Menyalakan Harapan

oleh Reporter

25 Desember 2018 | 08:12

Apa yang membuat kita bisa terus bertahan menjalani apapun? Apakah keluarga; ayah, ibu, anak, istri, suami? Apakah karena harta kita? Apakah karena jabatan kita? Apakah karena ilmu dan kekuatan diri kita? Tentu, jika kita menggantungkannya pada material, pada makhluk, maka kita akan menjadi sangat rapuh. Sebab mereka juga sama sama lemahnya seperti diri kita.

Sejatinya, yang membuat kita bisa terus bertahan dan bersabar mengarungi semua cerita dan derita hidup ini adalah karena harapan kepada Allah.

Ya, inilah alasan satu satunya yang paling kokoh. Jika orang menyandarkan dan menggantungkan harapan kepada selain Allah, pasti akan semakin menganga luka hati dan kekecewaannya.

Semakin berharap kepada manusia dan material lainnya, maka semakin sakit endingnya.  Karena sebagai entitas manusia, kita sudah didesain oleh Allah agar senantiasa membutuhkan-Nya.

Pantaslah, jika kita seringkali diuji dengan masalah masalah besar yang mengguncang hati dan pada akhirnya mempertanyakan kebergantungan dan keberharapan kita ini mau diarahkan kepada siapa? Apakah kepada Allah sebagaimana seharusnya, ataukah justru malah sombong dan berpaling darinya dengan memohon mohon pada makhluk?

Ada pelajaran menarik dari kisah nabi Musa AS. Beliau adalah keturunan bani israil yang sangat cerdas dibanding yang lainnya. Saat nabi Musa bersama kaumnya hendak pergi meninggalkan kota, namun pada akhirnya hampir berhasil dikejar Firaun. Al-Quran mengabadikan kisahnya. Saat satu sama lain bisa saling melihat (kaum Musa dengan Firaun dan balatentaranya), Naasnya di depan nabi Musa beserta kaumnya itu mentok karena hanya ada laut merah yang membentang. Seketika semua orang kehilangan harapannya. Sekita mereka mengatakan, tamatlah kita.

Di saat kaumnya kehilangan harapan, Musa AS dengan lantang mengatakan Allah pasti akan memberi hidayah-Nya. Beliau terus menjaga harapannya kepada Allah SWT. Singkat cerita, apa yang terjadi?

Harapan dan keyakinan itu mengundang pertolongan Allah. Nabi Musa AS diberi hidayah dan mukjizat agar bisa melewati Laut Merah dengan wasilah tongkat yang biasa dia gunakan sehari-hari. Tongkat tersebut dipukulkan, tetiba laut itu membukakan jalannya atas izin Allah.

Cerita nyata lainnya yang harus diambil pelajaran adalah kisah Nabi Muhammad SAW bersama Abu Bakar. Saat sudah mentok di gua Tsur, dan orang orang Quraisy hampir bisa menemukan mereka, Diperparah dengan suara cicak yang seolah olah memberitau bahwa Nabi bersama Abu Bakar bersembunyi di Gua itu,

Seketika muncul kata-kata dari Abu Bakar, "Kapan Pertolongan Allah akan datang?" sambil menangis. Saking beratnya ujian, saking tak kuatnya menerima kenyataan.

Apa yang Nabi SAW lakukan? Lagi lagi, tentang menjaga harapan dan keyakinan kepada Allah. Beliau menegaskan pada sahabat terbaiknya itu bahwa Allah pasti menolong mereka, pertolongannya begitu dekat.

Lagi lagi, harapan totalitas itu mengundang pertolongan Allah. Allah tutup penglihatan orang-orang kafir Quraisy dengan jaring laba-laba. Mereka berpikir tak mungkin ada orang yang masuk ke gua itu kalau jaringnya tak rusak satu pun. Selamatlah Nabi SAW berserta Abu Bakar.

Ujian berat, masalah berat, guncangan yang berat adalah momentum kita menunjukan keimanan kepada Allah. Penderitaan demi penderitaan yang terjadi, harus bisa mengobarkan harapan yang ada di jiwa kita. Harapan yang hanya digantungkan kepada Allah. Harapan itulah yang pada akhirnya membuat Allah memberikan hidayahnya kepada diri kita.

Kalau Allah sudah menurukan hidayah kepada hati hambanya, maka ia akan bisa menjalani dan menyelesaikan berbagi ujian dan masalahnya. Kalau sudah terhidayahi ia akan selamat dalam urusan dunia, kelak urusan akhirat.

Semakin berat guncangan ujiannya, harus semakin menyala harapannya kepada Allah. Hanya kepada Allah, bukan yang lainnya. Jangan ada harapan sedikitpun pada manusia. Bertawakal hanya kepada Allah saja.

Bila telah terlihat betapa naiknya keimanan kita, pasti Allah turunkan hal hal yang diluar dugaan bahkan nalar kita.

Janji-Nya, memberikan solusi atas setiap permasalah hambanya itu. Allah juga memastikan, memberikan rezeki untuk hambanya itu dari arah tak disangka sangka. Itu terjadi apabila seseorang menjadi bertaqwa karena menjalani ujian yang Allah timpakan kepadanya.

Bagaimana bisa menyalakan harapan di kondisi paling berat, paling terpuruk? Misalnya saja kehilangan seluruh harta benda, kehilangan anggota keluarga yang paling dicintai, kehilangan nama baik, dan kehilangan hal paling berharga.

Kalau ada di titik nadir seperti itu hal pertama yang mesti kita lakukan adalah ridho. Ridho lah kepada Allah atas semua ketetapan-Nya.

"Ya Allah, semuanya ini adalah milikmu, titipanmu. Jika engkau mengambilnya, silahkan ya Allah, saya ridho. Ambil saja apapun yang engkau kehendaki, saya ridho... Ya Allah. Asalkan engkau meridhoi diri saya ini".

Kedua, yang mesti dilakukan selanjutnya adalah bertaubat kepada Allah. Jangan jangan ada dosa kita yang pada akhirnya menyebabkan Allah menurunkan ujian atau musibah tersebut. Bersyukurlah karena dengan adanya ujian dan musibah itu membuat kita membenahi diri.

Jika harapan semakin menyala, kita juga ridho terhadap apa yang menimpa diri kita, maka yang terjadi selanjutnya kita bisa melangkah dengan kokoh.

Masalah membentuk diri kita menjadi semakin kuat. Ujian membentuk kita semakin beriman dan bertaqwa kepada Allah. Kehidupan yang Allah berikan akan terasa begitu indah dan penuh rasa syukur. Selama harapan terus digantungkan hanya kepada Allah.

 

 

***

Penulis: Taufik Ginanjar (Konsultan Psikologi Remaja dan Keluarga)

Reporter: Reporter Editor: admin