Jakarta - persis.or.id, Balitbang Diklat Kemenag RI menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) Nasional pada Senin (25/2/2019), di Hotel Arya Duta, Jakarta. Acara tersebut mengangkat tema "PENGARUSUTAMAAN MODERASI BERAGAMA, perspektif agama-agama di Indonesia."
Turut hadir Wakil Ketua Umum PP Persatuan Islam (PP Persis) Dr. Jeje Zaenudin sebagai pembicara. Di hadapan tokoh pimpinan perwakilan NU, Muhammadiyah, MUI, Wahdah Islamiyah, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, Anggota Watimpres, Aktivis, dan Pejabat Balitbang Diklat Kemenag, Jeje menjabarkan konsepsi sikap wasatiyah atau moderasi beragama.
"Pengarusutamaan kemoderatan atau sikap wasatiyah dalam beragama terlebih dahulu membutuhkan standar konsepsi kemoderatan di internal pemeluk satu agama sebelum pengarusutamaan moderasi beragama antar pemeluk agama-agama," paparnya.
Jeje pun menjelaskan bahwa secara normatif-teologis, Islam maupun agama yang lain telah mempunyai landasan yang kuat tentang sikap beragama yang moderat dan toleran. Dalam Islam paling tidak ada tiga ayat yang secara eksplisit menyatakan.
Jeje mengutip Qur'an surat Al-Baqarah:143 yang artinya "Demikianlah Kami jadikan kalian umat yang pertengahan..." Kemudian surat Al-Kafirun: 6, "Bagi kalian agama kalian dan bagi saya agama saya." Dan surat Ali-Imran:64, "Wahai ahli kitab, marilah kita berpegang kepada satu kalimat yang sama antara kami dan kalian yaitu jangan menyembah selain Allah dan kita jangan menjadikan di antara kita siapapun sebagai tuhan selain Allah..."
Dalam konteks kehidupan berbangsa bernegara, kalimat yang sama atau kalimatin sawaa itu adalah lima butir dasar negara yang telah disepakati, dimana butir utamanya adalah pengakuan tentang Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran Islam tiada lain adalah Aqidah Tauhid.
Jeje pun menegaskan bahwa setiap penganut agama punya haknya masing-masing. Sehingga tidak bisa saling memaksakan.
"Kalau pemeluk agama -agama yang lain punya pemahaman yang lain tentang Ketuhanan yang Maha Esa, maka itu hak masing-masing agama tidak bisa saling memaksakan tetapi bisa didialogkan untuk saling memahami dan menghormati," ungkapnya.
Namun Jeje pun menyadari bahwa dalam tataran praktis, penerapan kemoderatan beragama tidaklah mudah.
"Namun demikian harus disadari bahwa dalam tataran praktis penerapan kemoderatan beragama tidaklah semudah itu, sebab di internal satu agama saja ada sekte-sekte dan mazhab-mazhab yang terkadang tidak mudah saling memahami dan saling menerima secara moderat," terangnya lagi.
Jeje kemudian memberikan contoh tentang sikap moderat yang dipraktikkan Persis yang bisa saja dipandang tidak moderat oleh pihak lain.
"Adakalanya satu paham dan sikap moderat yang dipraktikan kami di Persis, umpamanya dipandang tidak moderat menurut pandangan saudara kami di NU. Bahkan bisa jadi karena Persis itu berprinsip ingin persis seperti Nabi Muhammad sering dinilai kaku, intoleran, bahkan ekstrim. Hal tentu akan lebih berbeda lagi dalam tinjauan agama-agama di luar Islam," ungkapnya.
Terakhir, Jeje menyampaikan pentingnya mendialogkan konsep-konsep dasar tentang apa dan bagaimana standar paham dan praktik kemoderatan.
"Jadi betapa pentingnya kita mendialogkan konsep-konsep dasar tentang apa dan bagaimana standar paham dan praktik kemoderatan itu yang sebenarnya sehingga tidak hanya jadi klaim kelompok dan agama tertentu, dan dalam waktu bersamaan ia tidak bersikap moderat dan toleran terhadap paham kelompok lain yang berbeda dengannya," pungkas Jeje. (/HI)