Hukum Wali Zina Oleh Bapak Biologis dan Hukum Aqiqahnya

oleh Reporter

28 Agustus 2015 | 10:07

KEPUTUSAN I

SIDANG DEWAN HISBAH 25-26 AGUSTUS 2015 TENTANG

HUKUM WALI ZINA OLEH BAPAK BIOLOGIS DAN HUKUM AQIQAHNYA

 

بسم الله الرحمن الرحيم

 

Dewan Hisbah Persatuan Islam setelah:

 

MENGINGAT:

Firman Allah SWT :

وَلَن يَجعلَ ٱللَّهُ لِلكَـٰفِرِينَ عَلَى المؤۡمِنِينَ سَبِيلاً "...

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman." (Q.S. An-Nisa: 141).

 

وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَـٰمَىٰ مِنكُمۡ وَٱلصَّـٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآٮِٕمۡۚ " ..

.Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak [berkawin] dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan."(Q.S. An-Nur: 32).

وَلَا تُنكِحُواْ ٱلۡمُشۡرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤۡمِنُواْ‌ۚ " ..

.Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik [dengan wanita-wanita mu’min] sebelum mereka beriman..." (Q.S. Al-Baqarah: 221).

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan tentang anak zina,

عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ جَدِّهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : (....ولد الزنا لأهل أمه من كانوا حرة أو أمة)

Untuk keluarga ibunya yang masih ada, baik dia wanita merdeka maupun budak.”

(HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no.2268 dan dinilai hasan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Dawud no.1983)

 

Dalam riwayat yang lain, dari Ibnu Abbas, dinyatakan,

ومن ادعى ولدا من غير رشدة فلا يرث ولا يورث

Siapa yang mengklaim anak dari hasil di luar nikah yang sah, maka dia tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya.” (HR. Abu Dawud, kitab Ath-Thalaq, Bab Fi Iddi’a` Walad Az-Zina no. 2266)

 

الولد للفراش وللعاهر الحجر

Anak itu menjadi hak pemilik firasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.

فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ

“Sulthan adalah wali bagi orang yang tidak ada wali.” (H.R. Imam Abu Dawud)

 

حَدَّثَنَا أَبُو ذَرٍّ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِى بَكْرٍ حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ عَبَّادٍ النَّسَائِىُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَزِيدَ بْنِ سِنَانٍ حَدَّثَنَا أَبِى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ,,لَا نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ،، (رواه ألدار قطنى وابن حبان)

Artinya: “Abu Dhar Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakr bercerita kepadaku dari Ahmad bin Husain bin ’Abbad al-Nasa-i dari Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya dari Hisyam bin ’Urwah dari ayahnya dari ’Aisyah: ’Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Tidak ada nikah tanpa wali dan dua saksi yang adil.”(H.R. Daruquthni dan Ibnu Hibban)

Hadits ini dloif karena Yazid bin Sinan perowi dloif

Nama lengkapnya ialah Yazid bin Sinan bin Yazid al-Tamimiy al-Jazary dan bergelar Abu Farwah. Ia termasuk kibar al-Atba’, lahir pada tahun 79 H dan wafat pada tahun 155 H. Semasa hidupnya ia tinggal di Baghdad. Di antara guru Yazid ialah: Abu al-Mubarak al-’Ato’ dan Mujahid bin Jabir. Sedangkan muridnya ialah Waki’ bin Jarah dan Muhammad bin Yazid bin Sinan. Sebagai rawi, ia merupakan perawi yang dhaif.

Ahmad bin al-Husain’Abbad

Rawi Ahmad bin al-Husain’Abbad al-Nasa-i ini. Ia juga tidak tercatat sebagai murid dari Muhammad bin Yazid. Maka ia disebut dengan majhul. Oleh karena itu, statusnya sebagai rawi dianggap dhaif.

 

عَنْ اَبِى مُوْسَى رض عَنِ النَّبِيِّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ. الخمسة الا النسائى

Dari Abu Musa RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali”. [HR. Khamsah kecuali Nasai] hadits ini didloifkan oleh Ibnu Hibban karena yang meiwayatkan tidak berjumpa dengan Nabi.

 

عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوْسَى عَنِ الزُّهْرِيِ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: اَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ اِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. ، فَاِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.(زواه احمد والترميذي)

Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri dari Urwah dari ‘Aisyah, sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah tanpa idzin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka nikahnya batal.. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) yang menjadi walinya”. (HR. Ahmad dan tirmidzi)

 

Hadits ini dianggap lemah, karena Zuhri yang dinggap meriwayatkan hadits ini waktu ditanga kepadanya dia menjawab tidak meriwayatkan hadits ini..

 

Al-Albani berkomentar dalam Irwaul Ghalil 6/238): “Tidak ragu lagi, ucapanTirmidzi bahwa riwayat yang lebih shahih adalah riwayat jama’ah dari AbuIshaq dari Abu Burdah dari Abu Musa secara marfu adalah pendapat yangbenar, karena dzahir sanadnya adalah shahih

Oleh karena itulah sejumlah ulama telah menilai hadits ini shahih, diantaranya adalah Ali bin Madini, Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli sebagaimanadiceritakan al-Hakim dan beliau juga menshahihkan serta disetujui olehadz-Dzahabi, dan juga Bukhari sebagaimana diceritakan Ibnu Mulaqqindalam al-Khulashah 2/143”.[18]

عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ نِكَاحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشاهدي عدل. فَاِنِ اشْتَجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.(زواه الدارقطنب والبيهقي))

Dari ‘Aisyah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tidak ada nikah melainkan dengan (adanya) wali,. Kemudian jika mereka (wali-walinya) berselisih, maka penguasa (hakimlah) walinya wanita yang tidak punya wali”. [HR. Abu Dawud Ath-Thayalisi].hadits ini didhoifkan oleh Ibnul Mu’ien

لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ الْمَرْأَةَ وَلاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَةُ نَفْسَهَا فَإِنَّ الزَّانِيَةَ هِيَ الَّتِيْ تُزَوِّجُ نَفْسَهَا.

"Wanita tidak boleh menikahkan wanita, dan tidak boleh pula wanita menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya pezinalah yang menikahkan dirinya sendiri."( HR.Ibnu Majah dan Darruquthni)

Pendapat-Pendapat Para Ulama yang berkaitan dengan wali Nikah

  1. As-Suyuthi rahimahullah berkata: "Pernyataan: ‘Laa Nikaaha illaa bi-waliyyin’, difahami oleh jumhur sebagai penafian yang absah
  2. At-Tirmidzi rahimahullah berkata: "Demikian pula diriwayatkan dari sebagian ahli fiqih Tabi’in, mereka menyatakan bahwa nikah tidak sah kecuali dengan wali. Di antara mereka ialah Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan al-Bashri, Syuraih, Ibrahim an-Nakha'i, ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz dan selainnya
  3. Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, "Firman Allah:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ تَعْضُلُوْهُنَّ

­­­­­'Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis (masa) ‘iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka…' [Al-Baqarah/2: 232]

Ini merupakan ayat al-Qur-an yang paling jelas bahwa wali mempunyai hak di samping wanita ini (juga) mempunyai hak kepada dirinya sendiri, dan wali tidak boleh menghalanginya jika ingin menikah dengan cara yang ma’ruf

  1. Al-Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi rahimahullah berkata, ketika menafsirkan ayat di atas: "Ini adalah dalil qath’i (pasti) bahwa wanita tidak mempunyai hak untuk melangsungkan pernikahan. Ini hanyalah hak wali.

Seandainya bukan karena itu, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak melarang wali menghalangi pernikahannya. Kemudian disebutkan sebab turunnya ayat. Sekiranya Ma’qil tidak mempunyai hak, niscaya Allah berkata kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 'Ma’qil tidak berhak berbicara.'

  1. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata, "Dalam hadits Ma’qil bahwa jika wali menghalangi, maka penguasa tidak menikahkannya kecuali setelah ia menyuruh wali supaya menarik penolakannya. Jika dia memenuhinya, maka itu adalah haknya, dan jika tetap menolak, maka hakimlah yang menikahkannya. Wallaahu a’lam."

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian.Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri.Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan.Dan dalil yang paling kuat adalah ayat yang disebutkan di atas tentang sebab turunnya ayat tersebut, dan ini adalah dalil yang paling tegas atas perwalian.Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya.Seandainya wanita tadi mempunyai hak untuk menikahkan dirinya sendiri, niscaya dia tidak butuh kepada saudara laki-lakinya.Ibnul Mundzir menyebutkan bahwa tidak diketahui dari seorang Sahabat pun yang menyelisihi hal itu."

  1. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selainnya, dan tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

‘Pernikahan tidak sah kecuali dengan keberadaan wali.’

 

  1. Ibnu Hazm rahimahullah berkata: "Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, kecuali dengan izin walinya; ayah, saudara laki-laki, kakek atau pamannya
  2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menyebutkan tentang wali, kemudian mengatakan: "Ayat-ayat al-Qur-an dan hadits-hadits menunjukkan, dan ini kebiasaan para Sahabat, bahwa yang menikahkan kaum wanita hanyalah kaum pria. Tidak pernah dikenal bahwa seorang wanita menikahkan dirinya sendiri. Karena itu ‘Aisyah berkata: 'Wanita tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Sebab, hanya pelacurlah yang menikahkan dirinya sendiri.' Tetapi tidak cukup hanya dengan wali sehingga pernikahan tersebut diumumkan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah ditanya tentang seseorang yang masuk Islam: “Apakah dia tetap mempunyai perwalian atas anak-anaknya dari Ahlul Kitab?”.Beliau menjawab: Ia tidak mempunyai perwalian atas mereka dalam pernikahan, sebagaimana dia tidak mempunyai perwalian atas mereka dalam masalah warisan. Ia tidak boleh menikahkan seorang muslim dengan wanita kafir, baik itu puterinya maupun selainnya. Orang kafir tidak mewarisi orang muslim, dan orang muslim tidak mewarisi orang kafir. Ini adalah mazhab imam yang empat dan para Sahabat mereka dari kalangan Salaf dan Khalaf."

  1. Madzhab Syafii, Maliki mengatakan demikian ayah biologisnya tidak bisa jadi walinya, alasannya, anak tersebut dari benih ketika keduanya tidak dalam hubungan yang sah.
  2. Al Fatawa al Hindiah” didalam Fiqih Hanafiyah yang menyebutkan Adapun pendapat bahwa jika si ayah biologis dan ibunya yang telah terlanjur hamil ini kemudian menikah. Jika setelah menikah, si ibu masih menjalani kehamilan selama 6 bulan atau lebih sampai kelahirannya, maka si anak bisa mengikuti garis keturunan sang ayah dan bisa menjadi wali nikahnya. tapi jika si ibu menjalani kehamilan kurang dari 6 bulan sampai saat kelahirannya, maka sang anak hanya bisa mengikuti garis keturunan sang ibu.. pernyataan ini bisa ditemukan didalam didalam Fiqih Hanafiyah yang menyebutkan : jika seorang lelaki berzina dengan seorang wanita dan wanita itu menjadi hamil kemudian lelaki itu menikahinya dan melahirkan maka jika wanita itu mengandung selama 6 bulan atau lebih maka nasab anak itu terkokohkan dan jika wanita itu mengandung selama kurang dari 6 bulan maka nasab anak itu tidak terkokohkan kecuali hanya sebatas pengakuannya—bahwa anak itu adalah anaknya—selama dia tidak mengatakan, ”Sesungguhnya anak itu dari perzinahan.” Adapun jika dia mengatakan,”Sesungguhnya dia adalah dariku dari perzinahan.” Maka nasabnya tidak terkokohkan dan dia tidaklah mewariskan hartanya
  3. Hak Perwalian menurut KHI ( Kompilasi Hukum Islam )

Apabila dalam satu kasus bahwa anak yang lahir akibat darti perbuatan zina (diluar perkawinan)tersebut ternyata wanita, dan setelah dewasa anak tersebut akan menikah, maka ayah/bapak alami (genetiknya) tidak berhak atau tidak sah menjadi wali niksahnya, sebagaimana ketentuan wali nikah dalam Pasal 19 Kompilasi Hukum Islam :

  • Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
  • Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, aqil dan baligh.
  • Ketentuan hukum yang sama sebagaimana ketentuan hukum terhadap anak luar nikah tersebut, sama halnya dengan status hukum semua anak yang lahir diluar pernikahan yang sah sebagaimana disebutkan diatas.

 

MEMPERHATIKAN :

  1. Sambutan dan pengarahan dari Ketua Dewan Hisbah KH.Muhammad Romli
  2. Sambutan dan pengantar dari Ketua Umum PP Persis yang diwakili oleh Ketua Bidang Tarbiyah KH. Aceng Zakaria
  3. Makalah dan pembahasan yang disampaikan oleh:KH.Drs. Taufiq Rahman Azhar, M.Ag
  4. Pembahasan dan penilaian dari anggota Dewan Hisbah terhadap masalah tersebut di atas.

 

MENIMBANG:

  1. Anak hasil zina ada yang tidak diketahui ayah biologisnya (al-waladu lil firasy) yang hak warisnya hanya kepada ibu, ada yang diketahui sehingga hak warisnya kepada ibu dan bapak.
  2. Keputusan Sidang Dewan Hisbah 11 Sya’ban 1430 H/2 Agustus 2009 M
  3. Laki-laki dan Perempuan haram menikahkan dirinya sendiri.
  4. Wali (Pelaku Ijab) dalam akad nikah termasuk rukun.
  5. Meminta izin kepada wali (orang tua) sebagai pelaksanaan birrul walidain hukumnya wajib.
  6. Diakui bahwa adanya nasab itu karena hubungan darah antara bapak dengan anak, baik bapaknya tersebut menikahi ibunya ataupun tidak.
  7. Bapaknya adalah wali ijbar (nasab).
  8. Tugas sebagai wali mujib dapat dipercayakan kepada siapa saja yang memenuhi syarat.
  9. Adanya kekhawatiran bila bapak dari anak hasil zina menjadi wali mujib akan membuka pintu perzinahan yang lebih lebar (Saddu Dzari’ah).

 

Dengan demikian Dewan Hisbah Persatuan Islam

MENGISTINBATH :

  1. Bapak biologis menjadi wali mujib anak hasil zina hukumnya mubah.
  2. Walaupun hukumnya mubah bapak biologis tersebut tidak layak menjadi wali.

 

Pemakalah: K.H. Taufiq Rahman Azhar, S.Ag.

Reporter: Reporter Editor: admin