Hukum Menempelkan Kaki dan Bahu Ketika Salat

oleh Reporter

28 April 2022 | 15:30

Oleh: Abu Khazin, Ginanjar Nugraha
01/05/2018

 

Salat merupakan salah satu rukun Islam yang rukun dan syaratnya telah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, kita dituntut untuk sesuai dengan kaifiyat Rasulullah saw., sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat Malik bin al-Khuwairits,

صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي

"Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat." (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/129)

Dalam salat berjamaah, salah satu kaifiyat salat yang disyariatkan adalah meluruskan dan merapatkan shaf terlebih dahulu. Dari sahabat Anas bin Malik, Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi wa sallam bersabda,

أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي

"Ketika iqamah shalat telah dikumandangkan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berbalik menghadapkan mukanya kepada kami seraya bersabda, 'Luruskanlah shaf dan rapatkanlah, sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari balik punggungku.'" (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari 1/145)

أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

Dari Nabi saw., Ia bersabda, “Sempurnakanlah shaf-shaf kalian, sungguh aku melihat dari belakangku,” lalu kami saling menempelkan bahu dan kaki satu sama lain (HR Bukhari, Sahih al-Bukhari, 1/146 No. 725)

Tambahan lain

وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

“Dan seandainya engkau melakukan yang demikian pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal yang melawan” (H.R. Abu Ya’la, Musnad Abi Ya’la, 4/26)

Dari Sahabat Nu’man bin Basyir

أَقْبَلَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ ، فَقَالَ : أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ ثَلاَثًا ، وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ قَالَ : فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ بِكَعْبِهِ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa menghadap kepada jamaah, lalu bersabda, "Luruskanlah shaf shaf kalian! -beliau mengucapkannya tiga kali- Demi Allah, hendaklah kalian benar-benar meluruskan shaf-shaf kalian, atau Allah benar-benar akan membuat hati kalian saling berselisih." Kata Nu'man, "Maka saya melihat seseorang melekatkan (merapatkan) pundaknya dengan pundak temannya (orang di sampingnya), demikian pula antara lutut dan mata kakinya dengan lutut dan mata kaki temannya." (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/178)

Dari Sahabat Abdullah bin Umar,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ - لَمْ يَقُلْ عِيسَى بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ - وَلاَ تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ. قَالَ أَبُو دَاوُدَ : أَبُو شَجَرَةَ كَثِيرُ بْنُ مُرَّةَ ، قَالَ أَبُو دَاوُدَوَ : مَعْنَى وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ : إِذَا جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُلِينَ لَهُ كُلُّ رَجُلٍ مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ.

Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Tegakkanlah shaf-shaf, sejajarkanlah antara pundak-pundak, tutuplah celah-celah dan lemah lembutlah terhadap kedua tangan saudara kalian, -Isa tidak menyebutkan; tangan saudara kalian- dan janganlah kalian membiarkan celah-celah itu untuk setan. Barang siapa yang menyambung shaf, Allah akan menyambungnya; dan barang siapa yang memutusnya, Allah Allah akan memutusnya." Abu Dawud berkata, "Abu Syajarah adalah Katsir bin Murrah." Abu Dawud berkata, " Makna dari kalimat lemah lembutlah kalian terhadap tangan saudara kalian adalah, apabila ada seseorang yang baru datang dan masuk ke dalam shaf, maka yang lain hendaknya melemaskan pundaknya hingga dia dapat masuk ke dalam shaf." (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/178)

عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالأَعْنَاقِ ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

Dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda, "Rapatkan shaf shaf kalian, dekatkanlah jarak antara keduanya, dan sejajarkanlah antara leher-leher. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya saya melihat setan masuk ke dalam celah celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil." (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/179)

Sahabat Barra’ bin Azib,

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا وَيَقُولُ : لاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ يَقُولُ : إِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الأُوَلِ.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa memasuki celah celah shaf, dari ujung ke ujung lainnya seraya mengusap dada dan pundak kami, lalu bersabda, "Janganlah kalian berselisih, sehingga akan membuat hati kalian berselisih juga." Beliau juga bersabda, "Sesungguhnya Allah dan para malaikatNya bershalawat kepada shaf shaf pertama." (HR Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, 1/178)

عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَرَاصُّوا فِي الصَّفِّ لاَ يَتَخَلَّلُكُمْ أَوْلاَدُ الْحَذَفِ قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللهِ مَا أَوْلاَدُ الْحَذَفِ ؟ قَالَ : ضَأْنٌ جُرْدٌ سُودٌ تَكُونُ بِأَرْضِ الْيَمَنِ

Rapatkanlah dalam shaf supaya anak-anak al-hadzaf tidak mengisi celah di antara kalian. Aku bertanya, “apa maksud anak-anak al-hadzaf itu?” Beliau menjawab, “Kambing kecil hitam biasanya dari negeri Yaman” (HR Al-Hakim, Al-Mustadrak, 1/217)

Secara umum para ulama sepakat mengenai kesahihan dalil-dalil yang digunakan. Namun, persoalan ada pada aspek wajh addilalah dan metode istinbat dari hadis-hadis tersebut, sehingga mengakibatkan perbedaan kesimpulan. Sebagian ulama ada yang berpandangan bahwa kaifiyat merapatkan shaf adalah dengan saling menempelkan kaki dan bahu. Argumentasinya adalah sebagai berikut :

1. Penerapan kaidah

الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَةُ

Asal dalam kalimat adalah hakiki.

Makna Ilzaq sinonim dengan ilshaq artinya menempelkan. Imam Al-Kirmani mendukung pemaknaan secara hakiki,

( بَابُ إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ) اَلْإلْزَاقُ هُوَ اَلْإلصَاقُ

(Bab ilzaq bahu dengan bahu) Makna al-ilzaq itu sinonim dengan al-ilshaq (artinya menempelkan). (Al-Kawakib al-Darary fi Syarh Sahih al-Bukhari, 5/97)

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

"Seseorang di antara kami menempelkan bahu dan kaki kepada saudaranya."

Maksud kalimat di atas adalah menempelkan bahu dan kaki satu sama lain secara hakiki, tidak ada qorinah yang mengharuskannya berpaling kepada arti majaz. Hadis di atas merupakan bayan al-fi’li atau kaifiyat terkait bagaimana merapatkan dan meluruskan shaf para sahabat yang merupakan generasi terbaik. Oleh karena itu, qoul dan tindakan mereka dapat dijadikan hujjah. Di samping itu, Rasulullah saw. tidak melarang atau mentaqrir perbuatan sahabat tersebut. Sesuai dengan kaidah,

تَأْخِيْرُ اْلبَيَانِ عَنْ وَقْتِ اْلحَاجَةِ لاَ يَجُوْزُ

“Tidak boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan.”

2. Perintah merapatkan shaf itu maksudnya dengan menempelkan satu sama lain

قَوْلُهُ : " تَرَاصُّوْا " ، أَيْ : تَلَاصَقُوْا حَتَّى لَا يَكُوْنَ بَيْنَكُمْ فَرَجٌ

“Maksud kalimat “taraashuu” yaitu saling tempel (kaki)-lah kalian hingga tidak ada celah kosong.” (Syarh as-Sunnah, 3/365)                                                                                                                                   
3. Perintah untuk mengisi celah yang kosong, maka mafhum mukhalafah-nya melarang adanya celah. Sedangkan, jika tidak dirapatkan atau ditempelkan, kemungkinan besar akan terbuka celah masuknya setan, wajh al Istidlal-nya kalimat

وَسُدُّوا الْخَلَلَ

“Dan tutuplah celah-celah (dalam shaf).”

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

“Demi Zat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya saya melihat setan masuk ke dalam celah-celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil.”

4. Dalam riwayat Abu Ya’la dari sahabat Anas bin Malik

وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

“Dan seandainya engkau melakukan yang demikian pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal (keledai) yang melawan.” Menunjukan bahwa sunah menempelkan satu sama lain dalam shaf itu akan ditinggalkan. Sehingga, wajib bagi kita untuk menghidupkannya kembali.

5. Syariat diturunkan tidak untuk memberatkan, tetapi diberi kemudahan untuk melaksanakannya. Karena itu, jalankan syariat tersebut semampunya.

6. Adapun jika dapat mengganggu, maka illat tersebut relatif bagi tiap orang, karena itu tidak dapat diterima.

Di antara para ulama yang berpandangan seperti ini adalah Al-Kirmani (al-Kawakib ad-Darari fi Syarh Sahih al-Bukhari, 5/97), Ahmad bin Ismail al-Kawarani (al-Kaustar al-Jari ila Riyadh ahadits al-Bukhari), al-Albani (as-Sahihah, 6/77), Syamsul-Haqq Al-‘Aadhiim Aabaadiy (Aun al-Ma’bud, 2/256)

Kedua, pendapat kedua, makna yang lebih tepat dan lebih kuat maksud hadis ilzaq itu bukanlah makna hakiki, yaitu menempelkan kaki dan bahu satu sama lain, melainkan makna majazi, ungkapan mubalaghah (hiperbolik) lurus dan rapatnya shaf serta menutup celah (tidak mesti menempel). Pendapat ini merupakan mayoritas ulama (Faid al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari, 2/486). Qorinah dan alasannya adalah sebagai berikut:

1. Arti hakiki ilzaq adalah menempelkan. Namun, arti yang lebih tepat adalah secara majazi yaitu mubalaghah lurus dan rapat shaf serta mengisi celah kosong.

(قَوْلُهُ بَابُ إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ) الْمُرَادُ بِذَلِكَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَعْدِيلِ الصَّفِّ وَسَدِّ خَلَلِهِ

“Bab menyentuhkan pundak dengan pundak; kaki dengan kaki dalam shaf.” Maksud dari fikih bab tersebut adalah ungkapan hiberbolis (mubalaghah) tentang lurusnya shaf dan menutup celah (Lafadz dari Fathul Bari 2/211, lihat juga Irsyad al-Sari, 2/67, Umdah al-Qari, 5/259  )

Begitu pula dengan kalimat تَرَاصُّوْا atau  رُصُّوا صُفُوفَكُمْ dalam hadis-hadis maksudnya merapatkan shaf, tanpa harus ditempelkan, sebagaimana dalam kasus makna al-ilzaq.

2. Rasulullah saw. memerintahkan untuk “melunakan pundak,” maksudnya memberi celah bagi makmum yang ingin masuk dalam shaf. Dari perintah di atas dapat difahami bahwa shaf para sahabat itu tidak saling menempelkan kaki, bahu, dan lututnya. Sekiranya ditempelkan tentunya tidak ada kesempatan atau kecil kemungkinan dapat memberi celah bagi makmum yang lain untuk memasuki shaf. Wajh al Istidlal-nya kalimat

وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ

”Dan lunakanlah (menggeser untuk celah kosong) terhadap kedua tangan saudara kalian (masuk dalam shaf).”

3. Kita diperintahkan untuk menutup celah shaf supaya tidak masuk setan di dalamnya. Pertama, diumpamakan dengan anak kambing yang lalu lalang dalam celah shaf. Kedua, Rasulullah saw sendiri yang mengecek rapatnya shaf, yaitu dengan lalu lalang dari satu ujung ke ujung yang lain di antara shaf. Dengan demikian, ukuran rapatnya shaf itu selama tidak masuk orang atau anak kambing, dan hal tersebut tidak mesti dirapatkan. Wajhul istidlal-nya kalimat pertama, kalimat  وَسُدُّوا الْخَلَلَ yang artinya “dan tutuplah celah-celah (dalam shaf)”. Di samping itu kalimat-kalimat dibawah ini:

فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya saya melihat setan masuk ke dalam celah-celah shaf itu, tak ubahnya bagai anak kambing kecil”

كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam biasa memasuki celah celah shaf, dari ujung ke ujung lainnya.

4. Jika diartikan hakiki, praktiknya dapat mengganggu kekhusyuan antar makmum dan sulit menjalankan kaifiat secara tu’maninah dalam salat berjamaah. Padahal, kita diperintahkan untuk menjalankan kaifiat secara khusyuk dan tu’maninah. Sebaliknya menjauhi hal yang dapat mengganggu kekhusyuan dan ketu’maninahan dalam salat.

ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلَاتِكَ كُلِّهَا

"Kemudian rukuklah sampai benar-benar rukuk dengan thuma'ninah (tenang), lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, lalu sujudlah sampai hingga benar-benar thuma'ninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk hingga benar-benar duduk dengan thuma'ninah. Maka lakukanlah dengan cara seperti itu dalam seluruh shalat (rakaat)-mu."(HR Bukhari, Shahih al-Bukhari, 1/158)

5. Jika ada perintah ilzaq, maka semestinya ada dalil pula untuk memisahkannya. Karena itu jika konsisten, maka harus dalam setiap keadaan dalam salat, termasuk dalam rukuk, i’tidal, sujud, duduk di antara dua sujud, dan duduk tasyahud. Hal tersebut akan menyulitkan pada praktiknya. Sementara itu, kami belum menemukan dalil melepaskan tempelan kaki, bahu dan lutut dalam salat secara khusus dalam salat.

6. Jika difahami secara zahir, maka akan menyulitkan makmum, karena tiap orang dalam shaf akan berusaha untuk menempelkan tumit dan bahu antar orang dalam shaf, sedangkan manusia berbeda-beda tinggi dan besarnya. Apalagi saling menempelkan lutut, mendekati mustahil. Sedangkan syariat diturunkan tentunya dapat dikerjakan oleh kemampuan manusia.

7. Jika seandainya diartikan secara hakiki, perbuatan sahabat dengan menempelkan tumit dengan tumit maksudnya hanya pada awal sebelum salat saja untuk meluruskan shaff, salah satunya dengan mempertemukan atau meluruskan tumit, tidak ada riwayat meneruskannya ketika salat, karena tujuannya hanya sekedar metode meluruskan saja. Namun jika telah lurus, tidak ada kebutuhan lagi untuk melakukannya secara konsisten dalam salat. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Imam Ibn Rajab

حَدِيْثُ أَنَسٍ هَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوْفِ مُحَاذَاةِ الْمَنَاكِبِ وَالْأَقْدَامِ

“Hadis anas menunjukan kepada perintah meluruskan shaf-shaf yaitu dengan meluruskan bahu dan telapak kaki.” (Fath al-Bari, 5/144)

8. Perhatikan kalimat berikut, matan dari sahabat Anas bin Malik

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ

"Seseorang di antara kami menempelkan bahu dan kaki kepada saudaranya," menunjukan hanya satu orang sahabat saja yang menempelkan. Sedangkan sahabat yang lain mayoritas tidak terlihat menempelkan. Sekiranya saling menempelkan bahu dan kaki itu mayoritas para sahabat ketika itu, tentunya kalimatnya bukan dengan menggunakan أَحَدُنَا. Perbuatan mayoritas sahabat tersebut sudah sesuai dengan dalil-dalil yang lain, yaitu merapatkan dan meluruskan shaf tanpa menempelkan bahu dan kaki antar makmum.

Begitu pula matan dari sahabat Nu’man bin Basyir,

فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ

"Maka saya melihat seorang laki-laki menempelkan pundaknya dengan pundak temannya."

Baik dalam matan sahabat Anas bin Malik maupun Nu’man bin Basyir, keterangan yang menempelkan kaki hanya seorang sahabat saja, dan ada kemungkinan apa yang diriwayatkan oleh keduanya merujuk kepada seorang sahabat yang sama. Mafhumnya tentu banyak sahabat waktu itu yang berjamaah, tetapi yang terlihat hanya satu orang sahabat saja. Karena itu dapat difahami, secara mafhum mukhalafah, bahwa mayoritas sahabat yang lain tidak menempelkan satu sama lain. Semata perbuatan sahabat bukan dalil dalam beragama, apalagi dalam kasus ini hanya seorang sahabat yang tidak dikenal, sedangkan mayoritas sahabat lain tidak melakukannya.

9. Berdasarkan sejumlah dalil, qorinah dan penjelasan di atas, maka pantaslah (jika berusaha menempelkan, bahu, kaki, dan lutut) Anas bin Malik berkata,

وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ

“Dan seandainya engkau melakukan yang demikian pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal yang melawan”

Karena dapat mengganggu kekhusyuan dan ketu’maninahan salat antar makmum.

Dari dua pendapat di atas, argumentasi yang lebih kuat adalah pendapat kedua. Walllahu a’lam

Kesimpulan:
Pertama, al-Ilzaq adalah mubalaghah (hiperbolik) dalam meluruskan dan merapat shaf serta mengisi celah kosong.
Kedua, disyariatkan meluruskan dan merapatkan shaf dengan menutup celah kosong, seukuran tidak masuk anak kambing atau manusia, tanpa mesti ditempelkan.
Ketiga, menempelkan kaki (tumit), lutut, dan pundak dalam shaf ketika salat hukumnya makruh.

 

Editor: Dhanyawan
Image: Pixabay.com

Reporter: Reporter Editor: admin