Pada awalnya semua anak merupakan makhluk penurut. Anak akan terus tumbuh bersamaan dengan perlakuan yang mereka terima dari orangtuanya. Secara akumulatif, perlakuan orangtua membentuk karakter dan cara anak merespon sesuatu. Misal, Saat usia bayi mereka sering bangun shubuh hari, namun seringkali sebagian orangtua justru menyuruhnya tidur lagi. Terus saja begitu. Sehingga jangan salahkan anak, jika dikemudian hari dia akan malas bangun lebih pagi, bangun shubuh.
Padahal seharusnya biarkan saja bayi tersebut tertidur atau terjaga dengan sendirinya. Lebih bagus lagi, orangtuanya mengajaknya bermain dan berinteraksi hingga si anak terlelap dengan sendirinya.
Atau contoh lainnya, ketika anak melakukan sebuah kesalahan. Saat usia masih bayi, mereka berperilaku secara alami. Sebenarnya mereka sedang mempelajari segala hal di sekitar dan di lingkungan dirinya. Anak kita saat bayi belum mengetahui benar atau salah. Bahaya atau tidak. Saat melakukan kesalahan untuk kali pertamanya, jika orangtua memperlakukannya dengan sikap represif (menekan, menghardik, responnya kasar, tidak bijak), secara akumulatif anak akan tumbuh menjadi seorang pembohong (untuk melindungi diri) dan inferior (rendah diri) bahkan jangka panjangnya adalah terhambatnya perkembangan kognisinya (kecerdasannya).
Tapi sebaliknya, jika orangtua mampu menjelaskannya dengan bijak, terus mengapresiasi cara belajar si bayi tersebut, atau pokoknya di usia 2 tahun pertama, hindari hardikan, kemarahan dan perlakuan jelek lainnya. Maka anak akan tumbuh menjadi lebih kuat bahkan kecerdasannya akan lebih baik dibanding teman-temannya yang lain.
Atau contoh lainnya, semua perilaku orangtua atau anggota keluarga akan ditiru 100 persen oleh anak. Perkembangan bahasa si anak, dimulai saat mereka terlahir ke alam dunia ini. Akan berkembang sangat baik, jika bahasa yang selalu dia dengar adalah bahasa-bahasa yang baik, lembut dan positif. Akan menjadi membahayakan perkembangannya, saat di usia 2 tahun pertama dirinya harus mendengar perkataan-perkataan kotor, jorok, atau perkataan negatif maka akan meniru bahasa tersebut.
Muncul sebuah kegelisahan dari orangtua,
Bagaimana seandainya jika bahasa di rumahnya bagus, tapi saat bermain di lingkungan luar menerima bahasa-bahasa kasar? Jika kondisinya demikian, orangtua masih sangat kuat pengaruh untuk menetralisir bahasa kotor yang dikeluarkan oleh anaknya. Cukup beberapa kali penjelasan, anak bisa kembali bagus lagi bahasanya. Poin pentingnya adalah di usia 2 tahun pertama, anak mesti akrab dengan oranhgtuanya. Perlakuan yang diterima oleh si anak bisa disimpulkan sebagai perlakuan kasih sayang. Maka anak akan lebih mudah dikondisikan oleh kedua orangtuanya.
Perlakuan Lembek dan Ketegasan
Kemampuan memperlakukan anak di poin ini sangatlah vital. Akan sangat berdampak hingga usia si anak menjadi remaja. Tidak semua keinginan anak mesti dituruti oleh orangtuanya. Harus ada ketentuan yang dibuat oleh orangtua dan disepakati atau ditaati oleh anaknya. Orangtua yang selalu kalah atau mengalah terhadap keinginan anaknya, maka orangtua seperti ini bisa disebut orangtua yang lembek. Tak tahan mendengar anak menangis, akhirnya keinginan si anak dituruti. Anak belajar menaklukan orangtuanya. Dia akan memanfaatkan kelembekan orangtuanya agar mau menuruti keinginannya.
Padahal anak untuk pertama kalinya menangis, hanya menangis 4-5 menit saja. Orangtua mesti menegaskan bahwa dirinya tak akan mengubah ketentuan meski si anak terus menangis. Anak akan berhenti juga menangis. Akan lebih bagus lagi jika energi si anak diarahkan, misal dengan cara menggendongnya dan mengalihkan fokus perhatiannya, atau dikondisikan dengan mengajaknya memahami kondisi orangtuanya. Orangtua yang mampu menjaga ketentuan prinsip yang sudah dibuatnya dan mestinya disepakati oleh anaknya, bisa disebut sebagai orangtua yang tegas. Saat anak merasakan ketegasan bersikap dari orangtuanya, akan akan belajar memahami dan menuruti orangtuanya.
Saya memiliki murid saat ini duduk di kelas 7. Orangtuanya sudah menyerah karena tiap hari si anak bangun kesiangan, malas shalat dan susah mau berangkat sekolah. Setelah dihomevisit dan ngobrol panjang lebar dengan orangtua, saya menemukan sebuah pelajaran. Ternyata si anak diperlakukan sesui keinginan anak tersebut, dari usia kecil hingga SD kelas 6, si anak tersebut diperbolehkan tidur dan bangun menjelang siang (bahkan maaf, ditoleransi untuk tidak shalat shubuh). Saat saya tanya, mengapa bisa demikian? pihak orangtua menjawab karena mereka tak mau anaknya terus nangis waktu itu. Justru disinilah kesalahan fatalnya.
Orangtua mesti belajar tega. Tega untuk melihat anaknya menangis untuk masa-masa awal menuruti aturan orangtuanya. Tega melihat anak cemberut karena keinginannya tak dipenuhi. Tangisan dan cemberut si anak sebetulnya hanya sebentar saja. Untuk kedepannya, orangtua akan lebih mudah mengarahkan perilaku baik pada anak. Disisi lain, anak juga belajar sebuah ketegasan orangtuanya. Anak melihat kewibawaan pada orangtuanya.
Tak Semua Bentuk Kasih Sayang Harus Manis
Di situasi situasi tertentu, adakalanya orangtua harus mengambil tindakan tegas sekali bahkan sampai ke tindakan hukuman. Jika dirasa perilaku anak akan membahayakan dirinya sendiri. Meskipun rasanya pahit bagi anak, tetap harus dilakukan oleh orangtuanya. Misal, anak mendzalimi teman, sauadara atau bahkan binatang. Orangtua mesti mengajari anaknya untuk bersikap baik, mesti diawali dengan hukuman atau tindakan tegas dari orangtuanya. Atau contoh lain, anak mengucapkan perkataan buruk pada ibunya, maka seorang ayah mesti menindak tegas perilaku anak saat itu. Contoh lainnya, anak mencuri uang orangtuanya, mesti ditindak tegas juga perilakunya saat itu juga.
Jika perlu marah, maka silahkan marah. Jika harus memukul, maka hindari memukul area wajah. Setelah kemarahan itu tersampaikan, ada hal yang mesti dilakukan oleh orangtuanya. Apa itu?
Orangtua mesti memanggil anaknya. Suruh duduk atau mendekat ke ayah dan ibunya. Sampaikan oleh ayah dan ibunya bahwa mereka menyayangi anak-anaknya. Dekaplah anak, ucapkanlah di telinganya bahwa si anak mesti memahami bahwa tak semua bentuk kasih sayang itu manis, adakalanya harus pahit seperti yang mereka rasakan saat itu. Anak akan bisa menyimpulkan bahwa orangtuanya menyayangi dirinya. Ia akan belajar menjadi lebih baik. Perilakunya akan mengalami perubahan ke arah yang lebih positif. Jiwa nya akan lebih kuat, tak mudah rapuh alias tergoda oleh pengaruh buruk lingkungan pertemanannya.
Cinta Orangtua Mesti Bisa Dirasakan oleh Anaknya
Orangtua harus berusaha memenuhi semua kebutuhan anaknya. Jangan terus-terusan memenuhi kebutuhan materialnya saja (seperti makan, jajan, mainan, pakaian, dll). Penuhi juga kebutuhan non-materialnya seperti; dicium keningnya, diajarkan dan diajak shalat, main dan bercanda bersama, silaturahim ke sanak saudara, diajak melayad orang sakit, diajarkan berinfaq shadaqah, dll. Jangan mengatakan cinta pada anak, apabila orangtua masih mengurusi kebutuhan material anak, dan mengesampingkan kebutuhan non-materialnya. Jangan salahkan anak, jika di usia dewasa mereka justru meninggalkan orangtuanya. Tak perduli dengan orangtuanya.
Rasulullah SAW mengajarkan kepada kita untuk menunjukan rasa cinta pada anak-anak kita. Seperti dalam sebuah hadits, dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhoinya- berkata :
قَبَّلَ النَّبِىّ صلى الله عليه وسلم الْحَسَنَ بْنَ عَلِىٍّ ، وَعِنْدَهُ الأقْرَعُ بْنُ حَابِسٍ التَّمِيمِىُّ جَالِسًا ، فَقَالَ الأقْرَعُ : إِنَّ لِى عَشَرَةً مِنَ الْوَلَدِ مَا قَبَّلْتُ مِنْهُمْ أَحَدًا ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم، ثُمَّ قَالَ : مَنْ لا يَرْحَمُ لا يُرْحَمُ
“Nabi SAW mencium Hasan bin ‘Ali (cucunya Nabi), dan di sisi Nabi ada Al-Aqro’ bin Haabis At-Tamimiy yang sedang duduk. Maka Al-Aqro’ berkata, “Aku punya 10 orang anak, tidak seorangpun dari mereka yang pernah kucium”. Maka Rasulullah SAW pun melihat kepada Al-‘Aqro’ lalu beliau berkata, “Barangsiapa yang tidak menyayangi maka ia tidak akan disayangi”
(HR Al-Bukhari no 5997 dan Muslim no 2318)
Dalam kisah yang sama dari ‘Aisyah –semoga Allah meridhoinya- ia berkata :
جَاءَ أَعْرَابِى إِلَى النَّبِى صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : تُقَبِّلُونَ الصِّبْيَانَ ، فَمَا نُقَبِّلُهُمْ ، فَقَالَ النَّبِى صلى الله عليه وسلم أَوَأَمْلِكُ لَكَ أَنْ نَزَعَ اللَّهُ مِنْ قَلْبِكَ الرَّحْمَةَ
“Datang seorang arab badui kepada Nabi SAW lalu berkata, “Apakah kalian mencium anak-anak laki-laki?, kami tidak mencium mereka”. Maka Nabi SAW berkata, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa sayang dari hatimu” (HR Al-Bukhari no 5998 dan Muslim no 2317)
Saat anak bisa merasakan bahwa orangtuanya mencintai mereka, orangtuanya berjuang keras untuk kebahagiaan dunia-akhirat mereka, maka saat itulah anak akan tumbuh dan menjalani dinamika masalahnya dengan baik. Perilaku anak akan lebih terarah, sesuai harapan orangtuanya. Berbagai masalah yang menerpa sang anak, bisa diselesaikannya sendiri. Anak memiliki energi untuk terus berjuang. Anak akan memiliki mimpi untuk membahagiakan kedua orangtuanya. Anak akan terus bangkit saat terjatuh. Dahsyatnya efek cinta orangtua, saat dirasakan oleh anaknya.
Allahu A’lam.
***
Penulis: Taufik Ginanjar (Konsultan Psikologi Remaja dan Keluarga)