Apresiasi yang Tinggi untuk Asatidz Diniyyah dan Tantangan Kedepan

oleh Reporter

25 Juni 2016 | 21:54

Bandung - persis.or.id, Sesi pertama pembinaan asatidz diniyyah disampaikan oleh Ust. Dr. Jeje Zaenudin. Beliau menyampaikan terimakasih kepada PZU, PP Persis dan Cimb Niaga Syariah serta memberikan apresiasi yang sebesar-besarnya untuk para asatidz sebagi pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Dalam kesempatan itu pun dipaparkan beberapa potret tantangan yang harus dihadapi. Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia, selain para guru (asatidz, red) . Sekalipun murid-muridnya lebih sukses dan kaya, tidak menjadikannya rendah, bahkan tetap mulia dan dimuliakan. Sosok guru merupakan kebutuhan yang tidak bisa diabaikan oleh setiap negara. Sebelum negara Republik Indonesia ini merdeka pada tahun 1945. Lembaga pendidikan lebih dulu ada. Banyak didirikan oleh ormas-ormas Islam. Lembaga pendidikan yang bermunculan waktu itu adalah madrasah diniyyah (sekolah agama, red) dan pesantren. Betapa susahnya negara saat merdeka jika tidak memiliki lembaga pendidikan. Sekolah di zaman penjajahan Belanda sangat susah diakses, hanya bisa dirasakan oleh orang-orang tertentu. Tampillah lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan oleh ormas-ormas Islam. Negara berhutang budi pada umat Islam. Namun sayangnya, Pemerintah masih diskriminatif terhadap lembaga-lembaga pendidikan agama Islam. Hal tersebut masih dipengaruhi warisan dari pemerintah Belanda. "Betapa diskriminatifnya pendidikan zaman belanda sampi hingga saat ini, masih diadopsi oleh pemerintah Indonesia saat ini yang masih memperlihatkan adanya dikotomi sekolah agama Islam, tidak diperhatikan", Dr. Jeje mengemukakan. Dr. Jeje pun menyoroti kebijakan pemerintah yang kurang mendukung pengembangan lembaga-lembaga sekolah dan pendidikan Islam. Sebagai contohnya banyaknya perda yang dibatalkan mengenai pendidikan agama Islam seperti perda yang mengatur anak SD yang beragama Islam agar bisa memiliki sertifikat bisa baca al-quran. Alokasi APBN 25% untuk pendidikan, memang ada sedikit peningkatan. Tapi alokasinya untuk sekolah negri. Sedangkan sekolah swasta seperti madrasah diniyyah hanya sisanya, harusnya lebih besar swasta. Karena sekolah negeri sudah diakomodir semua kebutuhannya oleh negara. Sedangkan sekolah swasta, Madrasah Diniyyah misalnya, yang lumayan bersusah payah untuk mendirikan bangunannya dll. Inilah tantangan kita bersama. Dukungan yang tidak memadai untuk pengembangan dan kemajuan pendidikan agama Islam. Ditambah masih banyaknya sekolah agama yang belum ada di tiap kecamatan. Persatuan Islam mesti andil dalam membangun sekolah agama untuk generasi emas Indonesia di tiap kecamatan di Indonesia. (HL & TG)
Reporter: Reporter Editor: admin