Hari ini cara pandang masyarakat membuat status janda dekat sekali dengan stigma-stigma negatif. Janda tidak jauh-jauh diidentikkan dengan hal-hal yang berbau seksualitas. Kita sudah sering dengar lagu dangdut berisi objektifikasi seksual yang dinyanyikan oleh biduan tanah air Cita Citata : "Abang pilih yang mana, perawan atau janda. Perawan memang menawan, janda lebih menggoda. "
Status jandapun populer di dunia kuliner. Salah satu sebabnya karena cara pandang masyarakat tentang wacana dan daya tarik seksual kaum janda, contohnya: mie janda, sop janda, bubur janda.
Saya sendiri tidak sekali-dua kali mendapati perilaku objektifikasi janda sebagai guyonan jorok di grup-grup yang kelihatannya islami. Padahal dalam agama Islam janda itu dikategorikan sebagai bagian dari kaum dhu'afa yang dilindungi, karena saat masa kenabian para janda umumnya memiliki status ekonomi dan politik yang lemah.
Tak hanya itu, imbas citra serta stigma negatif masyarakat ini seakan menjadi ancaman bagi kaum istri. Jika ada janda di lingkungan sekitar, para istri akan tiba-tiba merasa insecure. Para suami dipegangi kuat-kuat agar tidak tergoda janda. Siang malam para janda jadi bahan kebencian dan bahan gosip. Padahal belum tentu janda itu menggoda dan belum tentu para suami tergoda.
Berbeda dengan image serta stigma yang dibangun oleh masyarakat belakangan ini tentang janda, pada zaman pra -kemerdekaan dulu, semua orang tau bahwa para janda adalah orang-orang kuat yang ikut ambil bagian dalam mengusir penjajahan dari tanah air Indonesia.
Malahayati, perempuan kelahiran tahun 1550 dari kesultanan Aceh menjadi laksama perempuan pertama di dalam sejarah kelautan Indonesia.
Setelah menamatkan pendidikan sebagai santriwati, ia melanjutkan pendidikan akademi militer kerajaan di ma'had baitul makdis, Aceh.
Saat suami Malahayati gugur pada pertempuran melawan Portugis. Malahayati mencanangkan ide serta memimpin armada dengan total 2000 pasukan tentara perempuan yang dinamakan sebagai armada Inong Balee.
Pada awalnya pasukan ini terdiri dari 1000 perempuan berstatus janda yang bersatu karena ditinggal gugur suami mereka melawan Portugis di Laut Haru. Lalu Malahayati menambah lagi 1000 pasukan tentara perempuan yang terdiri dari pejuang-pejuang perempuan muda yang turut memperjuangkan Aceh.
Dari armada yang ia bentuk, salah satu bukti sejarah yang ditinggalkan adalah benteng pertahanan Inong Balee di Teluk Kreung Raya sebagai fasilitas pelatihan militer Malahayati kepada mereka dan sebagai pusat ketahanan logistik.
Tak hanya sampai di situ, prestasi Malahayati lainnya adalah memimpin pasukan angkatan laut kerajaan Aceh dari jajahan Belanda. Sebagaimana yang dilaporkan oleh nahkoda kapal Belanda berkebangsaan Inggris John Davis, pada saat Malahayati menjadi laksamana kerajaan Aceh, terdapat ratusan armada kapal perang yang terdiri dari 400- 500 kapasitas penumpang.
Cournelis De Houtman, kompeni Belanda yang pertama kali tiba di Indonesia dan memulai penjajahan rempah-rempah di Indonesia itu mati di ujung rencong Malahayati pada tahun 1599.
Dari prestasi-prestasi yang ia raih, Malahayati dipercaya menjadi Komandan Protokol Istana Kesultanan Aceh.
Jika pada zaman pra-kemerdekaan para janda terlibat pada perjuangan yang diidentikan dengan taktik perang fisik, sudah saatnya hari ini semua bersatu baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, dari kalangan janda maupun perempuan muda untuk meraih kemerdekaan para janda yang dibangun lewat perjuangan gerakan pemikiran, gerakan politik serta akomodasi media.
Perjuangan ini tentunya berfungsi melawan jajahan stigma, wacana dan budaya negatif yang meruntuhkan harkat dan martabat para janda hingga para janda tak lagi dijadikan sebagai objek seksual. Fungsi lain dari perlawanan ini adalah agar para janda mendapat kemerdekaan penghormatan sebagai manusia seutuhnya.
Hormat kami untuk para janda kuat di luar sana!
Bannan Naelin Najihah, MA
(Dosen Prodi Ilmu Qur'an dan Tafsir Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Persis Bandung)
Referensi :
Ismail Sofyan, dkk, Prominent Women in The Glimpse of History, Jayakarta Agung Offset, 1994.
Muhammad Vandestra, Pahlawan Wanita Muslimah Dari Aceh yang Melegenda, 2018.
Pemerintah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Aceh Bumi Srikandi, 2008.
Sholihin Salam, Malahayati: Srikandi dari Aceh, Gema Salam, 1995.