Oleh: Rizki Abdurahman
(Anggota Bidang Pendidikan PP Pemuda PERSIS)
Muktamar Persatuan Islam (PERSIS) yang keenambelas tidak lama lagi akan digelar di hotel Sutan Raja Kab. Bandung, pada tanggal 26—29 Safar 1444 H/23—26 September 2022 M. Para peserta, peninjau, dan tamu undangan dari berbagai daerah akan menghadiri acara muktamar ini untuk mengikuti berbagai rangkaian kegiatan muktamar. Teruntuk para calon muktamirin tentunya harus mempersiapkan perbekalan dalam menghadapinya, baik secara fisik, pesak, maupun ilmu. Di antara bekal ilmu dalam mengikuti muktamar adalah menjadikan pesan Al-Qur’an sebagai panduan dalam bermuktamar.
Berbicara tentang muktamar, maka yang mungkin terbayang dalam benak pikiran setiap orang adalah berkumpulnya orang-orang di suatu tempat untuk memutuskan kesepakatan bersama. Benarkah pemahaman muktamar demikian? Lalu bagaimana dengan pesan Al-Qur’an yang harus dijadikan panduan dalam bermuktamar? Berikut sekilas catatan sederhana tentang pesan muktamar menurut Al-Qur’an. Mudah-mudahan bermanfaat dan dapat menjadi bekal ilmu dalam bermuktamar.
Pengertian Muktamar
Dalam KBBI (2007:760), muktamar diartikan konferensi, kongres, rapat, perundingan dan pertemuan. Apabila kita telaah dengan cermat, kata muktamar merupakan serapan dari bahasa Arab, yaitu mu’tamar (memakai hamzah, bukan “k”). Hal ini seperti pada ungkapan dakwah, yang diserap dari kata da’wah (memakai ‘ain) dan kata mukmin dari kata mu’min (memakai hamzah).
Dalam perspektif bahasa Arab, asal kata muktamar adalah dari kata amr, yang biasa diterjemahkan perkara atau urusan. Menurut Al-Raghib (tt: I: 47), ketika diubah menjadi i’timar, maka maknanya adalah qabulul amri, yaitu menerima urusan. Lebih lanjut Al-Raghib menegaskan bahwa musyawarah disebut i’timar karena ada penerimaan dari masing-masing pihak atas sesuatu yang dimusyawarahkan. Dari pandangan tersebut, dapat kita pahami bahwa muktamar itu adalah pertemuan musyawarah yang di dalamnya ada saling menerima pendapat satu sama lain diantara para mu’tamirin.
Lalu bagaimanakah pesan Al-Qur’an dalam bermuktamar?
Muktamar dalam Al-Qur’an
Secara lafaz, kata muktamar dalam bahasa Arab diungkapkan dengan مؤتمر tidak kita temukan dalam Al-Qur’an. Namun, bentuk lain yang seakar kata dengan kata muktamar dijumpai dalam dua ayat, yaitu dalam bentuk fi’il mudhare’ (يأتمرون) pada surah al-Qashas ayat 20 dan bentuk fi’il amr(اتمروا) dalam surah ath-Thalaq ayat 6.
1. Al-Qashas ayat 20
وَجَاءَ رَجُلٌ مِنْ أَقْصَى الْمَدِينَةِ يَسْعَى قَالَ يَامُوسَى إِنَّ الْمَلَأَ يَأْتَمِرُونَ بِكَ لِيَقْتُلُوكَ فَاخْرُجْ إِنِّي لَكَ مِنَ النَّاصِحِينَ (20)
Dan datanglah seorang laki-laki dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata, "Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, sebab itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu.
Penafsiran para mufassir tentang makna ya’tamiruna pada ayat tersebut:
- Ibnu ‘Abbas (tt: 405) mengartikan muktamar dengan arti ittifaq, yaitu kesepakatan.
- Ibnu Katsir (1999: 6: 266), Imam As-Sa’di (2000: 613), Ibnu Jazi (tt: 1356), Samin al-Halabi (tt: 3926), Al-Baghawi, (1997: 6: 199), As’ad Haumid (tt: 3154) Ibnu Jazi (tt: 1356), Al-Qurthubi (tt: 13: 236), Al-Maraghi (tt: 20: 47) mengartikan muktamar pada ayat tersebut dengan arti musyawarah.
- Ats-Tsa’labi (tt: 1704) menambahakan, bahwa muktamar itu adalah bermaksud dan bermusyawarah. Ada juga yang mengartikan, satu sama lain saling memerintahkan.
- Wahbah Zuhaili (1418 H: 20: 37), Sayyid Thantawi (tt: 3225), Al-Alusi (tt: 15: 99), Isma’il Haqqi (tt: 10: 131) juga mengartikan muktamar dengan arti musyawarah, dan memberikan tambahan bahwa musyawarah disebut muktamar karena masing-masing orang yang bermusyawarah itu memerintahkan yang lain dan mengikuti hasil musyawarah itu.
Dari ragam pandangan ahli tafsir tersebut dapat dibahwa bahwa muktamar mernurut Al-Qur’an adalah kesepakatan, musyawarah, dan adanya saling perintah dalam muktamar itu. Ayat Al-Qur’an tersebut menyiratkan penjelasan adanya muktamar yang isinya negatif. Dalam konteks ayat tersebut adalah untuk melakukan pembunuhan. Dalam ranah bermuktamar di sebuah organisasi, maka hendaknya para peserta berhati-hati dalam muktamar yang bernuansa negatif, yang dari nilai-nilai kemalsahatan dan kebaikan. Muktamar bukanlah ajang untuk saling menjatuhkan, saling membenci, saling menghinakan, saling meremehkan, dan menanamkan benih kemusuhan. Muktamar tersebut bukanlah muktamar yang dikehendaki oleh Al-Qur’an. Muktamar harus menjadi wadah dan wasilah lahirnya berbagai macam keputusan dan kesepakatan bersama untuk melahirkan program yang menghadirkan nilai maslahat dan manfaat bagi umat.
2. Ath-Thalaq ayat 6
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ وَإِنْ كُنَّ أُولَاتِ حَمْلٍ فَأَنْفِقُوا عَلَيْهِنَّ حَتَّى يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُوا بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِنْ تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَى (6)
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)-mu untukmu, berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.
Apabila disimak dengan baik, sebenarnya ayat tersebut berbicara dalam konteks perceraian. Menurut Sayyid Quthb dalam tafsir Fi Zhilalil Quran-nya, pada hakikatnya ayat di atas menuntut setiap orang yang terlibat situasi yang tidak disenanginya, seperti perceraian, untuk tetap menyelesaikannya dengan ma’ruf. Pengertian ma’ruf itu sendiri, menurut Ibnu Katsir, dijelaskan Allah Swt dalam surah Al-Baqarah ayat 233, yakni tidak boleh menyusahkan pihak lain, khususnya istri dan anak. Walaupun dendam sudah sangat membara, hak nafkah istri untuk pemeliharaan anaknya tidak boleh diabaikan. (Risalah, September 2010: 3)
Dengan demikian, ayat tersebut merupakan pesan secara umum kepada orang beriman untuk melakukan muktamar secara ma’ruf. Dalam konteks perceraian sebagaimana dijelaskan sebelumnya, muktamar secara ma’ruf dapat digambarkan dengan tidak boleh menyusahkan pihak lain, khususnya istri dan anak.
Lalu bagaimana kaitannya dengan konteks muktamar dalam rangka memilih ketua dalam suatu organisasi? Sebelum membahasnya lebih lanjut, alangkah baiknya kita telaah secara cermat apa yang dimaksud dengan ma’ruf itu?
Berikut penulis sampaikan tentang makna ma’ruf menurut pandangan ulama.
a. Imam Al-Jurjani
المعروف كل ما يحسن في الشرع (التعريفات: 219)
Ma’ruf adalah sesuatu yang dipandang baik dalam syar’i. (At-Ta’rifat: 219)
b. Imam al-Shan’ani
المعروف ما عرف بأدلة الشرع أنه من أعمال البر سواء جرت به العادة أم لا. فإن قارنته النية أجر صاحبه جرما و إلا ففيه احتمال (سبل السلام: 4: 309)
Ma’ruf adalah sesuatu yang diketahui berdasarkan dalil-dalil syar’i bahwa itu adalah perbuatan baik, apakah perbuatan itu sudah berjalan secara adat maupun belum. Jika perbuatan itu disertai niat, pelakunya akan mendapatkan pahala secara pasti; tetapi jika tidak, maka hal itu ada beberapa kemungkinan (Subul as-Salam, 4: 309)
Dari definisi tersebut, setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita pahami bahwa ma’ruf itu adalah
- Suatu perbuatan yang baik,
- Standar baiknya perbuatan tersebut berdasarkan syara’,
- Diketahui berdasarkan dalil syara’ (Al-Qur’an atau hadits),
- Perbuatannya itu ada yang sudah berjalan secara adat atau belum berjalan secara adat (belum menjadi adat),
- Akan menjadi pahala bagi pelakunya jika diniatkan mendapat pahala dari Allah.
Untuk lebih mempertajam tentang pengertian tersebut, dapat kita sebutkan beberapa contoh. Di antara bentuk ma’ruf yang berkaitan dengan pergaulan misalnya, yang tua menyayangi yang muda, yang muda menghormati yang tua, tidak meremehkan dan merendahkan orang lain, saling menghargai, saling menghormati, tidak saling mencaci maki dan sejumlah perbuatan baik lainnya yang disyari’atkan oleh Islam. Hal-hal tersebut merupakan kebaikan yang dikehendaki oleh syariat berdasarkan dalil Al-Qur’an dan hadits.
Sehubungan dengan ma’ruf dalam muktamar, di antara wujudnya adalah sebagai berikut.
- Memiliki niat ikhlas dan tulus dalam keikutsertaan di muktamar untuk mencari keridhaan Allah, dan manjadi bagian yang berkontribusi untuk mencari solusi dan inovasi demi kemaslahatan umat (bukan karena ikut-ikutan atau sebatas mencari perhatian).
- Bersikap lemah lembut antara sesama peserta dalam muktamar.
- Bertutur kata yang sopan dan santun dengan bahasa yang dapat dipahami oleh semua kalangan.
- Tidak berbicara keras dan kasar.
- Tidak egois dengan pendapat sendiri.
- Menghargai pendapat orang lain.
- Tidak berbuat kegaduhan selama pelaksanaan muktamar.
- Berbicara berdasarkan ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
- Tidak merasa paling tahu dan menganggap orang lain tidak tahu.
- Siap untuk menerima klarifikasi dari orang lain manakala pendapatnya keliru.
- Menerima segala putusan muktamar dengan penuh kerelaan.
Penutup
Berdasarkan paparan di atas, dapat diperoleh kesimpulan yang sederhana bahwa muktamar itu adalah kesepakatan dan musyawarah untuk saling menerima dan bertukar pikiran dengan orang lain sesama peserta muktamar. Pesan Al-Qur’an dalam muktamar adalah hendaknya dilakukan secara ma’ruf dengan menampilkan berbagai sikap dan perbuatan yang bernuansa kebaikan dengan landasan nilai-nilai islami berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah.
Semoga hasil Muktamar XVI yang akan diselenggarakan oleh Persatuan Islam (PERSIS) dapat menghasilkan putusan dan kesepakatan yang membawa kemaslahatan, keberkahan, dan kemanfaatan untuk umat, bangsa, dan negara.
Selamat bermuktamar dengan ma’ruf!!!
[]
Editor: Dhanyawan