Oleh: Ahmad Taufik Nurdin (Sekretaris Bidang Jamiyya PP Pemuda PERSIS)
Hari Santri Nasional yang dideklarasikan oleh Presiden Joko Widodo, mengingatkan pada peristiwa Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.
Peristiwa tersebut malah disebut Decisive Moment atau keputusan yang membuat perubahan besar, dan secara tidak Iangsung menempatkan Resolusi Jihad sejajar dengan peristiwa besar dalam sejarah republik ini.
Peristiwa itu pun menjadi legitimasi pengaruh ulama Indonesia dalam membangun bangsa dan negara.
Pada zaman Penjajahan Jepang, Saikho Shikikan menyadari bahwa Kehadiran ulama dan pengaruhnya mesti menjadi pertimbangan politis, dibuktikan dengan membebaskan para ulama dari kurungan. Langkah politis tersebut diambil untuk mengambil simpati dari rakyat Indonesia.
Begitupun pada tahun 1942, kebijakan yang dikeluarkan oleh Jepang pada awal pemerintahan di Indonesia adalah pelarangan berjalannya bentuk organisasi politik dan me-nipponisasikan semua elemen yang ada di Indonesia, termasuk umat Islam. Salah satunya dengan mendirikan Shumubu.
Shumubu adalah departemen independen yang didirikan oleh balatentara Jepang pada bulan Mei tahun 1942. Latar belakang didirikan Shumubu adalah strategi Jepang dalam mencari bala bantuan untuk membantunya di Indonesia.
Didirikannya Shumubu di Indonesia dikarenakan banyaknya jumlah umat Islam, sehingga Jepang perlu mendirikan lembaga khusus yang menangani agama Islam agar lebih mudah dalam mengontrolnya.
Sehingga, tidak heran jika Hiroko Horikoshi berpendapat bahwa ulama mempunyai dua peran, yaitu memikirkan nasib rakyatnya, dan sebagai penanggung jawab dalam pengajaran ilmu-ilmu agama serta melestarikan praktik-praktik keagamaan para penganutnya.
Interaksi dan pertukaran simbol yang dilakukan ulama berlangsung dalam dua kontes, interaksi dalam aktivitas dakwah keagamaan dan interaksi dalam partisipasi pada bidang sosial, ekonomi dan politik.
Pertama, interaksi simbolik dengan santri saat mengajar di pondok pesantren atau saat berceramah di depan umum. Kedua, interaksi simbolik dengan pemerintah, politisi dan pengusaha dalam bentuk partisipasi dalam pembangunan ekonomi, sosial dan politik.
Kedua bentuk interaksi yang menggunakan perspektif definisi dakwah yang lebih luas, maka dapat dikategorikan sebagai bentuk komunikasi dakwah ulama.
[]
Editor: Fia Afifah