Komunitas Kajian Tazkiyatun Nufus, Membumikan Gerakan Dakwah Kultural

oleh Reporter

30 Desember 2018 | 04:19

Bandung – persis.or.id, Dakwah tak semestinya dibatasi oleh ruang-ruang masjid semata, karena aktivitas manusia tak hanya disana. Dakwah yang diajarkan oleh Nabi SAW mampu menyentuh berbagai dimensi sosial dan tak melulu di masjid. Seperti itu pula pola dakwah yang dilakukan oleh Komunitas Tazkiyah yang dirintis oleh Ust. H. Yusuf Burhanudin, Lc., M.Pd.I, Ketua Bidang Garapan Hubungan Luar Negeri (Hubluneg PP Persis).

Berawal dari keresahan melihat teman-teman seperjuangannya dulu saat nyantri di Pesantren Persis “Ihyaus Sunnah” Rancabango, Ustadz Yebe (sapaan akrab beliau), terdorong kuat untuk mengingatkan mereka agar bisa kembali menghidupkan kembali ghirah dakwah. Ustadz Yebe akhirnya merumuskan adanya kajian Tazkiyatun Nufus.

Membaca kondisi teman-temannya yang mulai sibuk dengan aktivitas di luar pesantren seperti bisnis dan pekerjaan masing-masing, hingga pada akhirnya meredupkan spirit dakwah yang sejatinya menjadi tugas suci setiap santri pada saat keluar dari pesantren, apapun posisi mereka.

“Padahal kiprah mereka ditunggu umat. Bagaimana menerjemahkan tradisi ulama salaf dalam kehidupan sehari hari, mulai ari yang mudah dipahami, namun tetap mampu bersosialisasi secara terbuka dengan masyarakat luas”, ujar Ustadz Yebe pada persis.or.id (26/12/2018).

Tak terasa, seiring perjalanan waktu, ternyata kajian Tazkiyatun Nufus tersebut sudah menginjak genap 5 tahun. Kajian biasanya dilakukan pada sore atau malam hari. Selain segmentasi dewasa, ada juga yang segmentasi dakwahnya untuk anak-anak, Ustadz Yebe membangun Ma’had Tahfizh al-Quran lil Athfal, sekolah hafalan al-Quran untuk anak-anak tingkat SD dan SMP dengan target hafalan 2 Juz akhir, di sore harinya. Hingga saat ini, mahad yang dipimpinnya tersebut sudah banyak menelorkan lulusan dan alumni.

 

Kesabaran dan Kontinuitas
Ustadz Yebe mengenang perjalan awalnya, ia bercerita pada awalnya kajian tersebut hanya diikuti oleh 3 orang saja. Singkat cerita, dari yang asalnya 3 orang, jadi 5 orang bertambah jadi 10 sampai kemudian 20 dan 30 orang bahkan hampir 40 orang. Kajian awalnya seminggu sekali dan kini berjalan seminggu dua kali dan diasuh serta diteruskan oleh Ust. Yadi Saeful Hidayat yang juga termasuk Pembina Tazkiyyah.

Ustadz Yebe menjelaskan Komunitas Kajian Tazkiyah itu sekarang sudah merambah ke kitab Ad-Daa’ Wad Dawaa’  (Penyakit dan Terapinya) karya Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyyah. Kajian ini berupaya untuk memperbaiki perlaku hidup seseorang berbasis pembenahan penyakit dan orientasi hati terlebih dahulu.

Kajian Tazkiyatun Nufus bukan tanpa alasan menjadi sebuah pilihan. Ustadz Yebe menjelaskan, awalnya buku yang menjadi bahan untuk kajian adalah kitab “Tazkiyatun Nufus” karya Dr. Ahmad Farid, berdasarkan teori yang ditulis oleh tiga imam besar; Imam Al-Ghazali (Asy’ariyyah), Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (Wasathiyyah), dan Imam Ibnu Rajab Al-Hambali (Hanbaliyyah).

Salah satu yang perlu dipupuk dengan baik, termasuk di jamiyyah Persis adalah nilai-nilai hati yang bersih, menyucikan hati dari dua penyakit akut dalam hidup berjamiyyah; dari syubhat (penyimpangan keyakinan) dan syahwat (penyimpangan orietasi hati karena perkara duniawi). Inilah alasan kenapa kajian yang dibangun Ustadz Yebe dan teman-temannya ini melalui kitab Tazkiyatun Nufus tersebut.

“Terus terang saja level akademis kita sudah tinggi-tinggi, tapi secara spiritual masih dirasa kurang dan kering. Keangkuhan dan kesombongan intelektual kerap mewarnai pergerakan dakwah yang seharusnya penuh hikmah. Ada kekurangan dari segi kualitas hati,” ungkapnya.

 

Memulai dari Sentuhan dan Perbaikan Hati

Start gerakan dakwah itu harus berawal dari hati, itulah kata-kata yang berkesan saat tim redaksi persis.or.id mengunjungi ustadz Yebe di Kafe Kopibray, salah satu tempat nongkrong dan ngajinya komunitas Tazkiyatun Nufus atau sekarang dikenal Tazkiyah Center Indonesia  (TCI) itu.

Setelah hati lurus, kemudian beralih kepada gerak dan perilaku. Kalau hanya bersatu dalam gerak tapi hatinya saling berselisih satu sama lain (tajma’uhum jamii’an wa quluubuhum syattaa) tetap akan susah jadi satu bentuk bangunan yang kokoh dan beriringan.

Meski kenyataan hidup kita berada dihadapkan pada heteroginitas, namun itu semua jangan menjadi sumber perpecahan. Kalau hati sudah hanif, meski memiliki banyak perbedaan latarbelakang pendidikan, matapencaharian dan lainnya, hal hal tersebut tak akan menjadi halangan untuk membangun kesalehan sosial. Kurang lebih seperti itu yang Ustadz Yebe paparkan saat itu.

Alasan kedua, kenapa harus mengkaji kitab Tazkiyatun Nufus itu karena mewakili keberagaman gaya gerak dakwah. Kitab yang cukup kecil namun populer karangan Dr. Ahmad Farid itu dibuat berdasarkan pemikiran tiga imam Mazhab yang disebutkan sebelumnya.

Imam Ghazali itu mewakili corak pemikiran NU, imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah mewakili Ikhwah Quran sunnah (termasuk Persis), dan imam Ibnu Rajab Al-Hambali itu mewakili Salafi.

Ustadz Yebe berharap kajian itu bisa melahirkan pejuang-pejuang yang hanif (memperjuangkan tegaknya Quran Sunnah). Ia terus memotivasi agar menyatukan gerak dakwah, mulai dari meluruskan hati, dan kembali banyak memohon ampunan oleh Allah.

“Rusaknya pergerakan dakwah karena dosa dan maksiat oleh pribadi-pribadi dai, yang pada akhirnya tak bisa menyeru dalam kebersamaan,” ungkapnya.

 

Bagaimana Memulai Gerakan Dakwah Kultural semacam Tazkiyah?

Perjalanan kajian Tazkiyah yang sudah mencapai 5 tahun tentu bukanlah hal yang mudah. Ada aral terjal yang pasti ditemukan dan dirasakan. Dan kesemuanya itu dimulai dari langkah kecil tapi pasti; yaitu mulai saja.

“Kita memulainya dengan door to door aja, awalnya dari yang mulai saya kenal, terutama yang sepergerakan, terutama agar kemudian gerakan antara ilmuwan dan usahawan, cendikiawan dengan hartawan, senantiasa beriringan biar nanti ‘bangunan’ yang kokoh menjadi wujud dalam menegakkan cita-cita bersama menuju tegaknya nilai-nilai Al-Quran dan Sunnah. Puncaknya cita-cita mulia tersebut mudah-mudahan kelak mewujud satu sekolah, pesantren, ataupun boarding school dengan nilai-nilai yang dibangun selama ini,” terang Ustadz Yebe.

Kajian Tazkiyah ini sudah menginspirasi mereka yang sempat berada di persimpangan jalan hidup. Singkat cerita dari sana berkembang dan banyak sinergi secara beriringan dan membarengi kajian-kajian pemuda hijrah yang semarak di Bandung khususnya.

Banyak terlibat di dalamnya para pemuda kultural yang floating mass (tidak mengikuti organisasi manapun), namun ketahuilah bahwa sesunggungnya mereka bergerak di jalan Quran Sunnah.

Tidak membawa ‘bedera’ dan menyampaikannya secara frontal. Namun yang dilakukan adalah gerakan merangkul, berkomunikasi dari hati ke hati guna mencari solusi dari apa yang mereka alami, namun tetap bergaul secara syar’i dan terbuka. Inilah model yang tidak rigid dalam dakwah dalam menyentuh berbagai kalangan di dalam masjid.

Meski demikian, interaksi didalamnya tetap memberikan corak pengaruh misalnya terhadap fiqih ibadahnya. Saat belajar shalat wudu yang dipakai Fiqih Persis karena dirasa oleh mereka lebih rasional dengan dalil dalil yang jelas. 

“Gerakan dakwah Tazkiyyah ini beriringan dengan apa yang dirintis oleh Ust. Hanan Attaki, Ust. Evie Efendi, dan Ust Handy Bony, Ust. Rahmat Baequni, dan ustadz muda lainnya dalam menggarap dakwah kultural yang bersinergi satu sama lain,” terangnya.

Bagi Ustadz Yebe, arus kultural itu sesuatu yang besar, banyak kekuatan mereka harus diberdayakan dan disinergikan. Hartawan dan Ilmuan akhirnya bisa saling menopang syiar Islam.

Atas kesepakatan teman teman yang sering kajian, akhirnya dibuatlah Yayasan Tazkiyah Center Indonesia, dimana Ustadz Yebe menjadi bagian dari pembinanya.

“Itu cuma sebatas wadah gerakan saja dan berkonsentrasi di Kopibray karena pemilik Kopibray salah satu pembina juga, akhirnya bikin cafe kopibray. Banyak ngaji di kafe, selain juga itikaf di masjid (pada bulan ramadhan) akhirnya alhamdulillah temen-temen yang asalnya lupa mimbar, sudah mulai naik mimbar lagi (berdakwah lagi)”, ujarnya.

Ustadz Yebe yang kini sedang menempuh S3 di Malaysia ini, senantiasa mendorong agar spirit berdakwah terus bergelora sesuai kemampuan masing-masing.

Tazkiyah juga turut bersinergi dengan beberapa gerakan dakwah yang lainnya termasuk ada Majelis Tatto yang dibidani oleh Ust. Rosihan Fahmi dan Ust Evie Efendi, pengajar-pengajarnya banyak disuplai dari teman-temannya Ust Yebe.

Pergerakan dakwah kultural ini pada akhirnya menjadi tidak sederhana karena yang asalnya sama-sama menggarap dakwah, juga berbarengan dalam coaching spirit ekonomi syariah dalam bidang usaha; ada yang di showroom, ritel, komunitas motor seperti Moge, travelling, dan lainnya.

“Kita tak support bagaimana manajemen usahanya karena mereka sudah melek dalam hal itu. Yang kita kasih adalah batas-batas spiritual dan syar’i biar muamalah tak menyimpang. Usaha mereka dikawal oleh syariah sehingga menjadi keberkahan yang sangat luar biasa dan mereka sadar bahwa ngaji dan berdakwah itu efeknya luar biasa bahkan terhadap gerak usaha dan ekonomi mereka”, pungkas ustadz Yebe. (/Editorial)

Reporter: Reporter Editor: admin