K.H. A. Zakaria dan Sebuah Kesaksian

oleh Reporter

24 November 2022 | 08:16

Oleh: Hilman Indrawan

(Penulis Muda, Founder Madrasah Pena)

Senin malam (21/11/2022) kabar wafatnya K.H. Aceng Zakaria memenuhi laman media sosial. Siapa pun keluarga jamiyyah yang mendengar kabar tersebut tentu akan merasa kaget, sedih, hingga larut dalam kondisi kontemplatif. Sebab, kepergian ulama selalu menjadi sebuah tanda. Tanda yang menjadi isyarat, pengingat, dan sebaik-baik nasihat.

Tiba di Selasa pagi (22/11/2022), tepat pada momen pemakaman K.H. Aceng Zakaria, kita semua menjadi saksi akan tanda itu. Ya, semua memiliki cerita dan perenungannya sendiri. Termasuk saya dengan segala subjektivitasnya. Di antara hening prosesi pemakaman, tetiba kenangan pertemuan bersama beliau Allahuyarham kembali hadir. “Hayoh weh dipoto!” suara khas itu kembali terngiang di telinga. Begitu jelas dan khas. Menandakan hanya beliau yang memiliki suara seperti itu.

Momen itu pernah saya tulis di media sosial, sebatas untuk mengikat ingatan pertemuan. Saat itu saya beri judul, A. Hassan, A. Zakaria, dan Sebuah Kesaksian. Berikut narasinya.

“Saya ulangi dua hal yang sangat menonjol dalam pribadi Tuan Hassan, korek dalam mempergunakan waktu dan penerima tamu yang baik,” ungkap D.P. Sati Alimin dalam buku Riwayat Hidup A. Hassan karangan Tamar Djaja. Tanpa memilah dan memilih, Hassan dengan ramah menyambut semua tamunya.

“Orang yang berbicara dengan dia, dihadapinya dengan serius dan sungguh-sungguh,” tutur Natsir sampaikan pengalamannya bertemu Hassan.

Bahkan, Hassan meninggalkan kesibukannya untuk menyambut anak muda Minangkabau yang mengunjunginya itu. Semua kisah yang kubaca itu kembali hadir saat Al-Ustaz Aceng Zakaria berbicara lembut pada kami. Ya, kamis siang (8/9/2022), aku dan beberapa rekan duduk deku di hadapan ulama kharismatik Persatuan Islam itu. Mendengar penuturan beliau tentang pengalaman menyusun Al-Muyassar, Tafsir Al-Fatihah, Al-Hidayah, hingga 15 karya terakhir yang beliau tulis selama pandemi.

Usai berbincang, masih di gazebo yang sama, kami dipersilakan menikmati suguhan yang ada.  Di Gazebo yang tenang. Gazebo yang berdiri di atas kolam ikan dan pemandangan sawah di sekelilingnya. Di bawah langit Rancabango, di antara bukit-bukit hijau kaki Gunung Guntur. Gazebo yang tengah dipayungi mendung dan diiringi sesekali gerimis membuat suasana semakin romantis.

Di tempat itu, kami disuguhkan liwet khas dengan asin peda yang telah berkolaborasi di dalamnya. Di sekeliling liwet, ikan goreng, ayam kampung, oseng kangkung, sambel merah, dan lalapan hijau menegaskan identitas menu khas pedesaan.

“Kumaha aktivitas ngajaga kaelmuan?” (Bagaimana aktivitas menjaga keilmuan?) tanya ustaz dari atas kursi.

Meski diam, tapi alam pikirku seketika terperanjat dari tempatnya. Kaget, kukira tiga pertanyaan pertama masih warming up. Ternyata, langsung menohok tajam! Di hadapan beliau, kami duduk melipat kedua bagian kaki ke arah dalam, layaknya duduk iftirasy. Tubuh tegak, pandangan fokus menatap, telinga bersiap menangkap apa saja yang diucap. Sementara, detak jantung sibuk mengatur ritme. Berusaha tenang dan siap barangkali tetiba beliau bertanya tentang isi kitab Al-Hidayah atau puluhan buku lainnya terbitan Ibn Azka. Ah, tentu saja tidak. Ustaz tidak sedang menjadi penguji sidang KTI kala itu.

Kembali pada pertanyaan beliau, aku rasa begitulah basa-basi seorang guru saat bertemu murid-muridnya. Pertanyaan yang senada dengan “Apa kabar?” Hanya saja, kabar yang ditanyakan adalah kabar keilmuan.

Sepanjang diskusi, ustaz kisahkan pengalamannya menyusun banyak buku. Kau tahu, berapa buku yang telah beliau terbitkan? 120 judul buku!

Jika fisik tak mampu menjangkau, biarkan buku yang menjangkaunya. Demikian kurang lebih pesan beliau menyinggung kondisi fisiknya yang sudah tak sekuat dulu.

“Ah da ana mah nulis teh tungtutan, kanggo bahan ajar, atawa ditungtut sabab seeur jamaah anu naros, tah jawabanna teh ditulis we jadi buku. Da ana ge tara ari ngahaja mah nulis buku, ieu mah tungtutan we,” papar beliau dengan aksen sunda khasnya.

(Ah saya mah menulis itu sebuah tuntutan, untuk bahan ajar, atau dituntut sebab banyak jamaah yang bertanya, nah jawabannya itu ditulis jadi buku. Sebetulnya saya juga tidak pernah kalau sengaja menulis buku, ini mah tuntutan saja).

Beliau berpesan, agar kita rajin untuk menuliskan apa saja. Beliau memberi contoh dari kisah A. Hassan yang menulis riwayat kaki dipotong. Kisah jenaka yang membuat ustaz tertawa saat menceritakannya untuk kami.

Suasana makin hangat dan akrab. Aku melihat sorot matanya berbinar saat menceritakan pengalaman menulis al-Muyassar di tahun 1975, yang hingga hari ini tetap menjadi rujukan bagi banyak orang. Masih di atas kursinya, ustaz bercerita pula tentang masa pandemi yang justru membuatnya semakin produktif menulis.

Beliau mengaku telah menulis 15 judul buku selama pandemi. Sesuatu yang kembali membuat kami terperangah. Selama ini ustaz menulis buku dengan tulis tangan!

“Salami di bumi mah naon deui atuh, atos we nulis ana mah," tandasnya.

(Selama di rumah mah apa lagi atuh, udah aja menulis saya mah)

A. Hassan hingga A. Zakaria, telah memberi banyak teladan bagi kita. Baik produktivitasnya dalam menulis, maupun perangainya yang lembut dalam pergaulan. Jalan jihad keduanya telah menjadi sejarah yang hidup dalam buku-buku. Pun dengan tokoh-tokoh lainnya. Dari para pendiri hingga para pelanjut, semua telah berkiprah dalam lintas sejarah. Semoga karya-karya kebaikan guru-guru kita mengalir dalam samudera amal jariyah.

[]

Editor: Ilmi Fadillah

Reporter: Reporter Editor: admin