Oleh: Cepi Hamdan Rafiq, S.Th.I.
Nikmat paling besar yang Allah karuniakan kepada para hamba-Nya adalah nikmat Islam dan hidayah pada jalan yang lurus. Yang merupakan rahmat Allah kepada hamba-Nya, yaitu mewajibkan hamba-Nya yang mukmin agar memohon hidayah ketika melaksanakan salat, yaitu memohon agar mendapat hidayah pada jalan yang lurus dan teguh mengikutinya. Allah menamakan jalan yang lurus ini sebagai jalan orang-orang yang diberi nikmat yaitu kalangan para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang yang shalih, bukan jalan mereka yang menyimpang dari jalan yang lurus, yaitu kaum Yahudi, kaum Nasrani, dan segenap kaum kafir dan kaum musyrik.
v Keinginan Musuh-Musuh Islam
Golongan yang cerdas dan tajam Analisa berpikirnya tentang peran agama Allah dalam kancah kehidupan dewasa ini melihat bahwa sebagian besar manusia mengalami kekaburan dalam melihat kebenaran dan kebatilan sebagaimana sikap orang-orang jahiliah dahulu. Hal ini karena usaha gigih musuh-musuh Islam dalam menghancurkan kebenaran dan memadamkan cahayanya serta usahanya menjauhkan kaum muslim dari Islam, memutus hubungan mereka dengan Islam dengan berbagai cara yang dapat dilakukan, terutama menampilkan kesan yang buruk tentang Islam, menyampaikan tuduhan-tuduhan dusta terhadap Islam. Hal ini untuk menyesatkan semua manusia dari jalan Allah, yaitu dari mengimani kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya:
“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran…” (QS Al-Baqarah [2]: 109).
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (QS Al-Baqarah [2]: 120).
“Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak menyadarinya” (QS Ali Imran [3]: 69).
“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi” (QS Ali Imran [3]: 149).
“Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, padahal kamu menyaksikan?" Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan” (QS Ali Imran [3]: 99).
v Sejarah Perayaan Tahun Baru
Tahun Baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM (sebelum masehi). Tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai kaisar Roma. Ia memutuskan untuk mengganti penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Dalam mendesain kalender baru ini, Julius Caesar dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, yang menyarankan agar penanggalan baru itu dibuat dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoretis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini.
Tidak lama sebelum Caesar terbunuh di tahun 44 SM, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus.[1] Dari sini kita dapat menyaksikan bahwa perayaan tahun baru dimulai dari orang-orang kafir dan sama sekali bukan dari Islam.
Pada saat ini kita melihat media massa, baik cetak maupun elektronik yang notabene pemilik saham terbesarnya adalah orang-orang kafir, mereka sedang mempersiapkan event-event besar dan mewah demi untuk menyambut dan merayakan tahun baru mereka guna menyebarluaskan rencana-rencana mereka dan keyakinan-keyakinan mereka ke seluruh dunia khususnya ke negara-negara Islam.
v Hukum Mengikuti Perayaan Tahun Baru
Setiap fenomena pergantian tahun, tidak sedikit kaum muslim yang terpengaruh oleh propaganda kaum kafir, sehingga mereka ikut-ikutan mengadakan berbagai persiapan dalam penyambutannya, sehingga kaum muslim tampak tidak merasa malu lagi menampakkan dan mengunakan atribut dan simbol-simbol agama orang-orang kafir.
Syekh Ibnu Jibrin pernah ditanya bagaimana pandangan syariat Islam tentang perbuatan sebagian orang Islam yang ikut dalam pest ini (perayaan tahun baru) sekalipun sekadar basa-basi kepada kaum Nasrani? Maka, jawaban beliau sebagai berikut:
Orang Islam tidak boleh mengadakan pesta hari raya-hari raya golongan kafir sekalipun sekadar basa-basi karena merupakan hari raya bidah. Allah sama sekali tidak menurunkan penjelasan tentang hal itu, tidak ada dasarnya dalam kitab-kitab samawi dan syariat-syariat Ilahi. Hal itu hanya rekayasa kaum Nasrani yang membuatkan syariat agama tanpa pembenaran dari Allah. Tidak diragukan lagi bahwa ikut serta dalam pesta seperti ini atau hari raya-hari raya yang lain berarti mengakui bidah-bidah tersebut. Oleh karena itu kaum muslim diharamkan menghormati hari raya-hari raya semacam ini, menyampaikan ucapan selamat kepada orang-orangnya, dan menampakkan rasa gembira atas hari raya tersebut karena dapat dikategorikan sebagai pengakuan terhadap perbuatan-perbuatan bidah ini. Kaum muslim bahkan harus menganggap hari raya-hari raya mereka seperti hari-hari lainnya dan hanya merayakan, hari raya-hari raya yang dibenarkan syariat Islam dengan melaksanakan salat dan ibadah-ibadah lainnya. Wallahu a’lam.[2]
Telah banyak dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta penyataan-pernyataan para sahabat yang melarang kaum muslim menyerupai hal-hal khusus yang menjadi ciri golongan kafir, termasuk di dalamnya hari raya-hari raya dan perayaan-perayaan mereka pada hari-hari tersebut. Hari raya merupakan sebutan yang pengertiannya mencakup hari-hari yang diagungkan oleh golongan kafir atau tempat golongan kafir melakukan pertemuan keagamaan. Setiap perbuatan yang mereka lakukan di tempat-tempat dan masa-masa ini merupakan bagian dari perayaan hari raya-hari raya mereka. Termasuk juga dalam larangan ini adalah menyerupai segala macam perbuatan yang mereka lakukan berkaitan dengan waktu dan tempat yang mereka agungkan itu. Begitu pula hari-hari sebelum dan sesudah hari-hari besarnya, sebagaimana hal ini telah diperingatkan oleh Ibnu Taimiyyah.
Dalil yang melarang mengikuti hari-hari khusus golongan kafir adalah firman Allah Swt.:
وَالَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ الزُّورَ
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu…” (QS Al-Furqan [25]: 72).
Sifat hamba Allah yang beriman disebutkan pada ayat-ayat di atas. Ulama salaf seperti Ibnu Sirin, Mujahid, Rabbi’ bin Anas menafsirkan kata az-zuur pada ayat di atas dengan hari raya-hari raya golongan kafir. Tersebut riwayat dari Anas bin Malik bahwa ia berkata:
قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ الْمَدِينَةَ وَلأَهْلِ الْمَدِينَةِ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ: مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ؟ قَالُوْا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ :« قَدِمْتُ عَلَيْكُمْ وَلَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ اِنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ.
“Nabi saw. datang ke Madinah dan mereka mempunyai dua hari untuk mereka bersenang-senang. Nabi saw. lalu bertanya: “Dua hari ini hari apa?” Mereka menjawab: “Pada dua hari ini kami biasa bersenang-senang di zaman jahiliah.” Rasulullah saw. pun bersabda: “Sungguh Allah telah mengganti kedua hari ini dengan hari yang lebih baik bagi kalian,, yaitu hari ‘Iduladha dan ‘Idulfitri.”[3]
Tersebut pula riwayat yang shahih dari Tsabit bin Dhahak bahwa ia berkata: “Seorang laki-laki pada masa Rasulullah saw. bernazar menyembelih kurban seekor unta di buwanah. Orang ini datang kepada Nabi saw. lalu berkata: “Saya bernazar menyembelih seekor unta di Buwanah.” Nabi saw. bertanya: “Apakah di tempat itu ada berhala yang disembah orang pada zaman jahiliah?” Para sahabat menjawab: “Tidak.” Beliau bertanya: “Apakah di tempat itu ada salah satu hari raya mereka?” Mereka menjawab: “Tidak”. Rasulullah saw. bersabda: “Penuhilah nazarmu. Akan tetapi, tidak boleh memenuhi nazar pada sesuatu yang menimbulkan dosa kepada Allah dan pada suatu tempat yang tidak dimiliki oleh seseorang.”[4]
Umar bin Khaththab pernah berkata: “Janganlah kalian menyertai kaum musyrik di dalam gereja-gereja mereka pada hari raya mereka karena kemurkaan Allah turun kepada mereka.”[5]
Umar berkata juga:
إِجْتَنِبُوْا أَعْدَاءَ اللهِ فِيْ عِيْدِهِمْ.
“Jauhilah oleh kalian musuh-musuh Allah pada hari raya mereka.”[6]
Dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash, ia berkata: “,Barangsiapa yang menetap di negri kaum musyrik dan ia mengikuti hari raya dan hari besar mereka, serta meniru perilaku mereka sampai mati, maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat”[7].
v Dampak Mengikuti Hari Raya Orang Kafir
Larangan yang berhubungan dengan hari raya-hari raya golongan kafir menyangkut banyak aspek, antara lain [8]:
1. Mengikuti sebagian dari hari besar-hari besar mereka akan membuat hati mereka senang dan puas dengan kebatilan yang mereka anut.
1. Menyerupai hal-hal lahiriah mereka dapat ,menyebabkan meniru mereka dalam hal-hal bathiniah, keyakinan yang sesat misalnya, yang secara berangsur-angsur dan halus menyusup ke dalam jiwa.
2. Kerusakan terbesar yang timbul dari perbuatan ini yaitu munculnya perasaan cinta dan dekat kepada golongan kafir. Cinta dan dekat kepada mereka bertentangan dengan keimanan sebagaimana yang difirmankan Allah Swt.:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim” (QS Al-Maidah [5]: 51).
“Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya…” (QS Al-Mujadilah [58]: 22).
v Doa agar Ditunjukkan ke Jalan yang Lurus
Marilah kita bertaqwa kepada Allah dengan sungguh-sungguh, menjalankan ketaatan dan menjauhi perbuatan durhaka kepada-Nya, serta saling mengingatkan dan bersabar dalam menjalankan kewajiban saling mengingatkan. Setiap mukmin harus berusaha keras menasihati dirinya agar berkeinginan untuk menyelamatkan diri dari kemurkaan Allah serta laknat-Nya di dunia dan di akhirat dengan merealisasikan ilmu dan iman secara sungguh-sungguh serta menjadikan Allah sebagai pemberi petunjuk, penolong, pemberi hukum, dan pelindungnya. Dialah sebaik-baik pelindung dan penolong. Cukuplah Allah Rabbul ‘alamin menjadi pemberi petunjuk dan penolong.
Hendaklah setiap mukmin berdoa dengan doa yang diajarkan Nabi saw.:
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ، اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ.
“Ya Allah Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui perkara yang tersembunyi dan yang nampak, Engkau memberikan keputusan diantara para hambaMu dalam perkara yang mereka perselisihkan. Berilah aku petunjuk mendapatkan kebenaran yang diperselisihkan dengan idzinMu, sesungguhnya Engkau memberikan petunjuk orang yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus”[9].
[]
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Tahun_baru
[2] Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci, Terjemah, Media Hidayah: 2003, hlm. 129-130.
[3] HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 11595, 13058, dan 13210.
[4] HR. Abu Dawud, no. 3313 dalam Kitab al-Aiman wa an-NUdzur.
[5] HR. Al-Baihaqi, no. 18640.
[6] HR. Al-Baihaqi, no. 18641.
[7] HR. Abu Dawud, no. 3512.
[8] Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci, Terjemah, Media Hidayah: 2003, hlm. 137-138.
[9] HR. Muslim, no. 770