Harapan Pemuda Menjelang Muktamar XVI PERSIS

oleh Reporter

19 September 2022 | 04:27

oleh Zamzam Aqbil Raziqin

Pada momentum Muktamar PERSIS XVI yang tinggal menghitung hari, dinamika yang berkembang saat ini dan terasa oleh seluruh jamaah PERSIS maupun otonom mengenai siapa yang akan memimpin PERSIS 5 tahun ke depan menjadi makin mengerucut pada dua nama, yaitu Dr. Jeje Zainuddin dan Prof. Atip Latipulhayat. Dua ulama muda PERSIS yang keduanya pula merupakan pentolan Pemuda PERSIS sebagai mantan ketua umum, tentu realitas ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi kader Pemuda PERSIS sekaligus membuktikan bahwa Pemuda PERSIS sebagai wadah untuk menyiapkan kader pemimpin umat telah meraih keberhasilan.

Pada agenda diskusi jamiyyah yang pada hari ini ahad 18 September 2022 yang digelar oleh Pimpinan Cabang PERSIS Panyileukan dengan mempertemukan Dr. Jeje Zainuddin dan Prof. Atip Latipulhayat, serta Dr. Ihsan Setiadi Latief telah memberikan gambaran-gambaran besar mengenai gagasan besar dua ulama muda PERSIS yang digadang-gadang menjadi Ketua Umum PERSIS mendatang. Keduanya sepakat bahwa dalam menentukan gerakan PERSIS ke depan tidak boleh menghilangkan peran para ulama terdahulu yang telah membangun dan meletakkan dasar bagi perjuangan PERSIS, sehingga dalam menatap masa depan keduanya memiliki gagasan tersendiri Dr. Jeje dengan gagasan Continuity dan Transformation dan Prof. Atip dengan gagasan Challenge dan Response.

PERSIS yang dikenal sebagai ormas yang memiliki gerakan modern pada zamannya, kini telah banyak tertinggal oleh gerakan ormas lainnya, contoh sederhana ketertinggalan PERSIS adalah dalam hal melebarkan sayap gerakan secara holistik dari atas sampai ke bawah. Hal ini merupakan otokritik yang harus diterima oleh semua pihak dan juga harus disiapkan bagaimana dalam menjawab dan merespon tantangan memodernisasi kembali gerakan jihad dan dakwah PERSIS ke depan.

Teringat pada tulisan pak Isa Anshari dalam bukunya “Manifes Perjuangan Persatuan Islam” dalam sub tema pembahasan mengenai Teladan Utama, beliau membedah sekaligus merumuskan suatu teori gerakan bahwa setiap perjuangan yang bertujuan membangun masyarakat dan daulah islamiah maka hendaknya ia mentauladani apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw. beliau menegaskan bahwa perjuangan yang dihadapi oleh Rasulullah di zaman jahiliyyah kuno tidaklah berbeda sifat dan hakikatnya dengan perjuangan yang sedang dan akan kita hadapi di zaman jahiliah modern sekarang ini. 

Dalam tulisannya, beliau memberikan gambaran dan peta bahwa perjuangan Rasulullah itu terbagi ke dalam dua gelombang yakni gelombang Makkah dan gelombang Madinah atau dalam bahasa lain beliau menyebutkan fase aqidah nafsiyyah di Makkah 13 tahun lamanya dan fase Syariyyah Ijtimaiyyah di Madinah 10 tahun lamanya. Dalam menghadapi dua gelombang tersebut peran serta tantangan terhadap Rasulullah tentu berbeda. Perbedaan itu di antaranya periode Makkah dan periode Madinah:

Periode Makkah, perjuangan pada fase ini dapat dikatakan sebagai gerakan pembebasan ruhani umat manusia, membebaskan serta memerdekakan jiwa dan ruh manusia dari segala bentuk kekufuran dan hanya memerintahkan manusia untuk mentauhidkan Allah Swt., membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan dan membina serta mengajarkan kepercayaan yang benar.

Pada fase ini Rasulullah berperan sebagai guru, mubalig, dan propagandis maka ujian bagi dakwah Rasulullah di Makkah adalah ejekan, ancaman, sampai pada terror pembunuhan tapi semua itu tidak pernah menyurutkan langkah dan semangat dakwah Rasulullah sampai pada ujian itu berubah dari yang keras menjadi lembut, dimana Rasulullah di tawarkan kedudukan, harta, dan wanita tapi ujian itupun tidak menggoyahkan sedikitpun dakwahnya. 

Pada fase ini Rasulullah mendapatkan umat pengikut yang tidak banyak jumlahnya, tidak seberapa dan tidak sebanding dengan pengalaman pahit selama 13 tahun lamanya. Namun, pada fase ini memang yang dicari oleh Rasulullah bukanlah umat yang banyak, barisan yang panjang tanpa isi.

2.  Periode Madinah, pada fase ini Rasulullah bertindak sebagai pemimpin, panglima perang, dan seorang ahli negara. Perjuangan pada fase ini adalah perjuangan dalam menegakkan hukum dan membangun masyarakat, mentransformasikan Islam yang pada awalnya merupakan nilai bagi setiap individu menjadi Islam yang hadir dan dapat dirasakan secara komunal oleh masyarakat bahkan oleh negara.

Pada fase ini, tantangan bukan lagi dalam bentuk ancaman atau teror pembunuhan, melainkan ekspansi dakwah ke berbagai penjuru dunia, baik dalam bentuk perang ataupun dalam bentuk persuasif. Sepuluh tahun lamanya Rasulullah membangun fase Syariyyah Ijtimaiyyah lebih singkat daripada fase yang pertama, karena dalam meletakkan dasar perjuangan memang membutuhkan waktu yang lebih lama.

 

Pada fase ini pula, Rasulullah mencontohkan dua sikap politik kenegaraan Islam, ke dalam negara menciptakan kemakmuran hidup masyarakatnya lahir dan batin, serta memberikan jaminan kebebasan dan kemerdekaan beragama. Sedangkan ke luar negara mengibarkan bendera perdamaian dan berdakwah kepada raja serta para kepala negara.

Teori gerakan yang dituliskan oleh Pak Isa Anshary dalam bukunya, menggambarkan bagaimana tahapan perjuangan Rasulullah dalam membangun masyarakat dan daulah islamiah sangat berhubungan dengan perjuangan dakwah PERSIS selama ini. Oleh karena tidak mungkin ada lagi person atau subjek yang dapat mengimbangi akhlak dan intelektual Rasulullah, maka persona Rasulullah sebagai subjek dulunya, maka subjek hari ini bukanlah orang perorangan, bukan pula seorang pemimpin tapi subjek perjuangan hari ini adalah jamiyyah, khususnya jamiyyah Persatuan Islam.

Pertanyaannya adalah jika perjuangan Rasulullah tersebut dijadikan cermin, PERSIS hari ini ada di fase yang mana, apakah PERSIS masih pada fase Aqidah Nafsiyyah atau mulai beranjak pada fase kedua yakni Syariyyah Ijtimaiyyah? Maka dalam menjawa pertanyaan ini kita perlu merujuk dan kembali membaca sejarah.

Secara sederhana apa yang dilalui Rasulullah pada fase Makkah, jika kita membaca sejarah PERSIS fase itu pernah pula dirasakan oleh para founding fathers kita, bagaimana dahulu para ulama PERSIS hadir untuk memperjuangkan pemurnian aqidah dengan jargonnya Arruju Ila Quran wa Sunnah (kembali pada Al-Quran dan As-Sunnah), ujian ancaman sampai pada terror sudah pula dirasakan sehingga ada pribahasa “baheula mah dakwah teh kudu wani jeung getihna” (dahulu dakwah itu harus berani sampai matinya). PERSIS pada periode A. Hasan sampai periode K.H.E Abdurrahman telah berhasil meletakkan dasar-dasar serta ideologi gerakan.

Fase pertama itu telah usai, PERSIS telah memiliki dasar perjuangan yang jelas dan tegas, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Perubahan-perubahan hari ini harus dilakukan bukan pada dasar gerakan, melainkan pada metode gerakannya. Dasar yang telah diletakan tetap menjadi acuan dalam membaca dan menjawab tantangan perjaungan ke depan. Disisi lain PERSIS juga sudah mulai menyebrang atau hijrah pada fase selanjutnya pada periode Latief Mukhtar sampai saat ini periode K.H. Aceng Zakaria.

Hari ini PERSIS PERSIS harus bisa sampai pada gerbang fase kedua, yakni pada fase Syariyyah Ijtimaiyyah, maka pada fase ini PERSIS harus mampu melanjutkan perjuangan, menjawab dan merespon tantangan serta mentransformasikan dasar-dasar gerakan dakwah PERSIS dari sebuah nilai menjadi menghadirkan nilai itu ditengah masyarakat dan negara. Jika dulu pada fase Aqidah Nafsiyyah musuh PERSIS adalah Tahayul, Bid’ah, dan Khurafat pola dakwah PERSIS dengan cara berdebat jumlah pengikut yang tidak banyak tapi nyaring suaranya, maka pada fase kedua ini PERSIS harus mampu menciptakan narasi pembaharuan, membaca peta perjuangan sehingga jelas kawan dan musuhnya.

Momentum Muktamar PERSIS XVI siapa pun nanti ketua umum yang terpilih maka diharapkan dapat memposisikan PERSIS pada fase keduanya, dapat dengan cermat membaca kekuatan di internal tubuh PERSIS sehingga mampu memetakan sayap-sayap gerakan PERSIS, sehingga ke depan dalam menghadapi tantangan di fase kedua gerakan PERSIS tidak parsial. PERSIS di fase keduanya harus mampu mengoptimalkan sayap-sayap gerakannya, dengan banyak melibatkan dan memberikan ruang aktualisasi yang terarah pada bagian otonomnya, mempertegas dan mempertajam wilayah pembagian peran antara PERSIS dengan sayap gerakannya. PERSIS juga harus mampu dan berani meng-amputasi bagian yang tidak lagi dibutuhkan jika hadirnya bagian itu menghambat laju perjuangan PERSIS ke depan. PERSIS dengan segudang sejarahnya, hari ini sudah seharusnya memulai kembali menulis sejarah yang baru.

Sekalipun penulis adalah tasykil di Pimpinan Pusat Pemuda PERSIS tulisan ini tidak mewakili sikap kelembagaan dalam menghadapi Muktamar PERSIS, namun tidak menutup kemungkinan bahwa isi dari tulisan ini mewakili apa yang dirasakan dan diharapkan oleh para kader Pemuda PERSIS, selamat bermuktamar Persatuan Islam!

Editor: Ilmi Fadillah

Reporter: Reporter Editor: admin