PERSIS.OR.ID,– Telah banyak rentetan penyimpangan sejarah dan nilai-nilai Islam yang dilakukan kaum Orientalis. Salah satunya adalah sejarah Islam di Indonesia yang tak luput menjadi sasaran mereka. Terkait hal ini, Sejarawan Muslim Dr. Tiar Anwar Bahtiar pun turut angkat bicara untuk membantah berbagai penyimpangan yang kadung dipercaya masyarakat.
“Thomas Stamfford Raffles, seorang tokoh Orientalis asal Inggris yang berupaya untuk menyudutkan nilai-nilai Islam melalui bukunya yang berjudul “History of Java”. Ia menyadari betul bahwa kekuatan terbesar dari potensi rakyat Indonesia untuk melawan Belanda berada pada umat Islam,” jelasnya dalam Kuliah Peradaban yang diselenggarakan di Masjid Nurul Falah Bandung, Sabtu (28/5/2016).
“Maka dari itu ia mencoba membuat umat Islam itu sendiri agar dijauhkan dari agamanya,” lanjutnya.
Dalam sebuah kelas kaderisasi berbasis ilmu yang digagas Relawan Siaga ini, Ustaz Tiar pun mengutip buku “History of Java” yang ditulis oleh Thomas Stamfford Raffles itu sendiri.
Agama Islam yang berkembang di Jawa terlihat hanya menekankan penampakkan dan pelaksanaan saja, tetapi hanya sedikit yang berakar dalam hati orang-orang Jawa. Mereka bukanlah pengikut Islam yang sempurna. Sebuah contoh yang sangat sederhana dimana ajaran Islam telah masuk ke dalam diri mereka, mungkin didorong dengan adanya peraturan yang dikeluarkan oleh raja (susuhan). (History of Java Bab IX).
Menanggapi pernyataan tersebut, Doktor Ilmu Pengetahuan Budaya UI ini merasa heran, bagaimana mereka bisa mengetahui yang ada di hati masyarakat Jawa bukanlah Islam?
“Jadi mereka ini seperti paranormal, beranggapan tanpa sebuah alasan yang masuk akal. Bukankah ia melihat bahwa masyarakat melaksanakan shalat lima waktu setiap harinya? Seseorang yang melangkahkan kakinya ke masjid untuk melaksanakan ibadah shalat tidak mungkin berangkat tanpa keimanan. Terlebih, amalan tersebut dilakukannya tanpa terputus setiap harinya,” katanya berpendapat.
Adapun kalau memang masyarakat Jawa ketika berniat shalat karena riya (ingin dilihat), imbuhnya, ketika tidak ada orang yang melihatnya satu atau dua kali, ia pasti tidak lagi melaksanakan shalat setelah itu. Tidak mungkin terus menerus tanpa terputus.
Pada saat itu, jelasnya, masjid banyak tersedia di berbagai sudut Pulau Jawa. Azan senantiasa berkumandang pada waktunya. Masyarakat pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat berjama’ah, imam dan ma’mumnya pun ada.
“Lantas bagaimana ia bisa menafsirkan bahwa yang ada di hati masyarakat Jawa itu bukanlah Islam? Tentu ini sebuah anggapan yang keliru,” tandasnya. (irfan/Alhikmah) alhikmah.co