Oleh: Saba Al Ayubi, SH. (Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Hima PERSIS DKI Jakarta)
Menjelang perhelatan pemilihan umum (Pemilu) yang beberapa hari lagi akan digelar, tensi perbincangan politik kian hari kian menghangat di tengah masyarakat, baik yang terjadi di ruang nyata maupun di ruang maya.
Skema tiga pasangan calon (paslon) presiden dan wakil presiden yang menjadi peserta pemilu 2024, yakni Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar pada nomor urut satu, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada nomor urut dua, serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD pada nomor urut tiga, telah membuat situasi politik sangat dinamis di tataran elit yang kemudian beresonansi ke tataran masyarakat secara umum.
Isu pemilu seolah telah menjadi satu hidangan tambahan dari meja makan para elit politik sampai ke meja makan keluarga, menjadi suguhan ringan dari posko tim pemenangan sampai ke pos ronda di penjuru kelurahan, dan juga menjadi isu yang membanjiri headline media massa sampai ke beranda media sosial.
Signifikansi kenaikan animo masyarakat terhadap perbincangan politik menjelang Pemilu adalah konsekuensi logis dari sebuah proses demokrasi.
Pasalnya, Pemilu selalu menjadi momentum dan medium harapan baru masyarakat untuk mengevaluasi serta memperbaiki nasib bangsa dan negara ke depan dalam menghadapi tantangan zaman yang semakin kompleks.
Sehingga, cermat dalam memilih sosok pemimpin yang tepat, yang dipercaya dapat mewakili aspirasi besar masyarakat telah menjadi satu langkah yang dianggap penting.
Kita dapat menyaksikan bagaimana animo kuat dari harapan tersebut tidak hanya berhenti pada obrolan diskusi semata, namun juga mewujud menjadi seruan-ajakan keberpihakan dan gerakan-gerakan kerelawanan untuk turut serta mengkampanyekan visi-misi dan memenangkan paslon pilihannya.
Akan tetapi dari proses dinamika pra-Pemilu yang telah berjalan sedemikian rupa sampai pada hari ini, ada fenomena yang cukup penting untuk disoroti.
Kita masih sering mendapati sikap tidak bijak dan perilaku negatif yang terjadi di kalangan masyarakat. Seperti masih maraknya ujaran kebencian, penyebaran berita bohong dan hoaks, penggiringan opini buruk, saling hujat-menghujat dan jatuh-menjatuhkan, bahkan sampai kepada sikap mempertanyakan keagamaan seseorang yang berada pada pilihan paslon yang berbeda.
Fenomena negatif semacam ini perlu diinsafi bersama sebagai sikap dan perilaku yang berdampak destruktif bagi keberlangsungan ukhuwah bermasyarakat dan bernegara, tak jarang pula menimbulkan keretakan hubungan pertemanan dan keluarga.
Jika coba kita urai fenomena tersebut menggunakan pendekatan logika penalaran, pada dasarnya sikap dan perilaku setiap manusia itu erat kaitannya dengan informasi yang ia dapat dan bagaimana informasi tersebut diserap dan dikembangkan menjadi sebuah pengetahuan melalui proses penalaran.
Melalui proses penalaran inilah manusia mengambil kesimpulan berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk, serta indah dan jelek, yang kemudian menjadi latar belakang bagi setiap tindakannya (Suriasumantri, 1996).
Pendekatan tersebut membawa kita pada sebuah pemahaman bahwa kualitas dari setiap sikap dan perilaku berkaitan erat dengan dari mana sumber informasi itu didapat, kualitas muatan informasi, serta kualitas penalaran kita dalam memproses informasi tersebut.
Pengetahuan yang didapat dari sumber informasi yang tidak kredibel, muatan informasi yang tidak berbasis rasio, fakta, dan data yang dapat diuji secara objektif, serta proses mencerna informasi yang tidak sesuai dengan kaidah penalaran, akan membawa manusia pada sebuah sikap dan perilaku yang salah, buruk, dan tidak bijaksana.
Di samping itu, perkembangan transformasi digital yang telah merevolusi cara masyarakat mengakses informasi dan berkomunikasi juga menjadi faktor yang melatarbelakangi.
Tanpa mengabaikan sisi maslahatnya yang begitu besar, transformasi digital juga membawa sisi mudaratnya tersendiri, mengingat masih terjadinya gap kecakapan digital di kalangan masyarakat.
Hadirnya platform-platform digital seperti media sosial, telah memberikan ruang yang sangat bebas bagi setiap orang untuk menjadi konsumen sekaligus produsen informasi dan berita.
Namun yang disayangkan, prinsip verifikasi informasi seperti pemisahan antara fakta dan opini, keseimbangan reportase, demarkasi antara berita, analisa, dan komentar, serta triangulasi fakta dalam membentuk informasi yang berkualitas, menjadi jarang diterapkan.
Akibatnya, informasi-informasi berkualitas yang menjadi bahan baku opini publik menjadi langka adanya (Ambardi, 2023).
Kondisi semacam ini juga semakin memprihatinkan, arus informasi yang begitu deras mengalir di jagat digital telah sedemikian rupa berkembang dan membentuk sebuah fenomena yang kita kenal dengan post-truth.
Kamus Oxford mendefinisikan istilah post-truth sebagai sebuah kondisi di mana fakta tidak begitu memiliki pengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal.
Terlebih dalam konteks politik, sebagaimana yang terjadi pada kasus pemilu presiden Amerika 2016, informasi-informasi palsu dan hoaks yang beredar terbukti memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dari pada fakta yang sebenarnya (Syuhada, 2017).
Post-truth juga menghadirkan jenis fakta atas suatu peristiwa yang kebenarannya dapat dimanipulasi sesuai dengan kemauan dan kepentingan produsen informasi.
Proses kerjanya sangat terfasilitasi oleh kecanggihan teknologi informasi digital. Dikombinasi dengan hal tersebut, laju informasi yang tak terbendung setiap waktu membawa publik hidup dalam logika waktu pendek.
Segala informasi yang datang dan pergi begitu cepat, tidak melalui proses seleksi dan validasi yang baik. Dan pada akhirnya berimbas kepada hilangnya mentalitas untuk berpikir panjang dan kritis terhadap nilai kebenaran dan objektivitas (Wera, 2020).
Begitupula dengan pola komunikasi yang terbentuk, transformasi digital telah membawa manusia kepada dehumanisasi.
Melucuti kualitas, nilai, dan pengalaman esensial manusia, pengikisan terhadap interaksi yang otentik, serta menggerus rasa empati dan hubungan emosional (Murtiningsih, 2023).
Proses komunikasi yang berkembang, terlebih yang terjadi pada media sosial, juga justru mengarah pada kategori antikomunikasi.
Penyampaian pesan, diskusi, dan silang pendapat yang terjadi telah banyak mengabaikan hal-hal fundamental dalam komunikasi, seperti menghormati orang lain, empati kepada lawan bicara, menakar kepantasan dan kelayakan apa yang akan diucapkan, serta memikirkan dan mengantisipasi dampak dari pernyataan yang akan dilontarkan.
Hal tersebut terjadi sebagai akibat dari ambiguitas posisi media sosial yang hadir tanpa meregulasi dengan baik antara ruang publik dan ruang privat.
Sehingga membuat para penggunanya lalai untuk menerapkan standar etika komunikasi yang sesuai (Sudibyo, 2019).
Dalam menghadapi kondisi tersebut, tepat kiranya kita selaku umat Islam untuk kembali menghayati apa yang disebut dalam ajaran Islam sebagai hifzhul ‘aql (pemeliharaan akal).
Dalam pengkajian maqashid syari’ah, Syatibi menjelaskan bahwa sesungguhnya Allah s.w.t menetapkan syariat Islam adalah untuk kemaslahatan hamba, baik di dunia maupun di akhirat.
Kemaslahatan tersebut terbagi ke dalam lima prinsip dasar (al-mabadi’ al-khamsah), salah satunya ialah hifzhul ‘aql, yakni pemeliharaan terhadap akal (Syatibi, W. 790 H).
Pemeliharaan akal menjadi salah satu prinsip dasar kemaslahatan bersumber dari nash-nash yang mengandung perintah untuk menjaga akal dari kerusakkan fungsinya, salah satunya terdapat dalam Q.S. al-Maidah Ayat 90-91 mengenai pengharaman khamr.
Secara etimologi, ‘aql (akal) memiliki makna al-fahm (pemahaman); an-nuhaa (kebijaksanaan); al-hijr (menahan, mengikat, dan menghalangi); dan al-man’u (mecegah) (Ibnu Manzhur, 1994).
Abadiy menjelaskan bahwa akal adalah pengetahuan komprehensif mengenai berbagai persoalan serta kekuatan yang dapat membedakan antara baik dan buruk (Abadiy, 2005).
Adapun Syahrani menjelaskan akal secara fungsional sebagai alat untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman, sebagai benteng yang dapat menahan seseorang dari perbuatan membahayakan, serta sebagai pencegah dan penahan bagi seseorang dari perbuatan tercela yang menjatuhkan martabat (Syahrani, 2008).
Akal dalam syariat Islam memiliki kedudukan yang sangat sentral. Perintah untuk menjaga akal dari kerusakkan berkaitan erat dengan fungsinya yang sangat penting.
Kita banyak jumpai ayat-ayat dalam al-Qur’an seperti penggalan kalimat la’allakum ta’qilun, la’allakum tatadabarun, la’allakum tatafakkarun, sebagai pesan dari Allah s.w.t. akan pentingnya memfungsikan akal.
Bahkan iqra’ sebagai kalimat pertama dalam ayat pertama yang turun kepada Nabi Muhammad s.a.w, adalah pesan tersirat untuk memfungsikan akal, yang dalam sejarahnya telah mampu mendorong terjadinya revolusi pemikiran di dalam masyarakat Islam, dari yang sebelumnya terbelakang menjadi umat yang berada pada garis terdepan peradaban (Nasr, 2003).
Betapa pentingnya peran dan fungsi akal bagi manusia, sampai-sampai Al-Qur’an memberikan sematan khusus bagi orang-orang yang memfungsikan akalnya dengan beberapa istilah yang merujuk kepada karakteristik tertentu.
Pertama, ulul albab. Istilah ini disematkan kepada orang-orang yang memiliki kecerdasan di dalam pikirannya, yang dengan kecerdasan tersebut mereka mampu mengungkapkan hikmah dan dimensi terpenting dari sesuatu yang nampak.
Kedua ulin nuha, adalah sematan bagi orang-orang yang memiliki kecerdasan, kehati-hatian, dan sikap mawas diri yang membuat mereka mampu memprediksi dan mengantisipasi akibat dari setiap tindakannya.
Yang ketiga, ialah ulil abshar, sematan istilah yang merujuk kepada orang-orang yang memiliki penglihatan yang tajam dan pandangan yang berbobot dalam memahami segala sesuatu.
Dan yang keempat adalah ulul ‘Ilmi, sebagai istilah yang merujuk kepada karakteristik orang-orang yang menjadikan bukti atau dalil sebagai faktor penting dalam merecap pengetahuan melalui penglihatan, pendengaran, intuisi, dan penalaran logis (Pahala, 2016).
Uraian-uraian tersebut membawa kita kepada satu pengertian bahwa hifzhul ‘aql adalah prinsip syari’at untuk memelihara akal dari berbagai hal yang dapat merusaknya.
Memelihara pikiran untuk senantiasa tajam dan mendalam dalam memahami segala sesuatu. Menjadikan kaidah-kaidah ilmiah sebagai panduan dalam merecap informasi.
Memfungsikan akal sebagai benteng untuk menahan diri dari melakukan perbuatan buruk, serta sikap kehati-hatian dan mawas diri yang mampu memprediksi dan mengantisipasi setiap akibat dari suatu perbuatan.
Pengertian inipun membawa kita pada satu pendirian penting dalam menghadapi situasi dan kondisi demokrasi hari ini.
Di tengah arus transformasi digital, ambiguitas media sosial, dan fenomena post-truth, penerapan prinsip hifzhul ‘aql dapat memandu kita selaku umat Islam untuk lebih cermat dalam mengakses, memproses, dan menyebarkan informasi, berhati-hati dan mawas diri dalam menyampaikan pendapat, serta menjauhkan diri dari sikap dan perilaku yang tidak bijak.
[]
Referensi:
Abadiy, Ya’kub al-Fairuz. Al-Qamus al-Muhith. Beirut: Muassasah al-Risalah, 2005
Al-Syahrani, ‘Abd al-‘Aziz. Al-Tahsin wa al-Tasbih al-‘Aqliyan. Riyadh: Dar Kunus Isybiliya, 2008
Al-Syatibi, Abu Ishaq. Al-Muwafaqat fi Ushuli al-Syari’ah. Beirut: Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah
Ibnu Manzhur, Jamal al-Din. Lisanul ‘Arab. Beirut: Dar al-Shadir, 1994
Kuskridho Ambardhi, Siti Murtiningsih, dkk. Ilmu Sosial Politik Masa Depan; Menjawab Megashift?. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2023
Pahala, Lamlam. Ulul Albab; Falsafah Gerakan Kaum Intelektual. Bandung: Hima Persis Press, 2016
Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (ed.). Ensiklopedi Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2003
Sudibyo, Agus. Jagat Digital; Pembebasan dan Penguasaan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2019
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
Syuhada, Kharisma Dimas. Etika Media di Era Post-Truth. Jurnal Komunikasi Indonesia. Volume VI, Nomor 1, April 2017
Wera, Marz. Meretas Makna Post-Truth; Analisis Kontekstual Hoaks, Emosi Sosial, dan Populisme Agama. Societas Dei: Jurnal Agama dan Masyarakat. Volume 7, Nomor 1, April 2020