“Menggugat” Muktamar dan Muktamirin

oleh Reporter

24 September 2022 | 23:41


Penulis: 
Dean Al-Gamereau
(Anggota PERSIS,  warga negara biasa, yang sudah terbiasa dengan keadaan biasa-biasa saja, tinggal di Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten).

 

 

“Para muktamirin yang saya hormati!” Itu nahnu dengar dalam pidato, atau nahnu baca dalam tulisan. Nahnu pun banyak membaca muktamar dan muktamirin di grup WA. PERSIS sedang menyelenggarakan muktamarnya yang ke-16, dihadiri para muktamirin, di hotel Sutan Raja, Soreang, Kabupaten Bandung, 23 – 26 September 2022.

Ana mau “menggugat” muktamar dan muktamirin sekaligus. Secara bahasa, muktamirin di situ, artinya para pelaku (ibadah) umrah atau jamaah umrah. Begitulah memang kalau huruf /k/ ditelusuri atau disasar, dan akan bertemu dengan huruf  ‘ain (. Itulah memang prosesi  penyerapan kata dari bahasa Arab jadi bahasa Indonesia, semisal دعوة (da’wah) jadi dakwah معلوم (ma’lum) jadi maklum,  يعني (ya’ni) jadi yakni, ركوع  (ruku’) jadi rukuk, dan seterusnya.

Lalu, muktamirin di atas, asalnya معتمرين  (mu’tamirin)? Tentu, bukan! Kalau huruf /k/ di situ berasal dari huruf ‘ain (, seperti halnya da’wahma’lum, dan ya’ni, maka muktamirin kita pastikan artinya jamaah umrah atau para pelaku (ibadah) umrah. Muktamar pun (isim maf’ul) kalau memang huruf /k/ di situ berasal dari huruf ‘ain (ع) pula, maka kita pastikan lagi artinya (orang) yang diumrahkan.

Dari huruf Arab ke huruf Latin, ada alih aksara dan serap kata. Alih aksara, seperti (  jadi /’/, contohnya دعوة  jadi da’wah, tetapi kalau diserap jadi bahasa Indonesia, harus ditulis dakwah. Contoh lain, حديث. Kalau di-alih aksara-kan, jadi hadits, harus ditulis dengan huruf miring karena ditulis alih aksara, masih dianggap bahasa asing. Kalau sudah diserap jadi basa Indonesiamaka harus ditulis hadis (tanpa huruf /t/), dan tak perlu ditulis dengan huruf miring.

Lantas, muktamar ditulis untuk yang diumrahkan dan mutamar ditulis untuk yang dimusyawarahkan? Tidak enak didengar memang jadi mutamar untuk yang dimusyawarahkan. Juga, muktamar isim maf’ul itu ternyata diterjemahkan  dengan  isim mashdar. Muktamar adalah konferensi, kongres, rapat, perundingan, pertemuan. Bukankah semua itu  dari sudut pandang ilmu nahwu atau ilmu tasrif  disebut isim masdar? Seharusnya jadi iktimar agar terjemahannya selaras dari isim masdar ke isim masdar lagi?  Kitabah itu artinya tulisan, bukan menulis. Qiraah itu artinya bacaan, bukan membaca. Iktimar? Salah satu artinya, perundingan. Lalu, dari mana asal usulnya, muktamar yang isim maf’ul itu seenaknya saja diterjemahkan dengan isim masdar?  Ini kesewenang-wenangan berbahasa, dan oleh karena itu  harus “digugat”?  Dari mana pula terjemahan muktamirin jadi para peserta muktamar, padahhal kalau huruf /k/ di situ berasal dari huruf  (ع), maka artinya jamaah umrah atau orang yang beribadah umrah.

Ada bahasa Inggris yang diserap secara “radikal”, dari reseaerch (penelitian) jadi riset. Bahkan, riset  pernah jadi nama kementerian (Riset dan Teknologi), juga  jadi nama resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Tetapi, ketua pengarahnya lebih dikenal sebagai seorang politisi senior. Kita yakin mampu, karena bergelar profesor.

Dalam video monolog KH. A Zakaria, terdengar adanya cerita kehati-hatian guru beliau dalam menerjemahkan bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Terjemahan fi’il ma’lum (kata kerja aktif) harus diterjemahkan dengan bentuk fi’il ma’lum lagi, tak boleh fi’il ma’lum diterjemahkan dengan fi’il majhul (kata kerja pasif). Kalau saja guru beliau tahu, bahwa muktamar yang isim maf’ul itu diterjemahkan dengan isi masdar, boleh jadi, akan “menggugatnya”.

Muktamar, rupanya pula, diadopsi dari Al-Qur’an surat Al-Qashash: 20 dan atau dari surat Ath-Thalaq: 6. A. Hassan dalam Al-Furqan (2021) menerjemahkan berembuk (Al-Qashash : 20)  dan menerjemahkan hendaklah kamu bermusyawarah (Ath-Thalaq:6). Muktamar dalam Al-Qashash: 6 itu persekongkolan oligarki Firaun untuk membunuh Nabi Musa A.S., sedangkan muktamar dalam Ath-Thalaq: 6  adalah musyawarah untuk menyelesaikan masalah  yang timbul akibat perceraian. Konotasi muktamar agaknya negatif, terutama praktik muktamar oligarki Firaun itu. 

Zaman Nabi Muhammad S.A.W. dan para khalifah, agaknya, meski banyak musyawarah, tetapi tak pernah ada  istilah muktamar. Pernah baca istilah muktamar pada perundingan atau pemilihan khalifah dalam kitab-kitab klasik Islam? Bid’ah…hasanah.

Lalu, sudahlah!  Muktamar sudah kita pahami bersama, daripada membuat istilah baru yang belum tentu benar. Berbahasa kadang-kadang hasil kesepakatan juga. Muktamar sudah masuk ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), dengan arti konferensi, kongres, rapat, perundingan, pertemuan (kbbi.web.id). Muktamar sudah jadi bahasa Indonesia baku resmi–yang berasal dari bahasa Arab.

Beberapa ormas dan parpol sudah lumrah menggunakan muktamar untuk musyawarah tertinggi masing-masing, seperti NU, MUHAMMADIYAH, PERSIS, Al Washliyah, Pelajar Islam Indonesia (PI), Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Mathla’ul Anwar (MA). Saat bergurau, ada tiga ormas yang disusun jadi satu kalimat: NU Persis Muhammadiyah atau Muhammadiyah Persis NU.

Akhirnya, “Para muktamirin dan muktamirat, selamat bermuktamar!”. Kalau ana mengatakan, “Para mutamirin dan mutamirat, selamat beritimar!”. Ganjil banget di telinga, dan aneh.

[]

 

Reporter: Reporter Editor: admin