Transformasi PERSIS dalam sistem manajerial-keorganisasiannya jelas ditunjang dengan masuknya para pelajar-aktivis JIB seperti Natsir, Fachroeddin Alkhahiri, Bachtiar Efendi dan lainnya. Natsir sendiri—setelah ceramahnya yang bersejarah pada Konferensi PERSIS yang pertama—diangkat menjadi Wakil Ketua PB. PERSIS, mendampingi M. Zamzam. Faktor lain naiknya pamor Natsir pada Jam’iyyah PERSIS adalah keputusan Sobirin untuk mundur dari jabatan Sekretaris PERSIS dan memilih untuk menjadi salah satu Ketua Partai Sarekat Islam (PSI) bersama mentor politiknya, H. Agus Salim. Tadinya, periode 1923-1933, Sobirin adalah orang kedua di Jam’iyyah PERSIS setelah Zamzam. Sehingga selama ada Sobirin, posisi Natsir selalu menjadi wakil Sobirin (lihat, Mustika Dagblad Indonesia Oemoem, 1931: 5).
Di tahun-tahun berikutnya, Dwi-Tunggal Zamzam dan Natsir mengembangkan gerakan PERSIS. Pada tahun 1936, melalui Konferensi PERSIS yang ketiga, Qanun Persistri disahkan sebagai bagian dari PERSIS. Masih pada tahun 1936, pembentukan Pemuda PERSIS mulai diinisiasi. Pada tahun 1937 dibentuk Persatuan Islam Bahagian Ekonomi, sementara Kepanduan Persatuan Islam (KPI) diadakan mulai tahun 1938. Dengan semua kelengkapan organisasi tersebut, Natsir pun mengajukan recth-persoon (badan hukum) ke Majlis Kehakiman Kolonial Belanda pada tahun 1938, supaya PERSIS menjadi ormas yang legal.
Surat Keputusan (SK) dari Pemerintah Kolonial pun turun pada tahun berikutnya. SK dari Directeur van Justitie dengan nomor A.43/30/20 tertanggal 24 Agustus 1939. Ditegaskan pada SK itu, “…die Vereeniging mitsdien te ekkennen als rechtpersoon,” bahwa PERSIS resmi menjadi sebuah ormas yang berbadan hukum. Tercatat pada SK itu, status Natsir adalah Vice-Voorzitter Hoofd Bestuur Persatuan Islam (Wakil Ketua PB. PERSIS). “Persatuan Islam adalah—apa jang disebut orang sekarang—satu “ormas”, organisasi massa jang pekerdjaannja dikonsentrasikan di bidang da’wah. Ja’ni da’wah dalam arti kata jang luas…Maka mendjadilah ‘Persatuan Islam’ dari satu organisasi ‘massa’, mendjadi satu organisasi ‘ummat-da’wah’, untuk memenuhi kehendak Ilahy,” kata Pak Natsir (1968: 12).
Regenerasi Pemimpin Jam’iyyah
Namun demikian, pada tahun 1939 inilah PERSIS mengalami sedikit kegoncangan. Terjadi kegaduhan di lingkungan elite PERSIS. Kegaduhan ini bahkan melibatkan Ketua PB PERSIS, Tuan M. Zamzam. Rumitnya kegaduhan di internal elite PERSIS ini sampai-sampai harus ada “Panitia Islah” yang dpimpin oleh Tuan Hassan (Ketua Tim) dengan anggotanya antara lain Ustaz E. Abdurrahman dan Ustaz Qamaruddin Shaleh. Tentang panitia islah ini ditulis KM. Yusuf Zamzam, putra Tuan M. Zamzam, di majalah Risalah No. 6, tahun 1988, hlm. 5.
Muncullah tuduhan pada Ketua PB PERSIS, bahwa yang bersangkutan telah “menyalahi aturan agama” terkait dengan klaim harta warisan istrinya, Nyayu Hamimah, putri saudagar kaya Kiagus Anang Tajib. Klaim berupa boedel (perkebunan) yang dituntut oleh Tuan Zamzam, karena dianggap hak Nyayu Hamimah dari ibunya, yakni istri dari KM. Anang Tajib. “Soengguhpoen penoentoetan saja itoe, saja merasa tidak keloear dari kebenaran Agama, lantaran mertoea perempoean saja bekerdja bersama-sama dengan soeaminja, jaitoe toean H. Anang Tajib, tetapi lantaran banjak orang-orang jang beloem tahoe doedoek perkaranja, menjangka saja dalam kesalahan,” kata Tuan Zamzam (Al-Lisaan No. 37, Juli 1939, hlm. 36). Dari tuduhan ini menyebabkan tersebarnya isu bahwa sang pendiri PERSIS itu di-rojeer (diberhentikan secara tidak hormat) dari kedudukannya, sekaligus keluar dari anggota PERSIS. Tuduhan dan isu yang tidak benar dan jelas sangat berlebihan.
Akhirnya, atas wasilah “Panitia Islah” Tuan Hassan dan Ustaz E. Abdurrahman, harta yang berupa boedel (perkebunan) itu pun kemudian diwakafkan pada Jam’iyyah untuk membangun kompleks Pesantren Persatuan Islam di kawasan jalan Pajagalan, Kota Bandung. “Di samping Jl. Pajagalan 14, diberikan juga tanah perkebunan teh seluas 100 ha untuk digunakan bagi pembangunan sekolah, masjid di Jl. Pajagalan 14 Bandung,” kata KM. Yusuf Zamzam (Risalah, No. 6/1988). Beberapa bulan kemudian, Tuan Hassan sendiri malah pindah—sekaligus memindahkan “Pesantren Besar” PERSIS—dari Bandung ke Bangil (Jawa Timur). Namun, tidak berhenti di situ saja, terjadi juga peristiwa yang menyedihkan sebagai dampak dari kegaduhan dan isu-isu miring tersebut. Yakni, mundurnya sang pendiri PERSIS dari jabatan Ketua Hoofd Bestuur (Pengurus Besar).
Peristiwa dramatis tersebut terjadi pada Juni-Juli 1939. Tuan Zamzam mengajukan surat pengunduran dirinya sebagai Ketua PB. PERSIS. Surat tertanggal 22 Juni 1939 ditujukan oleh Tuan Zamzam pada Pengurus PB PERSIS, yang pada ujungnya tertulis: “…maka soepaja tidak terganggoe nama Persatoean Islam, dengan sangat saja minta toean-toean terima permintaan saja, boeat berhenti djadi ketoea H. B. Persis, dan saja harap toean-toean siarkan soerat ini di dalam soerat chabar, teroetama Berita Persis, Al-Lisaan dan Pembangkit, dan lain-lain madjalah Persis, soepaja fihak jang tidak senang kepada saja djangan menjiarkan jang saja ini dirojeer oleh Persis, lantaran memadjoekan penda’waan menjalahi agama sebagaimana sekarang soedah disiarkan dengan mengirim soerat-soerat kesana kemari.” (Zamzam dalam Al-Lisaan No. 37, Juli 1939, hlm. 36).
BACA JUGA: Mengenang 74 Tahun Mosi Integral Mohammad Natsir
