Jejak Politik Persis.

oleh Reporter

11 Desember 2018 | 23:06

Bandung -- persis.or.id - Salah satu sesi pada Musyawarah Kerja Nasional Pimpinan Pusat Persatuan Islam, yang berlangsung di Hotel Panorama Lembang tanggal 7-9 Desember 2018 adalah paparan mengenai jejak politik Persis dari masa ke masa. Hal itu dipaparkan oleh Sekretaris Majelis Penasehat PP. Persis, Prof. Dr. H. Dadan Wildan, M. Hum, yang juga Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan, Kementerian Sekretariat Negara. 

Prof. Wildan satu-satunya aktivis Persis yang berada dalam lingkaran istana negara sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menuturkan, bahwa politik bagi Persis bukanlah hal yang tabu dan baru. Menurutnya, hampir semua pucuk pimpinan Persis, pernah aktif di politik. Misalnya Mohammad Natsir yang mencatat sejarah dengan tinta emas melalui ‘Mosi Integral’ Natsir yang monumental dan bersejarah itu. Atas jasa besarnya itu, pada Jumat  7 November 2008, Muhammad Natsir mendapat anugerah gelar pahlawan nasional. Natsir yang juga tokoh partai Masyumi pernah menjadi Menteri Penerangan dan Perdana Menteri (PM) di era Presiden Soekarno. Natsir diakui sebagai tokoh yang berjasa luar biasa dalam membangun, menegakkan, dan mempertahankan NKRI.

Jasa terbesar Natsir mengembalikan indonesia menjadi Negara Kesatuan (1950) setelah sempat dijadikan negara federal melalui konferensi meja bundar (KMB) pada 1949. Mosi integral Natsir di parlemen pada 3 april 1950 bukti peran besarnya dalam mengembalikan indonesia menjadi negara kesatuan.

Atad jasa besar Natsir, Indonesia menjadi Negara Kesatuan yang kokoh hingga saat ini.
Meskipun, pada 1997 ketika terjadi krisis multidimensional, Indonesia diramalkan akan terpecah belah menuju negara gagal “failed state”. Indonesia diprediksi tidak mungkin  dapat membangun demokrasi, karena sistem otoritarian yang berlangsung  lama. Indonesia juga tidak dapat berperan dalam memajukan HAM. Tidak mungkin bisa menyelenggarakan Pemilu secara langsung.  Bahkan diramalkan  tidak akan dapat bertahan dari hantaman krisis global 1998. 
Namun, sejarah terus berpihak kepada bangsa kita. Tahun 1998 lahir gerakan reformasi yang memporak porandakan stabilitas semu yang dibangun di era orde baru.
Reformasi telah menguba sistem politik; dilakukan amandemen UUD 1945. Sistem kenegaraan yang semula sentralistik berubah menjadi desentralisasi.  Demokrasi tumbuh mekar, yang ditandai dengan partai politik yang tumbuh menjamur.
20 tahun pasca reformasi kenyataan saat ini; ternyara Indonesia dapat melewati badai  krisis, mampu bertahan dan melewati  badai krisis 1998 dan 2008. Kita berhasil membangun demokrasi yang nyata dan   tampil sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Kita juga dapat menyelenggarakan Pemilu secara langsung  dari presiden dan wapres hingga bupati/walikota. Konflik Aceh selesai  melalui perjanjian helsinki.
Di tengah perlemahan nilai tukar rupiah terhadap US dollar  sebagai dampak kenaikan suku bunga di Amerika Serikat,  tidak membawa indonesia ke dalam krisis ekonomi seperti tahun 1998.
Disisi lain, Keberhasilan indonesia menyelenggarakan event besar seperti Asian Games 2018 dan kuatnya ekonomi Indonesia menghadapi situasi ekonomi global yang tidak pasti, telah memberikan harapan bahwa Indonesia akan menjadi negara yang jauh lebih baik ke depan.
Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015, 2017, dan 2018 berlangsung relatif aman. 
Meski suasana kompetisi semakin memanas, sampai saat ini situasi masih aman dan terkendali. Untuk tetap berada dalam kondisi aman, ormas Islam seperti Persis diharapkan memainkan empat peran penting mulai dari peran edukator (mendidik rakyat), aggregator (menyampaikan aspirasi rakyat), akselerator (percepatan pembangunan) dan peran evaluator (pengawasan pembangunan).
Sejarah mencatat, Ormas Islam tidak hanya berperan sebelum kemerdekaan namun juga setelah kemerdekaan dan seterusnya selama NKRI tetap berdiri. Hubungannya dengan negara tidak bersifat intervensi dan instruktif. Namun, sebagai mitra dalam perumusan kebijakan serta mengkomunikasikan arah pembangunan.
Persis yang lahir hampir seabad yang lampau,  aktif merespon problematika umat.  Persis menjadi rujukan utama umat dalam pemikiran Islam.

PERSIS DAN POLITIK
Pertengahan abad 20, Persis terlibat aktif dalam kancah politik nasional. Pada 3 Nopember 1945, ketika pemerintah RI mengeluarkan maklumat diperkenankannya mendirikan berbagai partai politik, maka pada tanggal 7 dan 8 Nopember 1945 di Yogyakarta, diselenggarakan muktamar  yang memutuskan mendirikan majelis syura pusat yang disebut Masyumi.  Masyumi dianggap sebagai satu-satunya partai politik umat Islam indonesia.
Persis tercatat sebagai anggota istimewa partai Masyumi. Dalam hal keterlibatan Persis di Masyumi, Persis menegaskan bahwa semua orang Islam wajib aktif dalam kegiatan politik sebagai salah satu kewajiban agama. Islam adalah filsafat hidup untuk menuntun prilaku muslim dalam setiap usaha dan tidak bisa dipisahkan dalam setiap tingkah laku manusia, termasuk politik.
Umat Islam tidak bisa memisahkan diri dari politik, dan sebagai aktivis politik, umat Islam tidak bisa memisahkan diri dari ideologi politiknya yaitu Islam. Buat kaum muslimin, menegakkan agama Islam tidak bisa dipisahkan dari menegakkan masyarakat, bangsa, dan kemerdekaan.
Persis tampil sebagai sebuah organisasi dari kaum muslimin yang sefaham dan sekeyakinan; kaum pendukung dan penegak qur'an-sunnah. Persis mengutamakan perjuangan dalam lapangan ideologi Islam, tidak dalam lapangan organisasi. Persis berjuang membentuk dirinya menjadi intisari dari kaum muslimin; ia mencari kualitas, bukan kuantitas; ia mencari isi, bukan mencari jumlah. Persis tampil sebagai suatu sumber kebangkitan dan kesadaran baru; menjadi daya dinamika yang menggerakkan kebangunan umat Islam di indonesia.
Dalam manifes perjuangan Persis hasil Muktamar ke-VI tanggal 15-18 Desember 1956 dinyatakan bahwa:
Persatuan Islam (Persis) semenjak berdirinya bersemboyan hendak mengembalikan umat Islam kepada pimpinan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka isi semboyan dan inti da’wah itu bukan saja terbatas dalam lapangan aqidah dan ibadah, tetapi lebih luas daripada itu, ialah berjuang menegakkan keyakinan, dengan Al-Qur’an dan Sunnah berjuang dalam politik untuk memenangkan ideologi Islam.
Mohammad Natsir dalam pidatonta pada Muktamar Persis 1956 menyatakan bahwa Persatuan Islam sebagai satu perkumpulan yang hendak membawakan kepada umat yang banyak, ajaran-ajaran Islam yang syah diambil dari al-qur’an dan hadits yang mengerjakan ma’ruf min munkar, terlepas dari apa yang dinamakan politik.
Persatuan Islam yang banyak melakukan pekerjaan da’wah mempunyai satu fungsi yang paling besar. Apa yang tidak tercapai oleh partai politik seperti Masyumi atau PSII harus dilakukan oleh Persatuan Islam, dimana orang sudah ngeri mendengarkan politik, kalau mendengar nama Masyumi.
Tetapi kalau Persatuan Islam sebagai satu perkumpulan da’wah saja masih terbuka jalan yang luas untuk memperkokoh barisan umat Islam untuk memberikan perasaan tanggung jawab untuk menyusun kekuatan umat. Tetapi politik kita tergantung pada da’wahnya.
Keterlibatan Persis secara total di Masyumi karena Masyumi  mempunyai target dan agenda politik yang jelas yakni memperjuangkan ideologi Islam. Manifes perjuangan Persis 1956 menyatakan bahwa perjuangan total dan frontal Persis dalam bidang politik mengandung harapan dan idaman kemenangan dalam tiga lapangan dan perjuangan, yaitu:  
Pertama, kemenangan dalam lapangan hukum, konstitusi negara yang berdasar Al-Qur’an dan Sunnah; lahirnya Republik Indonesia yang berkejayaan dan berkebajikan diliputi oleh keampunan illahi.
Kedua, kemenangan di lapangan hukumah, lapangan pemerintahan dan kekuasaan negara, baik legislatif maupun eksekutif, sehingga umat Islam berkuasa penuh dalam mengendalikan kekuasaan dan pemerintahan; dan
Ketiga, kemenangan di lapangan mahkum’alaih, lapangan masyarakat dan pergaulan hidup bersama, yang berintikan masyarakat Islamiyah di atas kasih sayang persaudaraan dan kemanusiaan yang murni dan asli.
 Di era reformasi, dalam mensikapi banyak munculnya partai politik di  tahun 1998, Persis mengeluarkan seruan pada 19 September 1998. Dalam seruan itu dinyatakan;
Pertama, belajar dari sejarah Persis masa lalu, konflik internal dalam jam’iyyah beberapa kali telah terjadi disebabkan karena masalah politik. Oleh sebab itu sekian lama Persis tetap bermain pada tatanan “high politics” yakni melalui pendekatan moral yaitu amar ma’ruf nahyi munkar. 
Kedua, Persis berusaha tampil sebagai sebuah “pressure group”. Oleh karena itu rasa simpati, dukungan, atau keberpihakan terhadap sebuah partai politik yang kini bermunculan bagai jamur di musim hujan, tidak boleh membawa konflik dalam tubuh jam’iyyah.
Ketiga, oartai politik bukan satu-satunya jalan perjuangan, melainkan hanya merupakan salah satu dari sub sistem yang mungkin bisa digunakan. Di dalamnya sering penuh jebakan, intrik dan bahkan vested interest. Oleh sebab itu kita perlu berhati-hati dalam menyikapinya.
Keempat, secara organisatoris Persis tidak mempunyai ikatan dengan salah satu partai politik yang ada. Dalam upaya merealisasikan rencana jihad yang termaktub dalam qanun dakhili pasal 6 ayat 2.5. Persis pernah bergabung dengan badan koordinasi umat Islam (BKUI) yang kini sudah kurang aktifitasnya, mungkin karena para fungsionarisnya sibuk di partai politik. Dalam perkembangannya BKUI telah membidani lahirnya partai bulan bintang (PBB) dengan azas Pancasila.
Dalam musyawarah Pleno PP Persis pada tanggal 22 juli 1998 yang membahas sikap Persis setelah mencermati perkembangan politik yang ada dan “gagal” meyakinkan kawan-kawan di BKUI tentang azas partai, telah diputuskan bahwa:
Pertama, Persis tetap istiqomah tidak akan berubah menjadi partai politik
Kedua, Persis tidak akan mendirikan partai politik
Ketiga, Persis tetap mengapresiasi kelahiran PBB, tapi belum bisa menempatkan kader anggotanya (baik di tingkat pusat atau daerah) dalam partai tersebut. Oleh karena itu semua anggota Persis tentu berkewajiban menghormati keputusan musyawarah tersebut.
Keempat, secara organisatoris Persis tidak akan menempatkan kadernya pada partai politik manapun. Keterlibatan seseorang anggota Persis dalam keanggotaan/kepengurusan parpol, bersifat pribadi dan kepada yang bersangkutan disyaratkan: Yang bersangkutan diharuskan menempuh prosedur sesuai ketentuan qanun dakhili pasal 6 ayat 1 dan 2. Keterlibataannya dalam partai tidak mengganggu/mengurangi kegiatan dalam jam’iyyah. Tidak menimbulkan friksi atau membawa konflik dalam tubuh jam’iyyah.
Kelima, untuk mengurangi kemungkinan munculnya friksi atau konflik, sebaiknya anggota Persis menyalurkan aspirasi politiknya ke satu partai politik Islam yang sama yaitu partai bulan bintang (PBB). 
Lalu bagaimana Posisi Umat Islam dan Persis sekarang ini?
Sampai detik ini, Umat Islam di Indonesia tetap berada pada sistem politik yang demokratis; Pemerintah (harus) menjunjung tinggi hak-hak sipil dan perlindungan pada kaum muslimin; Umat Islam harus diberi ruang yang luas untuk menjadi masyarakat maju yang mandiri dan sejahtera.
Umat Islam diberi hak yang sama dalam pemerataan dan keterjangkauan pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan hidup baik primer maupun sekunder.
Dalam mensikapi dinamika politik, Persis sebagai bagian integral dari umat Islam Indonesia, 
Persis harus memainkan politik adiluhung dengan mengedepankan sikap politik berdasarkan landasan theologis dan praktis ideologis.
Persis tentu tidak perlu tergoda untuk bermain politik, sebagaimana ormas lain yang memilih politik pragmatis, politik semata mata untuk menyalurkan hasrat berkuasa.
Persis membebaskan jamaahnya untuk memilih partai yang memiliki basis ideologi islam demi keutuhan jam’iyyah. Karena bagi Persis saat ini, pilihan utama adalah menyalurkan aspirasi atau suara dalam Pemilu, bukan kalah atau menang, tetapi menjadikan Pemilu sebagai media dakwah.

 

Penulis oleh Prof. Dr. H. Dadan Wildan, M. Hum Sekretaris Majelis Penasehat PP. Persis,

Reporter: Reporter Editor: admin