Adalah fakta sejarah yang tidak dapat dibantah bahwa hingga saat ini umat Islam terkotak-kotak ke dalam berbagai madzhab pemikiran. Meskipun pengkotakan itu sendiri tidak secara otomatis harus dipahami sebagai perpecahan di tubuh umat Islam yang mengakibatkan satu kelompok madzhab berdiri sendiri secara terpisah dari keseluruhan umat Islam. Seringkali perbedaan antara satu madzhab dengan yang lainnya hanya perselisihan interpretatif dalam persoalan-persoalan yang tidak prinsipil. Seperti perbedaan madzhab Syâfi’i dengan madzhab Hambali, Hanafi dan Mâliki dalam berbagai masalah hukum praktis atau fikih. Perbedaan-perbedaan di antara mereka tidak mengakibatkan mereka saling mengklaim kebenaran mutlak di pihak mereka dan menafikan kebenaran pihak lain.
Tetapi ada juga pengkotakan umat dalam arti perpecahan yang sesungguhnya. Di mana satu kelompok madzhab atau sekte berbeda dengan yang lainnya secara mendasar pada bidang-bidang yang prinsipil dari ajaran Islam.
[1] Sehingga satu kelompok tidak dapat menerima dan mengakui kelompok lain sebagai bagian dari kelompoknya. Bahkan adakalanya penolakan ini sampai pada tahap keyakinan bahwa kelompok tertentu sudah berada di luar garis keislaman. Baik dipandang keluar dari Islam dalam arti
murtad atau
syirk, maupun dipandang keluar dari Islam dalam arti melakukan penyelewengan yang berat dalam ajaran pokok Islam, sehingga memusuhi dan menghambat perkembangan madzhab tersebut dipandang sebagai suatu keharusan bagi kesucian agama. Contoh dalam hal ini adalah pertentangan madzhab
Sunny dan
Syi’ah secara umum. Perbedaan antara kedua aliran Islam ini menyentuh persoalan-persoalan yang sangat esensial di bidang teologis, ideologis bahkan metodologis. Dengan catatan bahwa di tubuh intern dua aliran besar ini, dan yang tidak masuk di antara keduanya, juga terdapat banyak madzhab dengan intensitas perbedaan yang vareatif. Perbedaan mana pada tahap-tahap tertentu mungkin saja tidak diterima baik oleh mayoritas kalangan Sunni maupun Syiah. Sebagai contoh adalah aliran
Mu’tazilah dan
Khawarij yang ditolak baik oleh
Sunny maupun
Syi’ah mayoritas.
Kristalisasi aliran-aliran pemikiran Islam tentu tidak muncul secara sepontan pada satu kurun tertentu, melainkan tumbuh dan terus berkembang dalam dinamika perjalan sejarah yang panjang. Dinamika sejarah berikut situasi dan kondisi sosial-budaya dan politik yang melingkupinya, ditengarai oleh para ilmuan sebagai penyumbang terbesar bagi tumbuhnya berbagai aliran baru di lapangan pemikiran keagamaan.
[2]
Bangkitnya aliran teologi Qadariyah –umpamanya– yang menekankan aspek kebebasan manusia dalam bertindak; menentukan nasib dan memilih jalan hidupnya sendiri, tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial politik zaman Bani Umayah. Dimana tekanan politik penguasa saat itu sangat mendominasi pemikiran keagamaan masyarakat. Apatisme hampir menjadi gejala umum yang menjurus kepada teologi patalisme akibat kejenuhan masyarakat atas konflik kekerasan yang berlarut-larut antara pemerintahan Bani Umayyah dengan kelompok oposisi yang dimotori kaum
Khawarij dan
Syi’ah ‘Ali. Sebaliknya teologi
Irja’ dan anti Qadariyah yang menanamkan doktrin ketidak berdayaan manusia dalam merubah taqdirnya, menolak memberi penilaian terhadap seseorang atas prilaku dosa yang diperbuatnya di dunia melainkan menyerahkan penilaian dan keputusan sepenuhnya kepada Allah saja nanti pada hari kiamat, menjadi penting dikembangkan oleh penguasa Bani Umayah saat itu untuk menjaga stabilitas politik dan kemapanan masyarakat dari upaya-upaya provokasi kaum oposisi.
[3]
Konflik-konflik politik di sepanjang sejarah masyarakat Islam diyakini memberi konstribusi yang signifikan bagi kelahiran berbagai aliran pemikiran. Dari perjalanan sejarah masyarakat Islam, pase sejarah yang paling berpengaruh atas terbentuknya aliran pemikiran yang fundamental adalah konflik politik yang terjadi pada generasi
salaf, tegasnya masa pemerintahan ‘Ali bin Abu Thalib. Dapat dikatakan, corak pemikiran teologi dan politik Islam dari berbagai madzhab di kemudian hari hingga masa kini masih ada ikatan benang merah dengan aliran pemikiran yang terjadi pada masa itu. Umpamanya perbedaan konsep
Imâmah dan negara antara yang dikembangkan oleh kaum
Syi’ah dan
Sunny saat ini, atau oleh berbagai aliran di intern
Sunny maupun
Syi’ah itu sendiri, demikian pula adanya aliran-aliran pemikiran teologis dan politik pada zaman modern; dari yang bercorak radikal, ekstrim, moderat, hingga yang rasional dan liberal, telah menemukan dasar-dasar pijakannya dari pemikiran dan sikap politik kelompok-kelompok Islam saat itu, yaitu
Syi’ah ‘Ali,
Syi’ah Mu’awiyah,
Khawârij, dan kelompok netral.
[4]
Mempertimbangkan asumsi-asumsi di atas, maka upaya dalam rangka mengeksplorasi, merekonstruksi, mendeskripsi dan menganalisis peristiwa-peristiwa berikut konteks sosial politik yang menyelimuti zaman itu untuk mendapatkan informasi yang mendekati sempurna dan kemudian memberikan penilaian yang lebih tepat dan adil terhadap aliran pemikiran dalam Islam, menjadi suatu kerja ilmiyah yang terus dibutuhkan. Terlebih lagi pada saat umat Islam mendambakan jiwa perekat yang lebih segar dari agamanya dalam menghadapi berbagai pertentangan pemikiran dan ideologi, internal maupun eksternal. Dengan demikian arti penting dari penulisan topik ini bukan hanya ditujukan untuk menambah khazanah ilmiyah yang murni teoritis, melainkan diharapkan juga memberi landasan bagi pemikiran dan sikap politik Islam yang praktis.
Politik hanyalah merupakan salah satu aspek kehidupan bermasyarakat. Konsekwensinya, sebagai agama yang sangat konsen terhadap penataan hidup bermasyarakat, maka ajaran Islam diyakini pula memberikan perhatian yang proporsional terhadap urusan politik. Sejarah perjuangan Nabi Muhammad dalam mendakwahkan dan menginplementasikan ajaran Islam sejak awal sudah melibatkan persoalan-persoalan politik. Salah satu substansi politik yang kerap kali dijadikan isi wahyu al Qur’ân kepada Nabi adalah masalah hukum. Hukum hanya dapat lahir dari adanya kekuasaan dan kewenangan membuat aturan. Sementara dalam ajaran Islam kedua hal itu hanyalah mutlak milik Allah.
[5] Maka kepada Allah dan, dalam batas-batas tertentu, kepada orang yang diberi kuasa Allah saja kedua hal itu harus diserahkan untuk ditaati oleh seluruh manusia yang beriman. Karena itu, penentangan tokoh-tokoh Musyrikin Mekah dan para penguasa saat itu atas ajakan Nabi untuk memeluk Islam, ditinjau dari sudut ini, ditengarai lebih bersifat kekhawatiran-kekhawatiran politis daripada ketidak setujuan terhadap substansi ajaran yang didakwahkan Nabi secara keseluruhan.
[6]
Ketika Nabi hijrah ke Madinah, beliau juga segera membuat kebijakan politis, membuat perjanjian tertulis untuk hidup damai berdampingan dengan suku-suku Arab dan Yahudi yang tinggal diwilayah Madinah. Naskah perjanjian damai antara kaum muslimin dengan kaum Musyrik dan kaum Yahudi Madinah, dipandang sebagai piagam, atau tegasnya konstitusi kenegaraan yang pertama di dunia.
[7] Demikian juga masalah penting yang dihadapi para sahabat setelah wafatnya Rasulullah adalah masalah politik. Siapakah yang paling berhak sebagai pengganti beliau? Kemudian, posisi serta peran apakah yang harus digantikan oleh pemimpin umat sepeninggal beliau itu; apakah kedudukan sebagai pemimpin masyarakat dan negara, ataukah sebagai pemimpin agama pembuat syariat?
Semenjak Khalifah Umar, Utsm
an, hingga Ali, banyak persoalan penting juga berkenaan dengan urusan politik. Kemelut yang paling berbahaya yang dihadapi umat Islam pada generasi
salaf juga masalah politik. Jika pada masa Abu Bakar, kemelut politik dapat teratasi dengan baik, dan masa Umar hingga masa pertengahan kepemimpinan Utsman, kaum muslimin dapat menikmati stabilitas politik yang mantap hingga dengan leluasa mengadakan perluasan wilayah dan penyebaran dakwah Islamiyah serta dapat menikmati kemakmuran ekonomi yang terus berkembang, maka lain halnya di akhir pemerintahan Utsm
an dan sepanjang pemerintahan Ali. Kemelut politik dalam sekala besar tidak dapat dikendalikan lagi oleh para tokoh sahabat. Konflik politik internal umat Islam di masa Khalifah Ali memuncak menjadi perang saudara yang tidak terelakkan. Tiga perang besar terjadi antara pihak Ali dengan Muawiyah, pihak Ali dengan Aisyah, dan pihak Ali dengan
Khawarij. Orang-orang terbaik didikan Nabi, semisal Ali bin Abu Th
alib, Thalhah, Zubair berikut ribuan jiwa orang-orang saleh dari generasi sahabat dan tabi’in harus direlakan jadi tumbal konflik politik yang tak pilih kasih. Bukan hanya itu, konflik pada generasi
salaf ini telah meninggalkan luka yang mendalam di tubuh umat dan telah mewariskan perpecahan teologis dan ideologis di kemudian hari.
Kenyataan dari konflik-konflik itu menimbulkan pertanyaan-pertanyaan yang rumit dicarikan jawabannya. Mengapa peristiwa tragis itu bisa terjadi pada generasi
salaf, masa dimana orang-orang yang al Qur’an memuji mereka sebagai umat terbaik masih pada hidup, dan Rasulullah menyebutnya bahwa mereka adalah generasi terbaik dari umat Islam? Bagaimankah kedudukan mereka yang terlibat dalam konflik berdarah itu sementara mereka telah dipuji al Qur’an dan telah disinyalir Rasulullah sebagai para penghuni Surga? Lantas bagaimana bisa terjadi kekuatan unsur-unsur pendorong konflik politik dapat mengalahkan kekuatan integritas dan moralitas orang-orang saleh semisal Ali, Aisyah, Thalhal, Zubair dan yang lainnya?.
Menjawab kerisauan-kerisauan di atas, para sarjana Islam dengan berbagai latar belakang aliran pemikirannya, di sepanjang sejarah Islam telah berjuang keras melacak dan meneliti akar persoalan konflik internal ini. Diantara mereka ada yang mengarahkan penelitiannya kepada pengumpulan data selengkap mungkin dan menuliskannya dalam rangkaian catatan sejarah. Kemudian mempublikasikannya untuk umum tanpa memberi penilaian atau interpretasi yang mengarahkan pembacanya kepada suatu madzhab tertentu. Contoh macam ini adalah
kitab “Târikh al Umâm wa al Mulûk” yang bermakna
“Sejarah umat-umat dan raja-raja”, karya Imam Ath Thabari.
[8] Di antara keistimewaan kitab ini adalah memuat berita-berita sejarah Islam berdasar urutan tahun kejadiannya menurut perhitungan tahun Hijriyah. Konflik politik di masa pemerintahan Ali termaktub pada jilid keempat dan kelima dari sebelas jilid karyanya dengan ukuran yang tebal-tebal.
Adalah Ibnu Kats
ir
[9] yang melangkah lebih jauh dari Ath Thabari dalam kitab sejarahnya yang diberi judul
“Al Bidâyah wa al Nihâyah”. Ia bukan hanya menampilkan berita yang diterimanya, yang sebagian besar data-datanya diambil dari karya Ath Thabari di atas, melainkan juga menyeleksi dan memilih berita-berita yang dinilainya sahih untuk dimuat dalam kitabnya. Sebagai sarjana Muslim yang
Sunni dari madzhab Syafi’i terkadang dalam kitabnya itu ia dengan tegas mengecam riwayat-riwayat yang mendeskriditkan salah satu pihak dari sahabat Nabi yang terlibat dalam konflik berdarah di masa pemerintahan Ali maupun Utsman dan dengan bersemangat mengarahkan pembacanya kepada pemahaman yang dianutnya.
Dari masa klasik hingga masa modern, para penulis sejarah Islam tidak dapat sama sekali melepaskan diri dari kecenderungan subjektif dalam menilai pihak-pihak yang berkonflik pada generasi
salaf ini. Subjektifitas ini seringkali mendorong para peneliti hanya menonjolkan sisi-sisi positif dan keutamaan tokoh-tokoh panutannya dan mengemukakan sebanyak-banyaknya data negatif atau kebejatan tokoh-tokoh konflik yang dibencinya. Karya-karya Ilmiyah diseputar konflik politik pada masa pemerintahan Ali seringkali diarahkan kepada penyerangan atau pembelaan terhadap pribadi tokoh-tokoh sahabat yang berkonflik. Sehingga mengesankan bahwa sejarah umat Islam yang besar dan wilayahnya yang luas pada masa itu hanya digerakkan satu dua tokoh yang hebat-hebat. Sementara faktor-fektor sosial, politik, ekonomi, budaya, letak geografis dan lain-lain yang sangat kompleks, sepertinya dipandang tidak mempunyai peran apapun. Dapatlah diperhatikan umpamanya buku
“Voice of Justice” yang terjemah Indonesianya populer dengan
“Suara Keadilan: Sososk Agung Ali bin Abu Thalib” buah karya George Jordac.
[10] Dalam buku ini dikemukakan data-data keutamaan dan kehebatan Khalifah Ali serta kebusukan musuh-musuhnya. Bagi pengarang buku ini konflik politik yang kompleks dinilainya hanya dari sudut dendam lama dan permusuhan yang turun temurun kaum Quraesy (Bani Umayyah) terhadap keagungan Bani Hasyim yang terwakili dalam pribadi Ali. Sehingga kesimpulan dari analisis yang dimuat pada buku ini menekankan kesan keagungan Ali dan kejahatan lawan-lawan politiknya. Padahal kita ketahui bahwa mereka semua adalah generasi
salaf, sahabat-sahabat Nabi yang utama.
Sementara penelitian lain dilakukan oleh Amhazun dengan judul
“Al Fitnatul Kubra” memberi kesimpulan yang berbeda dari George Jordac. Dengan mengacu kepada data-data yang dikemukakan Ath Thabari, Amhazun membela kedudukan semua pihak yang bertikai. Karena dalam pandangannya, mereka semua yang bertikai mempunyai nilai kebenaran
Ijtihady. Walaupun diakui nilai kebenaran Khalifah Ali lebih besar dari lawan-lawannya. Tetapi tidak ada alasan untuk mencela mereka yang keliru dalam ijtihad dengan niat yang ikhlas. Apalagi tokoh-tokoh yang berkonflik itu, kecuali dari kelompok Kh
awarij dan para pemberontak Utsman yang bergabung dengan Ali, adalah
salafus salih, sahabat-sahabat Nabi yang telah mendapat jaminan kemuliaan dari al Qur’an dan Sunnah Nabi. Selain dari itu, para sahabat Nabi, hanyalah korban dari sebuah rekayasa politik tingkat tinggi yang dirancang oleh Abdullah bin Saba, seorang pendeta Yahudi yang berpura-pura masuk Islam pada masa pemerintahan Utsman kemudian menyebarkan faham yang menyesatkan serta memprovokasi masyarakat awam. Sehingga konflik politik pada masa pemerintahan Ali itu dalam kesimpulan Amhazun adalah “fitnah” yang sengaja dinyalakan oleh kaum Yahudi yang dendam kepada umat Islam dan kemudian diikuti oleh orang-orang bodoh yang ambisius.
[11] Hal ini bertolak belakang dengan pandangan George Jordac yang menganggap Abdullah bin Saba adalah tokoh fiktif yang diciptakan oleh pihak Sunny untuk melemparkan kesalahan tokoh-tokoh panutan mereka kepada tokoh misterius yang sebenarnya tidak pernah ada.
Apa yang dikemukakan Jordac dan Amhazun merupakan prototipe atau pengulangan atas perdebatan
Sunny dan
Syi’ah yeng telah berlangsung sepanjang sejarah Islam pasca kekhalifahan Ali bin Abu Thalib. Karena itu argumen-argumen Amhazun dibangun di atas paradigma dan metodologi yang telah dirumuskan oleh tokoh-tokoh pemikir
Sunny terdahulu seperti Abu Bakr Ibnu al ‘Araby
[12] dalam kitabnya
“Al ‘Awâshim min al Qawâshim” dan Syekh Islam Ibnu Taimiyah
[13] dalam
“Minhâj al Sunnah”
Pendekatan yang agak berbeda ditempuh oleh beberapa penulis. Seperti yang dilakukan oleh sastrawan Mesir terkemuka, ‘Abbas Mahmud Al ‘Aqqad dalam bukunya,
“’Abqariyyah al Imam ‘Ali”,
[14] sastrawan dan budayawan Mesir, Ahmad Amin dalam bukunya
“Fajrul Islam”,
[15] dan sarjana politik dari Iraq, Luay Shafi
[16] dalam karyanya,
“Al ‘Aqidah wa al Siyâsah”. Mereka melakukan analisis yang lebih luas dari sudut geografis, sosiologis, ekonomis dan politis. Bagi mereka, persoalan konflik dalam sejarah generasi
salaf umat Islam bukan hanya tanggungjawab tokoh-tokoh tertentu yang bersifat individual, melainkan sebagai bagian dari problem sosial yang kompleks. Karena itu tidak relevan jika persoalan konflik internal di tubuh generasi awal Islam hanya disorot dari sisi, dan diseret ke, tataran persetruan individual di antara tokoh-tokoh yang berkonflik.
Meski sudah cukup banyak sumber-sumber yang mengungkap masalah konflik politik pada zaman
salaf, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Ali ini, tetap saja menyisakan ruang terbuka yang terus membutuhkan kajian ulang secara lebih mendalam. Terutama tentang bagaimana seharusnya kita membayangkan kehidupan para sahabat Nabi sebagai generasi
salafus saleh secara lebih utuh dari berbagai aspeknya, kemudian memahami dan mensikapi konflik politik internal yang senantiasa terjadi di sepanjang waktu. Demikian pula seputar faktor-faktor yang menjadi pemicu timbulnya konflik politik tersebut. Baik dari unsur-unsur keagamaan maupun unsur-unsur non agama. Kemudian bagaimana Islam berperan dalam memberi landasan sekaligus mengendalikan timbulnya konflik politik pada umatnya. Terakhir adalah mengenai implikasi konflik politik terhadap penafsiran teks agama, dan sebaliknya implikasi penafsiran teks agama terhadap etika berkonflik.
Catatan Kaki
[1]Penjelasan tentang berbagai aliran Islam dengan masalah-masalah pokok yang diperselisihkannya di antara mereka berikut latarbelakang kemunculan dan argumen-argumen dasarnya telah dikemukakan oleh Imam Asy Syahrastâny dalam karya monumentalnya dibidang sejarah dan perbandingan agama. Perhatikan kajiannya tentang sejarah munculnya aliran-aliran teologi dan politik di lingkungan internal umat Islam dalam
Al Milal wa al Nihal, (Beirut: Dâr el Surûr, 1948), juz I, mulai hal. 6 dan seterusnya.
[2] Perhatikan analisis mengenai pengaruh sosial-budaya dan politik terhadap munculnya berbagai aliran pemikiran Islam dalam Ahmad Amin,
Fajrul Islam, (Kaira: Maktabah Nahdhah al Mishriyah, 1963), hal. 12 dan seterusnya.
[3]Penguasa Bani Umayah yang berperan penting dalam memberi kesempatan berkembangnya dan pemapanan faham
Qadariyah dan
irja’ adalah Abdul Malik bin Marwan, yang memerintah tahun 65 sampai 86 H. Lebih lanjut perhatikan Fajlur rahman,
Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi tentang Fundamentalisme Islam, terjemah Aam Fahmia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), hal. 60 dan seterusnya
[4]Istilah keempat kelompok itu berikut ulasannya dapat dibaca pandangan Ibnu Taimiyah dalam Adz Dzahabi,
Al Muntaqâ min Minhâj al I’tidâl, (Riyadh: Dar al ‘
Ashimah, 1996), hal. 64-67
[5]M.Quraish Shihab,
Wawasan Al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), cet. I, hal. 417
[6] Muhammad ‘Abdul Qadir Abu Fariz,
Sistem Politik Islam, terjemah oleh Muithalah Maufur, (Jakarta: Robbani Press, 200), cet. I, hal. 13-17
[7] Perhatikan Zainal Abidin Ahmad,
Piagam Nabi Muhammad, SAW., Konstitusi Negara Tertulis Yang Pertama Di Dunia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973)
[8] Nama lengkap tokoh ini adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at Thabari. Lahir di Tabaristan tahun 224 H dan wafat di Baghdad tahun 310 H. Biografinya secara singkat dapat dibaca dalam Muhammad Abu fadl Ibrahim, pada Muqaddimah Kitab
Tarikh al Umam wa al Muluk (Beirut: Dar el Suwaidan, tt.), Cet, II, hal 5-32
[9] Nama lengkapnya adalah Al Hafidz Imaduddin Abu al Fida’ Ism
ail bin Kat
sir al Quraisyi. Wafat di Damascus tahun 774 H. Seorang ulama mujtahid yang luas ilmunya di bidang tafsir, hadits, fikih, sejarah dan sastra. Analisinya tentang konflik politik pada masa khalifah Ali tercantum dalam juz ke vii dari kitabnya yang terdiri dari 14 juz.
[10] Perhatikan George Jordac,
Suara Keadilan: Sososk Agung ‘Ali bin Abu Thalib, terjemah Indonesia oleh Muhammad As Sajjad, (Jakarta: Lentera, 1996)
[11] Muhammad Amhazun dalam disertasi doktoralnya,
Fitnah Kubra, terjemah Indonesia oleh Daud Rasyid, (Jakarta: LP2SI. Al Haramain)
[12] Nama Lengkapnya Muhammad bin Abdullah al Ma’afari al Asybily al Maliky yang terkenal dengan panggilan Ibnu al ‘Araby. Hidup antara 468-543 H. Kitabnya yang membela kemuliaan para sahabat Nabi dari celaan kaum Rafidhah adalah
Al ‘Awashim min al Qawâshim fi tahqiq Mawaqif al Shahabat ba’da Wafat an Nabi, (Beirut: Dar el Jail, 1994)
[13] Taqiyuddin Ahmad bin Taimiyyah. Lahir di Harran 661 H. Wafat di Syiria tahun 728 H. Seorang ulama yang amat tajam lidah, pena dan pedangnya dalam memberantas segala penyimpangan agama. Ilmunya amat luas dan mendalam di bidang falsafah, ushul fikih, tafsir, hadits, sejarah dan tasawuf. Beliau dipandang sebagai bapak pembaharuan Islam. Kitabnya yang amat bermutu dalam membela para shabat Nabi dan madzhab Sunni,
Minhaj al Sunnah , ditulis sebagai bantahan atas kitab
Minhaj al Karâmah, karya seorang ulama Syiah yang amat militan pada zamannya, Al Hasan bin Yusuf bin Ali al Muthahhir al Hilli yang hidup antara tahun 648-726.
[14] Perhatikan Abbas Mahmud Al Aqqad dalam
Kejeniusan Ali, terjemah Indonesia oleh Gazirah Abdi Ummah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002)
[15] Perhatikan Ahmad Amin dalam
Fajrul Islam, (Kairo: Maktabah Nahdhah Al Mishriyah, 1964)
[16]Perhatikan kitab
Al ‘Aqidah wa Al Siyâsah terbitan Virginia: The International Institut of Islamic thaught, 1966. Terutama pada halaman 82-87