Oleh: Oleh: Aedhi Rakhman Shaleh
***
Makna Qurban
Qurbân ( قُرْبَانٌ ) berakar kata dari قَرُبَ (qaruba: mendekat). Dari akar kata ini melahirkan kata-kata yang lain, seperti قَرِيْبٌ (qarîb: yang dekat), قُرَابَةٌ (qurâbah: kerabat), تَقَرُّبٌ (taqarrub: mendekatkan diri) dan sebagainya.
Adapun menurut istilah, Al-Qurthuby dalam tafsirnya mengatakan, “Qurbân adalah sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, baik berupa sembelihan (nusuk), shadaqah, atau amal shalih.” (Al-Jâmi’ Liahkâm al-Qur’ân, 2:296).
Sedangkan dalam Mu'jam al-Wasîth (2:273) diterangkan: Qurbân berarti segala bentuk amalan untuk taqarrub kepada Allah, baik berupa penyembelihan maupun lainnya.
Dalam Al-Qur’an, kata qurbân tertulis dalam beberapa ayat, seperti:
Qs. Ali ‘Imran:183:
الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ عَهِدَ إِلَيْنَا أَلَّا نُؤْمِنَ لِرَسُولٍ حَتَّى يَأْتِيَنَا بِقُرْبَانٍ تَأْكُلُهُ النَّارُ ...
“(Yaitu) orang-orang (Yahudi) yang mengatakan: ‘Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kami, supaya kami jangan beriman kepada seseorang rasul, sebelum dia mendatangkan kepada kami qurban yang dimakan api.’...”
QS. Al-Ma‘idah:27:
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ ...
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembah-kan qurban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil)…”
QS. Al-Ahqaf:28:
فَلَوْلَا نَصَرَهُمُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ قُرْبَانًا آلِهَةً ...
“Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan sebagai qurbân (untuk mendekatkan diri kepada Allah) tidak dapat menolong mereka...”
Pada ayat di atas, berhala dikategorikan kedalam qurbân karena dijadikan sarana untuk taqarrub kepada Allah. Ayat lain yang menerangkan tentang hal ini, yaitu:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Ingatlah! Hanya milik Allah agama yang khâlish (murni dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Dia (berkata), ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan (berharap) agar mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (QS. Az-Zumar:3).
Selain qurbân, dalam Al-Qur’an pun terdapat istilah “qurbah” (قُرْبَةٌ) yang sering diartikan sebagai “jalan untuk taqarrub”, sebagaimana dalam firman Allah Ta’âlâ:
وَمِنَ الأعْرَابِ مَنْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَيَتَّخِذُ مَا يُنْفِقُ قُرُبَاتٍ عِنْدَ اللَّهِ وَصَلَوَاتِ الرَّسُولِ أَلا إِنَّهَا قُرْبَةٌ لَهُمْ ...
“Dan di antara orang-orang Arab Badui itu ada orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan memandang apa yang dinafkahkannya (di jalan Allah) itu, sebagai jalan mendekatkannya kepada Allah dan sebagai jalan untuk memperoleh doa Rasul. Ketahuilah, sesungguhnya nafkah itu adalah suatu jalan bagi mereka untuk mendekatkan diri (kepada Allah).” (QS. At-Taubah:99).
Jadi, makna qurbân itu umum bagi segala sesuatu yang dijadikan untuk taqarrub kepada Allah sesuai dengan bentuk dan cara yang dikehendaki oleh-Nya. Hal ini berarti bukan hanya berupa binatang sembelihan saja, namun juga berupa amal-amal shalih lainnya. Maka dari itu, shalat pun termasuk qurbân, sebagaimana sabda Nabi ﷺ kepada Ka’b ibn ’Ujrah t:
يا كَعْبُ بْنَ عُجْرَةَ , الصَّلاةُ قُرْبَانٌ . وَالصَّوْمُ جُنَّةٌ ..
“Wahai Ka’b ibn ’Ujrah, Shalat itu qurban, shaum itu perisai, ….” (Musnad Ahmad ibn Hanbal, 3:399 no. 15319; Shahîh ibn Hibbân, dalam bab Dzikr al-Bayân Bianna al-Shalâh Qurbân Lil-‘Abîd Yataqarrabûn Bihâ Ilâ Bâri’ihim Jalla Wa’alâ no.1723).
Juga dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah t, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa mandi pada hari Jum’at seperti mandi janabah lalu pergi (ke masjid untuk shalat jum’at), maka dia seolah-olah ber-qurban dengan badanah (unta); dan barang siapa yang pergi pada jam kedua, maka dia seolah-olah ber-qurban dengan sapi; dan barang siapa pergi pada jam ketiga, maka dia seolah-olah ber-qurbân dengan domba; dan barang siapa pergi pada jam keempat, maka dia seolah-olah ber-qurban dengan ayam; dan barang siapa pergi pada jam kelima, maka dia seolah-olah ber-qurban dengan telur. Jika imam telah keluar, malaikat hadir mendengarkan al-Dzikr (Khuthbah).” (Shahîh al-Bukhâriy, kitab al-Jumu’ah, bab Fadhl al-Jumu’ah no. 841).
Kategorisasi Qurbân
Kata qurbân dalam pengertian umum bisa terbagi kepada: Qurbân yang diridhai oleh Allah dan yang tidak. Hal ini sebagaimana pada QS. Al-Maidah:27 dan QS. Al-Ahqaf:28 di atas. Kedua ayat ini pun mengisyaratkan bahwa qurbân yang diridhai oleh Allah itu jika dilaksanakan dengan bentuk dan cara sebagaimana yang Allah kehendaki dan juga disertai niyat yang ikhlash hanya demi taqarrub kepada-Nya.
Pada aspek bentuk, qurbân yang bermakna umum ini pun bisa terbagi kepada dua: Qurbân berupa binatang sembelihan dan non-binatang sembelihan (amal shalih lainnya seperti shalat, shaum, shadaqah dsb.).
Qurbân dengan bentuk binatang sembelihan inilah yang dikenal dengan istilah “nusuk”.
Makna Nusuk.
Nusuk menurut bahasa bermakna al-Ghusl (mencuci). Adapun menurut syara’ adalah nama untuk ibadah.
Secara etimologi, kata Nusuk adalah bentuk jamak dari kata Nasîkah (نَسِيْكَةٌ). Menurut Ibn al-A'raby, Nasîkah asalnya bermakna “peleburan perak”, lalu dimaknai dengan ‘ibadah karena ‘ibadah itu mirip peleburan perak dalam hal pemurniannya dari dosa. Orang yang beribadah dinamai dengan Nâsik karena dia memurnikan dirinya dari dosa dan kehinaannya seperti peleburan yang dimurnikan dari kotoran. Nasîkah pun dimaknai dengan binatang sembelihan karena merupakan ibadah paling mulia yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. (Tafsîr al-Lubâb, 1:606).
Dalam QS. Al-An’am:162, Allah Ta’âlâ berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, Nusuk-ku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.”
Dalam QS. al-Baqarah:196, Allah Ta’âlâ berfirman:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ... فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ...
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah... Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau nusuk....”
Menurut Dr. Wahbah al-Zuhayliy: “(Makna) asal Nusuk itu adalah Ibadah, sedangkan yang dimaksud pada ayat ini adalah binatang sembelihan.” (al-Tafsîr al-Munîr, 1:193)
Selain nusuk, dalam Al-Qur’an pun terdapat kata mansak dan manâsik (turunan dari kata nusuk), seperti dalam QS. Al-Hajj:34:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ...
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan mansak, supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizqikan Allah kepada mereka...” (QS. Al-Hajj:34).
Dr. Wahbah al-Zuhayliy mengatakan: Makna asal nusuk dan mansak: ibadah secara mutlak. Penggunaannya tersebar pada seputar ibadah hajji.” (al-Tafsîr al-Munîr, 1:192).
Rasulullah ﷺ Bersabda:
لَتَأْخُذُوْا مَنَاسِكَكُمْ ...
“Hendaklah kalian mengambil (dariku) manasik kalian.” (Shahîh Muslim, kitab al-Hajj, bab Istihbâb Ramy Jamrah al-‘Aqabah Yawm al-Nahr Râkiba Wabayân Qawlih Shallallâh Ta’âlâ ‘Alayh Wasallam Lita’khudzû Manâsikakum no. 1297).
Jadi, nusuk atau mansak memiliki 3 pengertian: 1) Ibadah secara umum. 2) Amalan yang dilakukan dalam ibadah Hajji (lebih kita kenal dengan bentuk jamaknya yaitu manasik). 3) Sembelihan binatang.
Adapun nusuk dalam arti binatang sembelihan ini terbagi kepada tiga macam:
1. ‘Aqîqah (العَقِيْقَةُ), yaitu binatang tertentu yang disembelih pada hari ke-7 dari kelahiran seorang anak. Sebagaiman hadits dari ‘Amr ibn Syu’ayb, dari ayahnya, dari kakeknya, ia berkata: “Rasulullah ﷺ. ditanya tentang ‘Aqîqah. Beliau menjawab:
لاَ أُحِبُّ الْعُقُوقَ , وَمَنْ وُلِدَ لَهُ مَوْلُودٌ فَأَحَبَّ أَنْ يَنْسُكَ عَنْهُ فَلْيَفْعَلْ ...
“Aku tidak suka (istilah) al-‘Uquq. Dan barang siapa yang dilahirkan baginya seorang bayi, lalu ia suka melakukan nusuk (menyembelih ‘aqiqah) untuknya, maka lakukanlah…” (Musnad Ahmad ibn Hanbal no.6822).
2. Hadyu (الهَدْيُ), yaitu binatang tertentu yang disembelih dalam rangkaian ibadah hajji, atau digunakan pula dalam fidyah akibat melanggar larangan hajji, sebagaimana firman Allah Ta’âlâ:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ...
“Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Jika kalian terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan kalian mencukur kepala kalian sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kalian yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau nusuk....” (QS. Al-Baqarah:196).
3. Udh-hiyah (الأُضْحِيَّةُ), yaitu binatang tertentu yang disembelih bagi orang yang tidak sedang beribadah haji. Istilah udh-hiyyah inilah yang lebih kita kenal dengan istilah qurban atau kurban. Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ ذَبَحَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنَّمَا ذَبَحَ لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلَاةِ تَمَّ نُسُكُهُ وَأَصَابَ سُنَّةَ الْمُسْلِمِينَ
“Barang siapa yang menyembelih (Udh-hiyah) sebelum shalat (Idul Adhha), sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa menyembelih setelah shalat (‘Idul Adhha), maka telah sempurna nusuk-nya dan cocok dengan sunnah muslimin.” (Shahîh al-Bukhâriy, kitab al-Adzhâhiy, bab Sunnah al-Udh-hiyyah no.5120).
Udh-hiyah itu nama yang ditujukan kepada binatang sembelihannya. Prosesnya disebut dengan tadh-hiyyah (التَّضْحِيَّة), orangnya disebut mudhahhiy (المُضَحِّي), dan hari rayanya dikenal dengan Idul Adhha (عِيْدُ الأَضْحَى).
Istilah lain seputar penyembelihan: Dzakâh, Nahr dan Dzabh
Selain beberapa istilah di atas, adapula istilah lain yang berkaitan dengan penyembelihan, seperti: Dzakâh (ذَكَاةٌ) atau tadzkiyah (تَذْكِيَةٌ), nahr (نَحْرٌ), dan dzabh (ذَبْحٌ).
Penyembelihan secara umum dikenal dengan istilah Dzakâh. Sebagaimana pada firman Allah Ta’âlâ:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ ....
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya….” (QS. Al-Ma‘idah: 3).
Adapun dzabh, pada asalnya adalah cara penyembelihan hewan pada bagian halq (tenggorokan) atau dengan melukai bagian leher paling atas (ujung leher). Ini merupakan cara menyembelih umumnya binatang, seperti kambing, sapi, ayam, dsb. Sebagaimana pada QS. Al-Baqarah:67:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً
“Sesungguhnya Allah menyuruh kalian untuk menyembelih sapi…”
Sedangkan nahr pada asalnya itu adalah cara penyembelihan pada bagian labbah (tempat kalung pada leher), atau dengan melukai bagian pada pangkal leher. Ini adalah cara menyembelih hewan unta.
Namun, baik dzabh ataupun nahr yang pada makna asalnya berkaitan dengan cara penyembelihan itu sering pula ditarik kepada istilah yang berkaitan dengan penyembelihan hadyu atau udh-hiyyah. Maka dari itu, Hari-hari tasyrieq disebut waktu “Dzabh”, meskipun yang disembelihnya itu berupa unta. Demikian pula dengan Mina disebut “manhar” yang berarti tempat nahr, meskipun yang disembelih hadyu-nya itu berupa kambing. Nabi ﷺ bersabda:
فَكُلُّ فِجَاجِ مِنًى مَنْحَرٌ وَفِي كُلِّ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ ذَبحٌ
“Maka seluruh lembah Mina adalah manhar dan seluruh hari Tasyrieq adalah (waktu) dzabh.” (Shahîh ibn Hibbân, kitab al-Hajj, bab al-Wuqûf Bi’arafah Wal-Muzdalifah Wad-Daf’ Minhumâ, Dzikr Wuqûf al-Hâj Bi’Arafât Wal-Muzadalifah no. 3854).
Dengan demikian, perintah Allah dalam QS. Al-Kawtsar:2: وَانْحَرْ (wanhar: dan sembelihlah), maka yang disembelihnya itu bukan khusus unta saja, namun bisa juga untuk sapi dan domba.