Resolusi Konflik Israel-Palestina, What Can We Do?

oleh Reporter

20 Mei 2021 | 22:10

Oleh : Ilham habiburohman (Anggota LBH PP Persis, Anggota Bid. Hukum, HAM dan Analisis kebijakan Publik PP Pemuda PERSIS)

 

Korban sipil; saudara seiman tak berdosa berguguran. Sebagai bentuk upaya aktualisasi kal jasadil wahid (seperti satu tubuh), adakah upaya yang bisa dilakukan masyarakat awam seperti kita? Atau adakah sanksi yang bisa dijatuhkan kepada mereka yang melakukan kejahatan kemanusiaan? Atau adakah hal yang bisa kita bantu untuk mengakhiri perang tak berkesudahan yang telah terjadi hampir 73 tahun lamanya?

Itulah barangkali sekelumit pertanyaan yang tergambar, paling tidak pada masyarakat muslim saat ini. Kenyataan pahit di saat-saat terakhir gema takbir beriringan menyongsong kemenangan idufitri, namun bagi mereka (rakyat Palestina) yang terdengar justru dentuman rudal yang selalu siap merenggut nyawa mereka kapan saja.

Bukan untuk mencari alasan atau mengampuni diri, seolah hanya bisa terdiam melihat saudara seiman meminta pertolongan; juga tak dapat berbuat banyak disaat upaya aneksasi situs suci Masjidilaqsa oleh Zionis laknatullah sudah sekian lama selalu menyayat hati, seperti dalam ungkapan “apa daya tangan tak sampai”. Karena untuk menjawab sekian pertanyaan diatas, kita pasti terhenti pada pemahaman bahwa peristiwa ini adalah peristiwa di luar kapasitas dan kewenangan biasa, sehingga benang kusut yang terjadi membutuhkan upaya luar biasa di luar kemampuan masyarakat awam seperti kita. Di antara upaya itu ialah melalui politik hukum berskala internasional.

Mantan Kanselir Jerman Otto van binsmarck pernah menyatakan politik ialah seni dalam mengambil segala kemungkinan (the art of possibilities), sedangkan hukum ialah aturan yang dapat menjaga kehendak bebas orang lain (Immanuel Kant), sehingga politik hukum dapat diartikan upaya mengambil segala kemungkinan untuk memengaruhi, menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang akan dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu (Padmo Wahjono). Ketika bentangan politik hukum yang melibatkan hubungan bilateral ataupun multilateral negara-negara, maka hubungan itu diikat oleh hukum internasional yang dipengaruhi politik atau kepentingan negara yang mengikutinya.

Suatu negara akan menggunakan berbagai instrumen politik, seperti ketergantungan ekonomi, ketergantungan dalam masalah pertahanan, dan hukum internasional untuk mengenyampingkan halangan kedaulatan negara lain dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Sehingga, dapat dipastikan bahwa permasalahan yang dihadapi suatu negara akan bersinggungan dengan kedaulatan negara lain (Hikmahanto).

Seperti halnya konflik yang melibatkan dua negara atau lebih, tentu tidak dapat diselesaikan oleh hukum internal negara. Hal itu disebabkan karena setiap negara memiliki otoritas atas internal kenegaraannya, dan setiap negara wajib menghormati hukum yang berlaku di negara lain. Namun, ada beberapa hal di mana negara dapat mengintervensi hukum negara lain (starke). Di antara persoalan yang selalu menjadi perhatian komunitas internasional ialah soal-soal perdagangan Internasional, perang terhadap terorisme, isu-isu lingkungan, Hak Asasi Manusia, dan Pertahanan.

Salah satu cara paling efektif memanfaatkan hukum internasional ialah melalui perjanjian internasional. Menurut Prof Hikmahanto Juwana (pakar Hukum Internasional Universitas Indonesia) upaya memanfaatkan hukum internasional dapat dilakukan dalam tiga bentuk:

Pertama, sebagai pengubah konsep. Seperti halnya Australia, Jepang, dan Jerman yang pernah memiliki kepentingan mengubah konsep Dewan Keamanan PBB. Jika konsep-konsep seperti ini diterima komunitas internasional, maka ia memiliki daya ikat.

Kedua, sebagai intervensi hukum domestik negara lain tanpa disebut sebagai pelanggaran. Perjanjian dimuat sedemikian rupa sehingga negara peserta harus mentransformasi perjanjian tersebut kedalam hukum domestik atau dalam negeri. Sebagai contoh, perjanjian damai Jepang dengan negara sekutu (allied Forces) tahun 1951. Jepang setuju untuk menyerahkan segala urusan pertahanan kepada PBB, sehingga memengaruhi kebijakan dalam negeri Jepang dengan tidak memiliki kemampuan berperang.

Dan ketiga, sebagai alat penekan. Seperti halnya yang pernah terjadi ketika Inggris dan AS menuduh dan menginvestigasi Irak atas kepemilikan senjata pemusnah massal (weapons of mass destruction). Padahal, Irak merupakan anggota Non Proliferation Treaty (Perjanjian 170 negara pada tahun 1968 yang membatasi kepemilikan Nuklir) dan dianggap melanggar resolusi DK PBB, sehingga mereka melakukan upaya-upaya kekerasan (perang) dengan berpijak pada legitimasi perjanjian Internasional.

Perjanjian Internasional pun dimanfaatkan oleh negara-negara maju untuk menekan negara-negara berkembang, seperti kasus HAM yang pernah terjadi di Timor Timur. PBB menekan Indonesia untuk membentuk pengadilan HAM, kalau tidak dilaksanakan maka PBB sendiri yang akan turun tangan dengan membentuk peradilan internasional yang disebut International Criminal Tribunal for East Timor (ICTET). Itulah latar belakang hadirnya peradilan HAM di Indonesia. Sehingga bagi negara-negara maju cukup mudah untuk intervensi hukum domestik negara lain. Sayangnya, hal tersebut tidak berlaku jika dilakukan sebaliknya, sebab bargaining yang dimiliki negara berkembang hanya mengandalkan instrumen perjanjian, sedangkan negara maju dapat menggunakan instrumen seperti ekonomi, pertahanan dan seterusnya.

Konflik Israel dan Palestina bukan persoalan yang hanya melibatkan kedua negara, berbagai upaya rekonsilisasi, perdamaian, menemukan jalan tengah sejak lama telah dilakukan. Seperti, usulan yang pernah digagas oleh mantan Presiden Libya Muammar Qadafi, dengan adanya bi-national state yang dalam arti mereka memiliki hak otonomi ganda namun berada dalam satu negara. Atau upaya peace talk (perdamaian) yang diinisiasi mantan sekretaris AS, John Kerry, tahun 2013-2014. Dan masih banyak upaya-upaya yang pernah ditempuh seperti Allon Plan, Arab Peace Initiative, Geneva Initiative, Lieberman Plan, Israeli Peace Initiative, dan Palestinian Prisoners’ Document.

Namun, hingga saat ini yang menjadi perdebatan dan kesulitan dalam merealisasikan solusi ini adalah batas antara kedua negara yang masih menjadi sengketa serta proses negosiasi yang cukup rumit. Kepemimpinan Palestina dan Arab bersikeras pada wilayah perbatasan 1967, yang ditolak oleh Israel dalam proses negosiasi. Penolakan ini didasari melalui argumen bahwa wilayah bekas mandat Inggris atas Palestina (termasuk Yerusalem) yang bukan merupakan bagian dari negara Palestina akan terus menjadi bagian dari Israel. Di sisi lain, menurut data dan jajak pendapat yang didapat oleh Malley (2009), mayoritas rakyat Israel dan Palestina secara konsisten tetap berada pada posisi mendukung solusi dua negara, mengesampingkan teritorial dispute (Perselisihan teritori). Meskipun demikian, berbagai usaha diplomasi mengenai solusi dua negara mengalami kegagalan, dari Konferensi Madrid tahun 1991, Perjanjian Oslo tahun 1993, Camp David, Negosiasi Taba, Inisiatif Perdamaian Arab, Konferensi Annapolis hingga Perjanjian Perdamaian tahun 2013-2014 (Ichlasul Amal).

Ketegangan yang terjadi pada akhir Ramadan 1442 H adalah buntut dari persoalan penggusuran beberapa warga Palestina dari wilayah Syekh Jarrah, yang secara hukum masih dalam yurisdiksi Jerusalem Timur (Al-Jazeera). Seperti diketahui, Jerusalem merupakan corpus separatum yakni wilayah yang diatur/dimiliki oleh entitas rezim internasional, dan berlaku bagi ibu kota masa depan Israel maupun Palestina yang diatur dalam resolusi PBB No. 181 (Lapidot). Namun, status tersebut dianggap tidak relevan mengingat kedua negara memiliki state preferences atau tujuan negara yang saling bertolak belakang. Israel bersikukuh dengan ideologi zionisme yang berpandangan bahwa mereka tidak akan bisa hidup tanpa menyatu dalam satu negara, ditambah keyakinan bahwa Jerusalem merupakan tanah yang dijanjikan nenek moyang Nabi Sulaiman kepada bangsa Yahudi. Begitu juga dengan Palestina yang merasa memiliki hak untuk kembali ke tanah air mereka.

Persoalan hukum kemudian bereskalasi menjadi bentrokan fisik bahkan konfrontasi militer, sehingga korban-korban sipil menjadi tak terelakan. Bila kasus ini diusut sebagai bentuk kejahatan kemanusiaan, Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) sebelumnya menyatakan memiliki kuasa untuk melakukan penyidikan kepada Israel atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi (tewasnya 62 warga Palestina di Gaza ketika melakukan aksi damai). Namun, sekali lagi seperti disebut diawal, hal ini ditentang oleh Israel karena ICC tidak memiliki yurisdiksi kepada hukum internal negaranya (bukan anggota ICC) dan menyebut otoritas Palestina bukan merupakan sebuah negara (CNN.com). Mengajukan gugatan kejahatan perang atau kemanusiaan tanpa dukungan politik hanya isapan jempol, mereka pasti memiliki seribu alasan untuk menepis berbagai macam tuduhan.

Kenyataan lain yang tak bisa dipungkiri saat ini bahwa Hukum Internasional bersifat eurosentrik, sebagai alat hegemoni bangsa eropa sejak abad 15, atau dalam kata lain menjadi instrumen politik kolonialisme modern (Atip Latipulhayat). Praktik Hak Veto yang dimiliki anggota tetap dewan keamanan PBB adalah contoh sederhana kolonialisme modern. Maka, secara politis negara-negara yang menggantungkan kedaulatannya pada salah satu anggota (DK PBB) akan kesulitan menentukan sikapnya secara mandiri. Dengan kata lain, ada hal yang terancam jika mereka menentang sikap yang bertolak belakang dengan negara anggota tersebut.

Seperti parlemen Irlandia, yang pada tahun 2018 mengusulkan rancangan undang-undang wilayah terjajah (Occupied territory bill). Jika RUU tersebut diundangkan, maka produk-produk Israel akan diboikot. Hal ini mendapat tentangan dari Israel sendiri termasuk sepuluh anggota kongres Amerika yang mengirim surat bernada ancaman terhadap ekonomi Irlandia atas upaya adanya RUU tersebut. Contoh lain, tahun 2006 Hamas memenangkan pemilu secara demokratis, namun hal ini mendapat kecaman dari Amerika karena Hamas dianggap sebagai organisasi teroris, sehingga tidak restunya Amerika melumpuhkan ekonomi Palestina saat itu.

Maka jika mempertanyakan, apakah Indonesia dapat berbuat banyak? Sebagai negara berkembang dan ketergantungan berbagai aspek baik ekonomi, pertahanan dan lainnya, secara politik Indonesia belum cukup kuat. Sehingga, dibutuhkan kerja kolektif mengajak negara yang mendukung posisi Palestina untuk menekan negara maju yang memiliki pengaruh merubah atau menengahi persoalan ini. Sebab, data-data menunjukan Amerika sudah tidak dapat lagi menjadi juru damai, karena terlihat jelas kepentingannya dan keberpihakannya atas Israel. Pun mengandalkan beberapa negara Arab sekitar normalisasi atas perjanjian Abraham Accord, perjanjian normalisasi yang diinisiasi Amerika antara Israel dan negara-negara arab (UEA, Bahrain, bahkan Oman, serta Maroko yang akan ikut) belum atau bahkan tidak berpengaruh terhadap upaya rekonsiliasi konflik Israel-Palestina.

Simpulan tersebut adalah kenyataan yang sulit namun juga tidak menutup kemungkinan, sebab Indonesia pun pernah berhasil mengupayakan konsep negara kepulauan. Mengangkat isu kemanusiaan menjadi nilai universal dalam hukum internasional harus selalu digelorakan. Sehinga benar yang dinyatakan bahwa persoalan Palestina bukan soal agama, namun menjadi soal kemanusiaan. Ini berlaku di manapun, kejahatan yang melibatkan korban tak berdosa harus diadili secara tegas atau bahkan harus dicegah sejak awal.

Secara politik, bersama-sama menekan negara maju yang dianggap bisa menengahi persoalan ini. Dan upaya memanfaakan hukum internasional dengan mengusulkan konsep perdamaian yang sekiranya dapat diterima dan menyudahi korban-korban sipil tak berdosa atas perang yang terjadi. Inggris idealnya dapat menjadi penengah, atau bertanggung jawab atas “dosa” yang telah dilakukan di masa lalu. Rusia dan Prancis mungkin juga dapat menginisiasi untuk menyudahi kebiadaban atas nama Hak Asasi Manusia.

Wallahu’alam bissawaab

 

Reporter: Reporter Editor: admin