Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun dan tentaranya.
Di mana waktu itu Fir’aun dan tentaranya mati tenggelam. Lalu Musa melaksanakan shaum pada hari itu. Dan peristiwa selamatnya Nabi Musa diperingati oleh Yahudi dengan cara melaksanakan shaum Asyura.
Asyura Zaman Nabi Isa (1 SM – 32 M)
Pada zaman ini, Asyura berhubungan erat dengan perbuatan Nabi Isa, sehingga hari itu diagungkan oleh kaum Nashara, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt. sebagai berikut:
حِينَ صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَنَا بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى ...
Di saat Rasulullah Saw. shaum pada hari Asyura dan beliau memerintah shaum (kepada para sahabat) mereka berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.” … HR. Muslim, Abu Dawud, al-Baihaqi. [10]
Bagi orang Nashrani hari Asyura dianggap istimewa karena pada hari itu Nabi Isa melaksanakan shaum, dan Shaum Nabi Isa merupakan kelanjutan syariat shaum Nabi Musa yang tidak dimansukh oleh syariat Nabi Isa. Karena itu orang Nashrani pun melaksanakan shaum Asyura. [11]
Asyura Zaman Jahiliyyah
Jahiliyah adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa di mana penduduk Mekah berada dalam ketidaktahuan (kebodohan). Akar istilah jahiliyyah adalah bentuk kata kerja jahala, yang memiliki arti menjadi bodoh, bodoh, bersikap dengan bodoh atau tidak peduli.
Kemudian dalam syariat Islam memiliki arti ketidaktahuan akan petunjuk Ilahi. Keadaan tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab kuno, yaitu pada masa masyarakat Arab pra-Islam sebelum diutusnya seorang rasul yang bernama Muhammad. [12]
Oleh Ibnu Abas, masa ini disebut pula masa fatrah selama 434 tahun, dihitung sejak Nabi Isa diangkat ke langit (sekitar 32 M) hingga masa diangkatnya Muhammad saw. menjadi Nabi dan Rasul. [13]
Bagi orang Arab Jahiliyyah, Asyura dianggap istimewa karena pada hari itu diperbarui penutup (kiswah) Ka’bah.
Dan untuk melengkapi pengagungannya mereka melaksanakan shaum pada hari itu. Penjelasan tentang itu kita peroleh dari hadis berikut ini:
عَن عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, “Hari Asyura adalah waktunya shaum orang-orang Quraisy di zaman jahiliyah.” HR. Al-Bukhari. [14]
Pada masa ini, Nabi Muhamad saw. turut serta menshauminya karena masih mengikuti tradisi jahiliyyah. Aisyah menjelaskan:
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُهُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ
“Dan Rasulullah saw. menshauminya pada masa jahiliyyah.” HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, Malik, asy-Syafi’I.[15]
Adapun latar belakang orang jahiliyyah menghormati Asyura, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
Imam Al-‘Ainiy berkata:
كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيْهِ الْكَعْبَةُ وَكَانَتْ تُكْسَى فِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ
“Hari Asyura adalah hari ditutupnya Ka’bah. Dan ia ditutup pada setiap tahun satu kali pada hari Asyura.”[16]
Syekh Athiyyah Muhamad bin Salim berkata:
وَقُرَيْشٌ كَانَتْ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَتُجَدِّدُ فِيْهِ كِسْوَةَ الْكَعْبَةِ
“Orang-orang Quraisy saum pada hari Asyura dan pada hari itu (pula) mereka memperbarui kiswah Ka’bah.” [17]
Dr. Jawwad Ali berkata:
أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تُعَظِّمُ هذَا الْيَوْمَ، وَكَانُوْا يَكْسُوْنَ الْكَعْبَةَ فِيْهِ، وَصَوْمُهُ مِنْ تَمَامِ تَعْظِيْمِهِ
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengagungkan hari ini, dan pada hari itu mereka menutup ka’bah, dan melaksanakan saum karena melengkapi pengagungannya.” [18]
Asyura Zaman Nabi Muhamad Saw
Nabi Muhammad Saw hidup di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, terhitung sejak masa bi’tsah (pengangkatan Nabi & Rasul) tanggal 17 atau 25 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran Nabi, yang bertepatan dengan 6 atau 14 Agustus 610 M, hingga 1 Rabi’ul Awwal tahun ke-54 dari tahun kelahirannya atau tahun 13 kenabian, yang bertepatan dengan 13 September 622 M.
Dari data di atas, kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa selama hidup di Mekah sebagai Nabi dan Rasul, beliau telah “mengalami” Asyura sebanyak 11 kali.
Selama periode Mekah ini, beliau telah menyikapi Asyura dengan melaksanakan shaum. Pelaksanaan shaum Asyura periode Mekah dijelaskan dalam hadis-hadis berikut ini:
عَن عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ
Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, “Hari Asyura adalah waktunya shaum orang-orang Quraisy di zaman jahiliyah dan Rasulullah Saw. pun menshauminya…” HR. Al-Bukhari. [19]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَهُ ، وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ
Artinya: Dari Ibnu Umar (ia berkata), “Sesungguhnya kaum jahiliyah melakukan shaum pada hari Asyura dan sesungguhnya Rasulullah Saw. beserta kaum muslimin melaksanakan shaum itu sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan.” HR. Al-Baihaqi. [20]
Setelah datang perintah berhijrah kepada Nabi saw., maka beliau melaksanakan perintah itu dan ditemani oleh Abu Bakar.
Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah, waktu itu masih bernama Yatsrib, Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M. dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah.” [21]
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, namun ada pula yang menyatakan hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.
Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram. Awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M.
Memasuki bulan Muharram tahun ke-2 hijriah, Nabi saw. mendapati orang-orang Yahudi di Madinah melaksanakan shaum pada hari Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka mengenai hal itu, lantas mereka menjawab, “Pada hari ini Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil atas (kejaran) Fir’aun, maka Musa menshauminya.” Rasulullah Saw. menjawab, “Kamilah yang paling berhak dengan Musa.” Kemudian beliau shaum dan memerintah para shahabat agar menshauminya. Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari. [22]
Perintah shaum Asyura pada masa awal hijrah itu dipertegas oleh Abu Musa sebagai berikut:
عَنْ أَبِى مُوسَى - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa Ra., ia berkata, “Hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan dijadikan sebagai hari raya. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Shaumlah kalian pada hari itu’.” HR. Muslim. [23]
Adapun proses penetapan hukum shaum itu, sebagaimana dilaporkan oleh beberapa orang shahabat Nabi saw., antara lain sebagai berikut:
Pertama, Salamah bin al-Akwa’
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ رَضِي اللهُ عَنْه قَالَ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ أَنْ أَذِّنْ فِي النَّاسِ أَنَّ مَنْ كَانَ أَكَلَ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ أَكَلَ فَلْيَصُمْ فَإِنَّ الْيَوْمَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ
Dari Salamah bin Al-Akwa’ Ra., ia berkata, “Nabi saw. memerintah seseorang dari Aslam (Bani Aslam, kabilah populer) untuk memberitahukan kepada orang-orang bahwa barangsiapa sudah makan, maka shaumlah pada sisa harinya. Dan barangsiapa belum makan, maka shaumlah, karena hari ini adalah hari Asyura.” HR. Al-Bukhari. [24]
Dalam riwayat al-Baihaqi dengan redaksi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَعَثَ رَجُلاً مِنْ أَسْلَمَ إِلَى قَوْمِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ : مُرْهُمْ فَلْيَصُومُوا هَذَا الْيَوْمَ. فَقَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ مَا أُرَانِى آتِيَهُمْ حَتَّى يَطْعَمُوا قَالَ : مَنْ طَعِمَ مِنْهُمْ فَلْيَصُمْ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ
“Bahwa Rasulullah saw. mengutus seseorang dari Aslam kepada kaumnya pada hari Asyura. Maka beliau bersabda, ‘Perintahlah mereka, hendaklah mereka shaum pada hari ini. Maka ia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apa yang diperintahkan kepadaku ketika aku akan mendatangi mereka sedang makan?’ Beliau bersabda, ‘Barangsiapa di antara mereka sudah makan, maka shaumlah pada sisa harinya’.”[25]
Kedua, Hind bin Asma
عَنْ هِنْدِ بْنِ أَسْمَاءَ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قَوْمِي مِنْ أَسْلَمَ فَقَالَ مُرْ قَوْمَكَ فَلْيَصُومُوا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ وَجَدْتَهُ مِنْهُمْ قَدْ أَكَلَ فِي أَوَّلِ يَوْمِهِ فَلْيَصُمْ آخِرَهُ
Dari Hind bin Asma, ia berkata, “Rasulullah saw. mengutusku kepada kaumku dari Bani Aslam. Maka beliau bersabda, ‘Perintahkanlah kaummu, hendaklah mereka shaum pada hari ini, hari Asyura. Barangsiapa engkau dapati di antara mereka sudah makan pada permulaan hari hendaklah ia shaum di akhir hari’.” HR. Ahmad.[26]
Ketiga, Ibnu Abbas
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : أَرْسَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَهْلِ قَرْيَةٍ عَلَى رَأْسِ أَرْبَعَةِ فَرَاسِخَ ، أَوْ قَالَ : فَرْسَخَيْنِ - يَوْمَ عَاشُورَاءَ ، فَأَمَرَ مَنْ أكَلَ أَنْ لاَ يَأْكُلَ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ، وَمَنْ لَمْ يَأْكُلْ أَنْ يُتِمَّ صَوْمَهُ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah saw. mengutus (seseorang) kepada penduduk suatu kampung sejauh 4 atau 2 farsakh pada hari Asyura. Maka beliau memerintahkan: ‘Barangsiapa sudah makan, agar tidak makan pada sisa harinya. Dan barangsiapa belum makan agar menyempurnakan shaumnya.” HR. Ahmad.[27]
Keempat, Abu Huraerah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ لِأَصْحَابِهِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ مِنْكُمْ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ وَمَنْ كَانَ أَصَابَ مِنْ غَدَاءِ أَهْلِهِ فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ
Dari Abu Huraerah, ia berkata, “Nabi saw. shaum hari Asyura, maka beliau bersabda kepada para shahabatnya, ‘Barangsiapa di antara kalian pada pagi hari telah shaum maka sempurnakanlah shaumnya, dan barangsiapa sudah makan, maka shaumlah pada sisa harinya’.” HR. Ahmad.[28]
Kelima, Muhammad bin Shaifiy
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ صَيْفِيٍّ ، قَالَ : قَالَ لَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى الله عَليْهِ وسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ : مِنْكُمْ أَحَدٌ طَعِمَ الْيَوْمَ ؟ قُلْنَا : مِنَّا طَعِمَ ، وَمِنَّا مَنْ لَمْ يَطْعَمْ ، قَالَ : فَأَتِمُّوا بَقِيَّةَ يَوْمِكُمْ ، مَنْ كَانَ طَعِمَ ، وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْ ، وَأَرْسِلُوا إِلَى أَهْلِ الْعَرُوضِ ، فَلْيُتِمُّوا بَقِيَّةَ يَوْمِهِمْ , قَالَ : يَعْنِي أَهْلَ الْعَرُوضِ حَوْلَ الْمَدِينَةِ.
Dari Muhammad bin Shaifiy, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda kepada kami pada hari Asyura: ‘Adakah seseorang di antara kalian yang telah makan hari ini?’ Kami menjawab, ‘Di antara kami ada yang sudah makan, da nada pula yang belum.’ Beliau bersabda, ‘Maka kalian sempurnakanlah pada hari tersisa, baik yang sudah makan maupun yang belum, dan utuslah kepada penduduk Arudh, maka kalian sempurnakanlah pada hari tersisa.” Muhammad berkata, “Yaitu penduduk ‘Arudh sekitar Madinah.” HR. Ibnu Majah.[29]
Sementara proses perubahan tingkat akurasi hukumnya dari wajib kepada tathawwu (sunat) dijelaskan oleh Aisyah sebagai berikut:
كَانَتْ قُرَيْشٌ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُهُ فَلَمَّا هَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ شَهْرُ رَمَضَانَ قَالَ مَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ
“Kaum Quraisy pada zaman Jahiliyah selalu shaum pada hari Asyura' dan Rasulullah saw. juga shaum pada hari itu. Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau tetap shaum pada hari itu dan menyuruh para sahabat untuk shaum pada hari itu. Namun ketika diwajibkan shaum bulan Ramadan, beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang hendak shaum, maka shaumlah. Dan barangsiapa tidak ingin shaum, maka ia boleh meninggalkannya’.” HR. Muslim. [30]
Dalam riwayat al-Bukhari dengan redaksi:
فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.
“Ketika difardhukan shaum Ramadhan, beliau meninggalkannya (tidak shaum). Beliau bersabda, ‘Barangsiapa yang hendak shaum, maka shaumlah. Dan barangsiapa tidak ingin shaum, maka ia boleh meninggalkannya’.” HR. Al-Bukhari. [31]
Perkataan Aisyah di atas diperkuat oleh keterangan Ibnu Umar sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ بَعْدَمَا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ : مَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَهُ.
“Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda—tentang shaum Asyura setelah turun kewajiban shaum Ramadhan—‘Barangsiapa yang hendak shaum (maka shaumlah). Dan barangsiapa yang hendak berbuka (maka berbukalah).” HR. Ibnu Hiban. [32]
Juga keterangan Mu’awiyah sebagai berikut:
وَعَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَمِعَ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِى سُفْيَانَ خَطِيباً بِالْمَدِينَةِ - يَعْنِى فِى قَدْمَةٍ قَدِمَهَا - خَطَبَهُمْ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ يَا أَهْلَ الْمَدِينَةِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَقُولُ لِهَذَا الْيَوْمِ هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا صَائِمٌ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَصُومَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُفْطِرَ فَلْيُفْطِرْ – رواه مسلم
“Dari Humaid bin Abdurrahman, bahwa ia mendengar Muawiyah bin Abu Sufyan berpidato di Madinah yaitu ketika ia berkunjung ke kota tersebut, ia berkhutbah kepada mereka pada hari Asyura. Ia bertanya, ‘Di manakah ulama-ulama kalian, wahai penduduk Madinah? Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda tentang hari ini, ‘Hari ini adalah hari Asyura dan Allah tidak mewajibkan kalian melaksanakan shaum pada hari ini, tetapi aku shaum. Maka barangsiapa di antara kalian ingin shaum, maka shaumlah dan barangsiapa di antara kalian ingin berbuka, maka berbukalah’.” HR. Muslim. [33]
Dari berbagai keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada mulanya—ketika tahun pertama Nabi Saw berada di Madinah—shaum ini hukumnya wajib.
Namun setelah datang kewajiban shaum bulan Ramadan pada tahun ke-2 hijrah, shaum ini beralih hukumnya menjadi sunat, dan ketika itu pelaksanaannya hanya satu hari tanggal 10 Muharram.
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ : أَفْضَلُ الصِّياَمُ بَعْدَ رَمَضَانِ شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Shaum yang paling utama setelah (shaum) Ramadhan adalah bulan Allah Muharam.” HR. Muslim, Ahmad, Abd bin Humaid. [34]
Menisbatkan bulan Muharam kepada Allah tiada lain sebagai bentuk pengagungan bulan tersebut. Sebab pada hakikatnya, semua bulan-bulan dan hari-hari itu seluruhnya milik Allah Swt. [35] Disamping memiliki keutamaan, shaum Muharam memiliki “khasiat” dapat menghapus dosa-dosa kecil satu tahun yang telah berlalu, sebagaimana dinyatakan Nabi saw.:
وَصُومُ يَوْمِ عاَشُورَاءَ يُكَفِّرُ سَنَةَ مَاضِيَةٍ
“Dan shaum hari Asyura dapat menutupi (dosa) satu tahun yang telah berlalu.” HR.Al-Jama’ah kecuali al-Bukhari dan at-Tirmidzi.[36]
Memasuki masa akhir periode Madinah (tahun 11 H), ketika para sahabat telah merasa kurang nyaman melakukan shaum Asyura yang sama persis dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani, Nabi saw. mencanangkan untuk melakukan perbedaan. Ibnu Abas mengatakan:
لمَاَّ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَ أَمَرَ بِصَيَامِهِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ اليَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ : فَإِذَا كَانَ عَامُ الْمُقْبِلِ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا اليَوْمَ التَّاسِعَ . قَالَ : فَلَمْ يَأْتِ العَامُ المُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Ketika Rasulullah saw. melakukan Shaum Asyura dan beliau memerintah (para sahabat) untuk melakukannya. Mereka berkata, ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu merupakan hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’ Beliau menjawab, ’Nanti tahun depan (12 H) insya Allah kita akan melaksanakan shaum tanggal sembilannya’ Ia berkata, ‘Tetapi tahun depan itu belum datang Rasulullah saw. telah berpulang keharibaan-Nya (tahun 11 H).”HR. Muslim dan Abu Dawud. [37]
Di dalam riwayat lain, Ibnu Abas mengatakan dengan redaksi :
قاَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ بَقَيْتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ
Rasulullah Saw, telah bersabda, ”Jika aku masih hidup sampai tahun depan (12 H), niscaya aku akan shaum tanggal sembilannya, yaitu hari Asyura.” HR. Ahmad dan Muslim. [38]
Rasululah Saw sendiri tidak berkesempatan melaksanakan shaum tanggal sembilan Muharam di tahun itu (12 H), tetapi rencana beliau untuk melaksanakannya membuktikan bahwa shaum di tanggal 9 Muharram itu telah disyariatkan. Pencanangan syariat demikian itu, oleh sebagian ulama disebut Sunnah Hammiyyah Rasulullah (sunah rencana dan cita-cita Rasulullah)
Dari berbagai keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pada masa Nabi Saw, penetapan saum sunat Muharram mengalami perkembangan. Semula hanya dilaksanakan satu hari tanggal 10 Muharram yang disebut Asyura.
Namun pada masa akhir kenabian, untuk membedai kebiasaan Jahiliyah, Yahudi atau Nasrani, Rasulullah saw. memerintahkan agar umat Islam melakukan shaum sehari sebelumnya yaitu tanggal 9 Muharam yang disebut Tasu’a.
Sehingga pelaksanaan saum sunat Muharram disyariatkan dua hari tanggal 9 dan 10 bulan Muharam yang disebut saum Tasu’a-Asyura.
Pelaksanaan shaum Muharram 2 hari (9-10) itu senantiasa dipelihara oleh generasi shahabat dan terus diajarkan kepada generasi berikutnya. Sehubungan dengan itu, Ibnu Abbas mengatakan:
صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
“Shaumlah kalian pada hari kesembilan dan kesepuluh dan berbedalah kalian dengan orang-orang Yahudi.” HR. At-Tirmidzi dan al-Baihaqi. [39]
Paparan data serta analisisnya, sebagaimana terurai pada edisi lalu dan sekarang, menunjukkan betapa hari Asyura telah mendapatkan perlakuan istimewa dari berbagai kalangan, baik umat Islam maupun di luar umat Islam.
Nabi Muhammad, sebagai penutup para nabi dan rasul, telah mengajarkan cara penghormatan terhadap bulan Muharram dan menyikapi hari Asyura dalam bentuk pelaksanaan sunnah beliau, berupa shaum sunat 9-10 Muharram.
Bentuk penghormatan dan cara menyikapi demikian itu terus dilestarikan oleh para shahabat beliau dan akan terus berlanjut hingga di masa mendatang.
Meski begitu, terdapat sekelompok orang, yang mengaku pengikut Ahlul Bait, berfaham Syiah Itsna ‘Asyariyyah alias Imamiyyah alias Jakfariyyah, yang menyikapi Asyura dengan keyakinan dan sikap berbeda.
Karena bagi mereka, Asyura dijadikan hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai wujud bersungkawa serta ungkapan kesedihan dan penyesalan.
Mengapa mereka bersikap demikian? Temukan jawaban soal itu pada edisi selanjutnya
[]
[10] HR. Muslim, Shahih Muslim, II:797, No. 1134; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:327, No. 2445; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:287, No. 8184.
[12] Penjelasan selengkapnya dapat dibaca pada kitab I’anah al-Mustafid bi Syarah Kitab at-Tawhid, II:219.
[15] HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:326, No. 2442; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:288, No. 8192; Malik, al-Muwatha, I:299, No. 662; asy-Syafi’I, Musnad asy-Syafi’I, I:161.
[21] Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hlm. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hlm. 98.
[24] Shahih Al-Bukhari, II:705, No. 1903. Al-Bukhari meriwayatkan pula dengan redaksi berbeda (Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. 1824; VI:2652, No. 6837).
[29] Sunan Ibnu Majah, I:552, No. 1735. Diriwayatkan pula oleh Ahmad (Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:388, No. 19.554; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, III:289, No. 2091).
[34] HR. Muslim, Shahih Muslim, II:821, No. 1163, Ahmad, Musnad Ahmad, II:344, No. 8515, Abd bin Humaid, al-Musnad, I:416, No. 1423.
[39] HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:128, No. 755, al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:287, No. 8187..