Bandung - persis.or.id, Kantor Konsultasi Bantuan Hukum Pimpinan Pusat Persatuan Islam (KKBH PP Persis) menggelar simposium terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Simposium ini menindak lanjuti draft legal opinion yang sebelumnya telah disusun oleh KKBH untuk kemudian dimatangkan dan diaktualisasikan menjadi dasar argumentasi PP Persis dalam menyikapi RUU tersebut.
Advokat KKBH Persis Adli Hakim menjelaskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual hanya terbatas ketika pembahasan kejahatan seksual. Menurutnya kejahatan seharusnya membahas pada kenyataan di lapangan.
"Pada bab V pasal 11 ada beragam soal kejahatan seksual pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Padahal seharusmya lebih luas lagi pelacuran, perzinahan, dan juga harus dipidana,"ucapnya di Aula PP Persis Kamis (14/2/2019).
Guru Besar Ketahanan Keluarga IPB Bogor Prof Euis Sunarti menilai RUU P-KS menggunakan pandangan feminist legal theory. Menurutnya, posisi perempuan diletakkan pada objek korban.
"Dengan pemikiran tersebut wanita dianggap senantiasa tertindas yang disebabkan oleh kaum laki-laki sehingga outputnya tidak lain adalah perlawanan. Faham feminisme barat tersebut tidak menaruh penghargaan kepada sistem keluarga karena hanya consern terhadap individu perempuan," ucapnya.
Advokat KKBH Zamzam Aqbil menegaskan pasal dalam RUU P-KS harus dikaji ulang. Ia menilai golongan Les, Gay, Biseks, dan Transgender (LGBT)
"kampanye mengenai orientasi seksual digalakkan oleh kaum lgbt untuk menggaet calon mangsanya sehingga bisa menular di masyarakat. Adli Hakim juga menyampaikan pasal pasal yang perlu dikaji ulang dan pasal pasal yang patut didukung yaitu mengenai restitusi/ganti rugi untuk korban secara langsung," ujarnya
Setelah mendengar pemaparan dari tim KKBH Persis kemudian prof. Euis menanggapi dan menyampaikan pemaparannya mengenai RUU PKS tidak hanya pasal per-pasal tetapi juga lebih jauh dari mulai naskah akademik yang disusun untuk RUU PKS”.
Hal senada disampaikan oleh Prof. Atip Latipulhayat bahwa RUU ini disusun berdasarkan feminisme yang senantiasa menggunakan paradigma konflik. Dari segi judul saja sudah menunjukkan bahwa sebenarnya terminologi “kekerasan” adalah cara untuk publicitation privat maters. Adapun definisi definisi yang dimuat dalam pasal 1 RUU PKS tidak memenuhi asas hukum lex certa sehingga tidak layak diundangkan apalagi sebagai aturan pidana. Bunyi undang undang tidak seharusnya menyertakan kalimat “dan lainnya” karena akan menimbulkan multi-tafsir.
Prof Atip Latipulhayat menutup pemaparannya dengan menyatakan bahwa hukum adalah produk politik sehingga penting bagi Jamiyyah Persis untuk melakukan upaya upaya politis. Mengingat draft yang dibahas masih berupa RUU sehingga Persis dapat melakukan upaya upaya tertentu, bukan hanya sekedar menolak akan tetapi ketika menolak juga harus siap dengan menawarkan solusi. Isu kejahatan seksual Memang real terjadi sehingga payung hukum untuk kejahatan tersebut sangat diperlukan, akan tetapi payung hukum tersebut harus murni untuk kemaslahatan dan tidak ditumpangi kepentingan golongan yang bertentangan dengan nilai Islam.
Pada pertemuan ini dihadiri kurang lebih 50 orang peserta diskusi termasuk PP Persistri dan Pemudi. Menghasilkan nota kesepakatan atas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini sebagai awalan KKBH bersama-sama dengan Persistri, Pemudi, Ahli dan tidak menutup kemungkinan dengan ormas Islam lain akan menyusun Naskah Akademik yang membahas kejahatan seksual dari perspektif wanita muslim.
Pada simposium ini KKBH Mengundang ahli sebagai pengarah yaitu Prof. Euis dan Prof. Atip Latipulhayat. Acara dimulai pukul 15.30, dibuka oleh direktur eksekutif KKBH PP Persis sendiri yaitu ust. Yudi Wildan Latif, SH. MH. Kemudian dilanjutkan dengan pemaparan analisa awal RUU PKS oleh tim KKBH, disampaikan oleh Advokat M. Adli Hakim H, SH. MH (HL/RFY)
Ja'miyyah
29 November 2024 | 21:54