Bandung - persis.or.id, "Jumat, 11 Maret 2019" akan diingat sebagai sejarah kelam peradaban manusia. Penembakan jamaah shalat Jum’at di dua Masjid di Christchurch, Selandia Baru, yang menewaskan 49 orang menyedot perhatian dunia. Terlebih, tindakan keji itu secara terang-terangan disiarkan langsung di media sosial.
Adalah Brenton Tarrant (28), teroris asal Australia, yang menayangkan aksi terornya di Facebook. Tarrant menembaki jamaah shalat Jum’at di Masjid Al Noor, Christchurch. Selain merekam aksi biadabnya, Tarrant memposting tulisan setebal 74 halaman berjudul “The Great Replacement”. Manifesto itu sarat akan pesan kebencian, amarah balas dendam, dan motivasi melanjutkan perjuangan para ksatria salib pada abad pertengahan yang terlibat perang dengan Khilafah Islam. Tarrant Membawa misi dalam aksinya.
Ia mengungkapkan alasan melakukan penembakan.
“Ingin menunjukkan pada penjajah bahwa tanah kita tidak akan pernh menjadi tanah mereka, tanah air kita adalah milik kita sendiri, dan bahwa selama orang kulit putih masih hidup, mereka tidak akan pernah menaklukkan tanah kita.”
Teroris penganut supremasi kulit putih itu pun mengatakan bahwa dirinya tidak menyesal atas tindak biadabnya.
“Saya hanya berharap saya bisa membunuh lebih banyak penjajah, dan lebih banyak pengkhianat juga.”
Sekali lagi, Tarrant membawa misi dalam aksinya. Ia bukan penjahat biasa yang bisa disetarakan dengan penjahat brutal lainnya. Sehingga semua media harus sepakat menyebutnya sebagai “TERORIS”, bukan sebutan lain. Tarrant terjangkit Islamofobia akut. Ada motivasi sejarah dalam aksi kejinya. Dan hal itu tampak dalam senapan yang ia gunakan.
Terlihat beberapa nama terpampang dalam senapan. Di antaranya nama Alexandre Bissonette, seorang teroris Kanada yang melakukan serangan di Masjid di daerah Quebec pada 29 Januari 2017. Charles Martel. Raja Perancis yang mengalahkan ekspansi khilafah ke wilayah Prancis dalam Battle of Tours pada tahun 732 M. Tulisan “Tours” dan “732” pun terpampang di badan senjata.
Terdapat juga nama Anton Lundin Petterson, teroris asal Swedia yang membunuh anak-anak sekolah karena diradikalisasi oleh ajaran Kristen esktrem. Kemudian Marco Antonio Bragadin, seorang tentara di Republik Venesia yang menyerang kapal rombongan haji pada tahun 1570.
Islamofobia
Aksi teror Tarrant dan ketiga teroris lainnya di dua Masjid di Selandia Baru merupakan imbas dari “penyakit” Islamofobia yang terlanjur meluas. Dan tragedi berdarah di Christchurch termasuk yang paling mengerikan. Kebencian dan kebengisan yang ditunjukkan Tarrant kepada Muslim, kendati pun diklaim berangkat dari sebuah argumentasi, namun nyatanya kebencian itu tidak berdasar dan irasional.
Prof. John Louis Esposito, pengamat Islam terkemuka dari Georgetown University, dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Dewan Hubungan Islam-Amerika (Council on American-Islamic Relations) cabang Oklahoma pada 5 April 2014 menjelaskan arti Islamofobia sebagai berikut:
Islamophobia, seperti yang saya definisikan bukanlah tentang orang-orang yang memiliki semacam kritik berdasarkan fakta yang baik dari agama Islam. Islamophobia adalah ketika anda memiliki ketakutan irasional tidak berdasar, yang cenderung mengarah pada bias, diskriminasi, perkataan yang mendorong kebencian, dan kejatahan (berdasarkan) kebencian. Itu adalah ketakutan tak berdasar.
Sedangkan peneliti dari Universitas Hamburg, Jerman, Miriam Urbrock dan Marco Claas, dalam karya tulis Islamophobia: Conceptual Historical Analysis, mengatakan bahwa islamophobia menjadi sinonim dari anti-Islam. Yakni sikap dan tindakan yang menunjukkan ketidaksukaan terhadap agama Islam.
Rasa cemas dan kepanikan berlebih Barat terhadap Islam dipicu karena semakin berkembangnya Islam di Dunia. Oleh Barat, Islam digambarkan sebagai ancaman lipat tiga: ancaman politik, ancaman peradaban, dan ancaman demografi. Ketiga ancaman itu selalu menghantui gerak-gerik Barat (yang seringkali diwakili oleh Amerika serikat) dalam menjalankan politik luar negerinya. Barat menganggap Islam sebagai tradisi dan umat beragama yang agresif, bermusuhan dan anti Amerika. Demikian pengamatan John Esposito.
Konspirasi World Trade Center (WTC) 11 September 2001 melahirkan potret lain Islam sebagai ancaman demografis. Pasca 11/9, propaganda Islamofobia gencar diekspansi ke seluruh penjuru dunia. Namun justru populasi Muslim di Dunia semakin banyak. Penduduk Eropa berbondong-bondong hijrah memeluk Islam. Pertumbuhan penduduk Islam di Eropa dan amerika Serikat telah menjadikan Islam sebagai agama kedua terbesar di Jerman dan Perancis dan menjadi nomor ketiga terbesar di Inggris dan Amerika Serikat. Itulah yang kemudian membuat Barat semakin cemas.
Sikap kebencian terhadap Islam dan kaum Muslimin sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Umat Islam pada saat itu menghadapi ujian yang hebat dari kafir Quraisy. Abu Jahal, dan Abu Lahab adalah tokoh yang paling keras memusuhi Nabi. Dihina, diludahi, dilempari, hingga diperangi, semua pernah dialami umat Nabi. Namun umat tetap dalam agama Allah. Istiqamah membela dan memerjuangkan Islam, sehingga Islam tersebar luas ke seluruh penjuru dunia.
Itulah semangat yang harus tumbuh mengakar dalam diri setiap muslim . Stereotip negatif, propaganda Islamofobia, diskriminasi, dan kekerasan yang terus menerus menimpa umat harus menjadikan kita semakin istiqamah memeluk agama-Nya. Umat harus bersatu, umat harus bangkit, umat harus kuat. Sebab tak ada teror yang mampu menakuti seorang muslim dengan tauhid di dadanya. Wallahu A’lam
Hilman Indrawan, Ahad 17 Maret 2019
Sumber:
John L. Esposito, Ancaman Islam; Mitos atau Realitas?, (Bandung : Mizan, cet. III, 1996).
Edward Said, Covering Islam, terj. Apri Danarto (Yogyakarta: Jendela, 2002).
John L. Esposito, Bahaya Hijau! Kesalahpahaman Barat terhadap Islam.
dan berbagai sumber media