Apresiasi Ketum Pemuda PERSIS untuk Komitmen Kemandirian Jam'iyyah PP PERSIS di Muskernas 4

oleh Fia Afifah

04 Desember 2025 | 12:07

Ketum PP PERSIS Ustaz Jeje Zainudin, bersama Ketum PP Pemuda PERSIS Ibrahim Fahmi (Agus Nur Putra)

Oleh: Ibrahim Fahmi (Ketum PP Pemuda PERSIS)


Muskernas 4 PP PERSIS di Yogyakarta usai digelar beberapa hari lalu. Memang belum sepekan, karena itu masih terasa kesan positif, kebersamaan dan optimisme menyongsong masa depan jam'iyyah yang lebih baik.


Kali ini PP PERSIS mengangkat tema Muskernas tentang kemandirian jam'iyyah dan korelasiya dengan kemaslahatan umat dan bangsa. Tema ini mengingatkan saya kepada dinamika relasi PERSIS sebagai organisasi dengan negara.


Di mana dalam sejarah pergerakannya, PERSIS lebih lama memposisikan dirinya apatis dalam kehidupan bernegara. Terutama masa Orde Baru hingga awal era reformasi Indonesia.


Sejak masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Allaahuyarhamhu K.H.E. Abdurrahman, PERSIS telah memfokuskan gerakannya pada gerakan pendidikan, dakwah dan pembinaan umat tanpa embel-embel berelasi dengan kekuasaan.


Kita faham, situasi/iklim politik saat itu tidak cukup kondusif untuk dunia dakwah dan gerakan keislaman. Maka Politik Isolasi untuk jam'iyyah PERSIS diberlakukan oleh pimpinannya.


Pilihan politik dakwah PERSIS saat itu memang memaksa PERSIS menjadi organisasi yang mandiri. Gerakan dakwah dan pendidikan tak tersentuh campur tangan kekuasaan membuat PERSIS bertahan berdiri di atas kaki sendiri, sebuah kemewahan bagi organisasi yang mencita-citakan independensi gerakan dakwah sesuai dengan yang diyakininya.


Jalan sunyi yang ditempuh PERSIS sebagai gerakan dakwah adalah perjalanan yang seringkali tidak ramai, membutuhkan ketulusan, kesiapan untuk menerima perlakuan berbeda dan berfokus pada nilai-nilai agama secara ikhlas, yang kesemuanya harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat.


Independensi dan kemandirian ini sayangnya sering diterjemahkan oleh orang awam sebagai cara lain membenci pemerintah sehingga membuat vis a vis antara ormas dan negara, kemudian politik dibaca hitam dan putih.


Padahal, politik/siyasah tak sama dengan akidah. Padahal adakalanya siyasah menjadi wasilah dalam dakwah, bukankah politik isolasi ala K.H.E. Abdurrahman sebuah langkah politik? Itulah Politik Santri. Dimana ilmu dan akhlak memandu kepentingan jam'iyyah pada situasi yang sangat dinamis.


Angin politik adakalanya berubah, pada masa transisi PERSIS harus matang dalam mengambil langkah.


Politik Santri ala K.H.E. Abdurrahman merupakan warisan/legacy bagi kita pelanjutnya dalam menyikapi situasi politik yang tak selalu sama. Maka politik santri inilah yang harus memandu kita dalam membangun relasi antara gerakan dakwah dengan kekuasaan.


Oleh karena itu membangun kemandirian tidak harus dengan cara yang sama, menutup dan menolak setiap peluang dari pihak luar untuk menjalankan tugas dakwah. Termasuk peluang dari negara.


Ketika negara hadir menjamin dan mendukung gerakan dakwah Islam maka tentu perlu disambut, dan sikap ini bukan bentuk ketergantungan sehingga membuat kita menjadi tidak mandiri.


Hal ini tentang cara pandang kita terhadap negara bagaimana kita meletakkan dan memposisikannya. Ketika negara dilihat sebagai mitra, dan siyasah dipandang sebagai wasilah maka kita dapat bersikap dengan tegas, ajeg, objektif dan tidak kelu lidah.


Sehingga urusan dakwah jam'iyyah tidak tersandera oleh kepentingan politik penguasa.

Kemewahan berikutnya dari sebuah kemandirian adalah bagaimana jam'iyyah diperhitungkan oleh negara sebagai sebuah gerakan yang mampu mempengaruhi arus gerakan rakyat, didengar oleh kelompok ningrat, dan mengarahkan kaum aristokrat.


Selanjutnya tentu PERSIS sebagai jam'iyyah memiliki sikap sebagai kelompok yang merdeka dari kepentingan politik sesaat.


Pekerjaan rumah lainnya bagi PERSIS dalam membangun kemandirian adalah melahirkan sumber daya manusia yang tuntas dikader dengan memiliki multidisiplin ilmu. Perhatian PERSIS dalam melahirkan kader yang multidisipliner perlu dibantu berbagai infrastruktur dan supra-strukturnya.


Pemberian bantuan beasiswa jangan hanya beriorentasi 'asal banyak yang terbantu' tapi tidak ada jaminan selesai dan tanpa kontribusi membangun jam'iyyah, melainkan harus fokus pada ketuntasan studi dengan komitmen kembali untuk menghidupkan jam'iyyah.


Kemandirian dengan Politik Santri inilah yang saya tangkap dari gagasan yang disampaikan oleh Ketum PERSIS selama rangkaian Musyawarah Kerja Nasional (Muskernas) ke 4 berlangsung yang saya ikuti hingga akhir di Yogyakarta yang istimewa.


Semoga gerakan dakwah PERSIS ke depan semakin istimewa.


[]

BACA JUGA:

PP PERSIS Serukan Aksi Cepat Bantu Korban Banjir dan Longsor di Sumatera dan Aceh

Reporter: Fia Afifah Editor: Fia Afifah Rahmah