Oleh: Ust. Amin Muchtar (Sekretaris Dewan Hisbah PP PERSIS)
Salah seorang jamaah pengajian bertanya kepada kami tentang kedudukan hadis sebagai berikut:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Siapa yang mempunyai keleluasaan untuk berqurban, kemudian ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami”
Katanya hadis ini dha’if. Benarkah demikian?
Jawaban Kami
I. Sumber Riwayat dan Variasi Redaksi
Sejauh pengetahuan kami, hadis yang dimaksud diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat hadis) dengan redaksi yang sedikit berbeda sebagai berikut:
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Abdurrahman, dari Abdullah bin Ayyasy, dari Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah saw. dengan redaksi:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
“Siapa yang mempunyai keleluasaan untuk berqurban, kemudian ia tidak berqurban, maka janganlah ia mendekati tempat salat kami,” (Musnad Ahmad, II:321, No. 8256)
Hadits di atas diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi (Lihat, Syu’ab al-Iman, IX:449, No. 6952) melalui Abu Abdurrahman as-Salami, dari Muhamad bin al-Qasim bin Abdurrahman as-Suba’I, dari Muhamad bin Ahmad bin Anas, dari al-Muqri, dari Haiwah bin Syuraih, dari Abdullah bin ‘Ayyasy al-Qitbani, dari al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah Saw, dengan redaksi:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يَذْبَحْ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dan al-Hakim dengan redaksi:
مَنْ وَجَدَ سَعَةً لأَنْ يُضَحِّىَ فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَحْضُرْ مُصَلاَّنَا
Al-Baihaqi meriwayatkannya melalui Abu Abdullah al-Hafizh (al-Hakim), dari al-Hasan bin Ya’qub, dari Yahya bin Abu Thalib, dari Zaid bin al-Hubab, dari Abdullah bin Ayyasy al-Mishri, dari Abdurrahman al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah saw. (As-Sunan Al-Kubra, IX:260, No. 18.791)
Sementara Al-Hakim meriwayatkannya melalui al-Hasan bin Ya’qub, dari Yahya bin Abu Thalib, dari Zaid bin al-Hubab, dari Abdullah bin Ayyasy al-Qitbani, dari al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah saw. (Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain, II:422, No. 3468)
Selain itu al-Hakim juga meriwayatkan dengan redaksi:
مَنْ كَانَ لَهُ مَالٌ فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصَلاَّنَا وَقَالَ مَرَّةً مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يَذْبَحْ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Redaksi ini diriwayatkan melalui al-hasan bin al-Hasan bin Ya’qub, dari Abu Hatim ar-Razi, dari Abdullah bin Yazid al-Muqri, dari Abdullah bin Ayyasy, dari al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Nabi saw. (Al-Mustadrak ‘Ala Ash-Shahihain, IV:258, No. 7565)
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, II:1044, No. 3123) melalui Abu Bakar bin Abu Syaibah, dari Zaid bin al-Hubab, dari Abdullah bin Ayyasy, dari Abdurrahman al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah Saw, dengan redaksi:
مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ, فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh ad-Daraquthni (Sunan Ad-Daraquthni, IV:285, No. 53) melalui Ahmad bin Ishaq bin Muhamad bin al-Fadhl az-Zayat, dari Muhamad bin Haban, dari Amr bin al-Hushain, dari Ibnu ‘Alatsah, dari Ubaidullah bin Abi Ja’far, dari al-A’raj, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah Saw, dengan redaksi:
مَنْ وَجَدَ منكم سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
Selain itu al-Baihaqi (As-Sunan Al-Kubra, IX:260, No. 18.792) dan al-Hakim (Al-Mustadrak, IV:258, No. 7566) meriwayatkan pula hadis itu secara mawquf (ucapan Abu Huraerah). Riwayat al-Baihaqi dengan redaksi
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ فَلَا يَقْرَبَنَّا فِي مَسْجِدِنَا
Sedangkan riwayat al-Hakim dengan redaksi
مَنْ وَجَدَ سَعَةً فَلَمْ يُضَحِّ معنا فَلَا يَقْرَبَنَّ مُصَلَّانَا
II. Analisa Takhrij Hadis
1. Dilihat dari aspek nisbah al-qaa`il (penyandaran siapa yang mengucapkan) hadis di atas dapat dibagi menjadi dua kategori: pertama, marfu’ (sabda Nabi). Kedua, mawquf (ucapan sahabat).
2. Dilihat dari aspek thabaqat (lapisan generasi) rawi, hadis di atas dengan berbagai variasi redaksinya bersumber dari rawi yang sama, yaitu Abu Huraerah (sahabat, w. 57 H), Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj (Ausath Tabi’in/tabiin pertengahan, w. 117 H), dan Abdullah bin ‘Ayyasy (Kibar Tabi’ Tabi’in/ Tabi’ Tabi’in senior, w. 170 H). Namun pada riwayat ad-Daraquthni bersumber dari Abu Huraerah, Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj, dan Ubaidullah bin Abi Ja’far (Shigar Tabi’in/ Tabi’in yunior, w. 132 H). Bila yang dijadikan sebagai hadis pokok adalah jalur Abdullah bin Ayyasy, maka jalur Ubaidullah bin Abi Ja’far dikategorikan sebagai mutabi’ (pengikut). Demikian pula sebaliknya.
3. Dilihat dari aspek pencatat hadis, hadis Abu Hurairah itu diriwayatkan oleh 5 mukharrij, yaitu Ahmad bin Hanbal (w. 241 H/855 M), dalam kitabnya al-Musnad. Ibn Majah (W. 273 H/887 M) dalam kitab Sunan-nya, al-Baihaqi (w. 458 H/1065 M) dalam kitab as-Sunan al-Kubra dan Syu’ab al-Iman, al-Daraquthni (W. 385 H/995 M) dalam kitab Sunan-nya, dan al-Hakim (W. 405 H/1014 M) dalam kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain
Sedangkan dilihat dari jalur periwayatan, hadis itu diriwayatkan lebih dari 37 jalur periwayatan. Paling tidak dalam Al-Kutub al-Sittah saja 34 jalur, dengan perincian sebagai berikut: dalam Shahih al-Bukhari 5 jalur, Shahih Muslim 7 jalur, Sunan al-Tirmizi 3 jalur, Sunan an-Nasai 6 jalur, Sunan Abu Dawud 1 jalur, Sunan Ibnu Majah 1 jalur, Musnad Ahmad 13 jalur.
III. Penilaian Para ulama Terhadap Status Hadis
Para ulama berbeda pendapat dalam menilai status hadis tersebut antara yang menolak dan yang menerima kesahihannya.
3.1. Ulama yang Menerima
Kata Imam al-Hakim:
هذا حديث صحيح الإسناد و لم يخرجاه
“Ini hadis sahih isnad, dan keduanya (al-Bukhari-Muslim) tidak meriwayatkannya” (Al-Mustadrak, IV:258)
Kata Imam ad-Dzahabi pada kitab at-Talkhish, “(Hadis ini) sahih” (Ta’liq Ad-Dzahabi dalam al-Mustadrak, IV:258)
Ibnu Hajar berkata:
حَدِيث من وجد سَعَة فَلم يضح فَلَا يقربن مصلانا ابْن ماجة وَأحمد وَابْن أبي شيبَة وَإِسْحَاق وَأَبُو يعْلى وَالدَّارَقُطْنِيّ وَالْحَاكِم من حَدِيث أبي هُرَيْرَة وَقد اخْتلف فِي وَقفه وَرَفعه وَالَّذِي رَفعه ثِقَة
“Hadis man wajada…diriwayatkan oleh Ibn Majah, Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Ishaq, Abu Ya’la, ad-Daraquthni, dan al-Hakim dari Abu Huraerah. Dan hadis itu diperselisihkan tentang mauquf (sebagai ucapan Abu Huraerah) dan marfu’nya (sebagai sabda Nabi). Dan yang memarfu’kannya (rawi) tsiqat” (Ad-Dirayah fii Takhrij Ahadits Al-Hidayah, II:213)
Dalam kitabnya yang lain, beliau berkata:
رجاله ثقات لكن اختلف في رفعه ووقفه والموقوف أشبه بالصواب قاله الطحاوي وغيره
“Para rawi hadis itu tsiqat, namun diperselihkan tentang marfu (sebagai sabda Nabi) dan mauqufnya (sebagai ucapan Abu Huraerah). Penetapan mauquf lebih mendekati kebenaran sebagaimana dikatakan at-Thahawi dan yang lainnya” (Fath al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, X:3)
Penilaian Ibnu Hajar dijadikan acuan oleh para ulama setelahnya, antara lain Abdur Rauf al-Munawi (Faidh al-Qadir, III:235), Muhamad bin Abd al-Baqi bin Yusuf az-Zarqani (Syarh az-Zarqani ‘ala Muwatha al-Imam Malik, III:104), Muhamad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakafuri (Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jami’ at-Tirmidzi, V:79), Abu al-Hasan Ubaidullah bin Muhamad Abd as-Salam (Mir’ah al-Mafatih Syarh Miskah al-Mashabih, V:72), Abu Thayyib Muhamad Shiddieq Khan (Ar-Raudhah an-Nadyah Syarh ad-Durar al-Bahiyah, II:218-219), Muhamad bin Ali bin Muhamad as-Syaukani (As-Sa`il al-Jarrar al-Mutadaffaq ‘Ala Hadaiq al-Azhar, I:715; Nail al-Authar Min Ahadits Sayyid al-Akhyar Syarh Muntaqa al-Akhbar, V:169)
3.2. Argumentasi Ulama yang Menolak
Kata Imam As-Sindiy:
وَفِي الزَّوَائِد فِي إِسْنَاده عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَيَّاشٍ وَهُوَ وَإِنْ رَوَى لَهُ مُسْلِمٌ فَإِنَّمَا أَخْرَجَ لَهُ فِي الْمُتَابَعَات وَالشَّوَاهِد وَقَدْ ضَعَّفَهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَقَالَ أَبُو حَاتِمٍ صَدُوقٌ وَقَالَ اِبْنُ يُونُسَ مُنْكَر الْحَدِيث وَذَكَرَهُ اِبْنُ حِبَّانَ فِي الثِّقَات
“Dan dalam kitab Majma’ Az-Zawaid disebutkan bahwa pada sanadnya terdapat rawi Abdullah bin ‘Ayyasy, meskipun hadis-hadisnya diriwayatkan oleh Muslim, namun dikategorikan sebagai hadis pelengkap (mutabi’ dan syahid)—bukan hadis utama—sungguh ia telah dinilai dhaif oleh Abu Dawud dan An-Nasai. Dan Abu Hatim berkata, ‘Ia Shaduq (jujur).’ Ibnu Yunus berkata, ‘Munkar Al-Hadits (hadisnya diingkari).’ Dan Ibnu Hiban menyebutkannya dalam kitab Ats-Tsiqat (kumpulan para rawi yang kredibel).” (Hasyiah As-Sindi ‘Ala Sunan Ibn Majah, VI:161)
Syekh Syu’aib Al-Arnauth berkata:
إسناده ضعيف عبد الله بن عياش ضعيف يعتبر به وقد اضطرب فيه أيضا ... وحسنه الألباني في تخريج مشكلة الفقر فأخطأ
“Sanad hadisnya dhaif, karena Abdullah bin ‘Ayyasy dhaif yang teranggap. Dan ia mengalami kekacauan dalam hadisnya…Hadis itu dinyatakan hasan (dibawah derajat shahih, namun di atas derajat dhaif) dalam kitabnya Takhrij Musykilah Al-Faqr, maka ia keliru (dalam penilaian itu).” (Ta’liq ‘ala Musnad al-Imam Ahmad, II:321)
IV. Sikap Kami
Setelah melakukan perbandingan terhadap kedua argumentasi di atas, kami cenderung kepada pihak yang menerima kesahihan hadis tersebut dengan pertimbangan sebagai berikut:
Hadis di atas telah memenuhi kriteria kesahihan sanad, baik dilihat dari kebersambungan sanad maupun dari kualitas para rawi. Andaikata hadis itu dianggap bermasalah karena terdapat rawi Abdullah bin Ayyasy, namun periwayatan hadis tersebut memiliki syahid (jalur lain berbeda shahabat) dan mutabi’ (jalur lain dengan shahabat yang sama), yaitu Ubaidullah bin Abu Ja’far. Kata Imam Abu Hatim, An-Nasai, dan Ibnu Sa’ad, “Dia tsiqah (kredibel).” (Siyar A’lam An-Nubala`, XI:5)
Dengan adanya jalur pendukung baik pada tingkat sahabat (syahid) maupun pada tingkat tabi’in sampai pada tingkat mushanif, maka periwayatan hadis tersebut semakin baik dan kuat. Dari 37 jalur sanad hadis yang diteliti terlihat bahwa redaksi matan hadis tersebut memiliki perbedaan satu dengan lainnya, maka dapat disimpulkan bahwa hadis itu diriwayatkan secara makna.
Bandung, 5 Dzulhijjah 1444 H/24 Juni 2023 M
[]