Oleh:
Prof. Dadan Wildan Anas
(Sekretaris Majelis Penasihat PP PERSIS)
Penindasan terhadap muslim Uyghur, di Xinjiang, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), masih terus berlangsung. Sikap negara-negara dunia terhadap kekejaman itu, seakan tak peduli. Mungkin, karena korbannya adalah umat Islam. Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia tentu tidak dapat tinggal diam. Kecaman keras dari tokoh-tokoh Islam dan organisasi Islam di Indonesia atas penindasan muslim Uyghur, terus didengungkan.
Kaum minoritas Uyghur ini tersebar di daerah otonomi Xinjiang. Populasi penduduk Uyghur sekitar 7,2 juta jiwa. Mereka mengenal Islam sejak pertengahan abad ke-10, yang diperkenalkan oleh Satuk Boghra (910-956 M), seorang khan dari Dinasti Karakitai yang memeluk Islam.
China seperti alergi terhadap etnis muslim Uyghur sampai mengeluarkan kebijakan yang represif. Alasannya beragam, mulai dari ingin mengurangi ekstremisme hingga dugaan ketakutan akan separatisme.
Akar konflik di Xinjiang bermula karena China ingin mengendalikan wilayah itu selama abad ke-20. China membatasi kebebasan budaya dan agama Uyghur, dari tahun 1950-an hingga 1970-an.
Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris) Jumat (6/5/2022) merilis beberapa data yang menunjukkan fakta pelanggaran berat HAM yang diduga telah dilakukan oleh otoritas China. Sedikitnya ada 5.532 kasus intimidasi yang dialami orang Uyghur. 1.150 orang ditahan tanpa alasan jelas. Terdapat 424 Muslim Uyghur yang dideportasi atau diekstradisi ke China dari 1997 hingga Januari 2022.
Peneliti senior Centris, AB Solissa, mengatakan, China seyogianya sudah tidak dapat lagi berkelit atau berlindung dengan alasan memerangi extrimisme Islam jika melihat validnya data-data hasil riset, penelitan, hingga investigasi negara-negara dunia dan organisasi HAM dunia. Namun, sepertinya pemerintah China tetap berkelit, bahwa permasalahan di Xinjiang bukan soal agama melainkan separatisme.
Sikap Indonesia
Pemerintah Indonesia, diwakili oleh Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk PBB di Jenewa, Febrian A. Ruddyard menegaskan bahwa sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia tentu memiliki perhatian besar bagi umat muslim di seluruh dunia. Termasuk umat muslim Uyghur. Secara prinsip, Indonesia ingin memberikan kontribusi terbaiknya bagi umat muslim di dunia tanpa mengenyampingkan nilai-nilai inti dari Dewan HAM PBB dan semangat kerjasama multilateralisme. Dengan prinsip itu, ditambah tingginya perhatian umat Islam Indonesia pada situasi HAM di Xinjiang, Kementerian Luar Negeri terus melakukan komunikasi dengan Pemerintah RRT.
Komitmen Indonesia sangat jelas dan tegas dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam hal ini, semua manusia berhak mendapatkan perlakuan yang sama. Hak Asasi Manusia beserta martabat umat manusia, harus dilindungi setiap saat tanpa diskriminasi. Hal ini berlaku untuk semua orang, di mana saja tanpa kecuali, termasuk umat muslim Uyghur di Xinjiang.
Posisi Indonesia tidak pernah dan tidak akan berubah dalam hal ini. Sebagai negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia dan sebagai negara demokrasi yang aktif dan dinamis, Indonesia tidak dapat menutup mata terhadap kondisi saudara-saudaranya kaum muslimin di belahan dunia manapun. Tanggung jawab Indonesialah, sebagai bagian dari umat Islam dunia, untuk saling menjaga satu sama lain. Komunitas Muslim Indonesia dan masyarakat sipil juga terus memberikan perhatian khusus terhadap situasi umat muslim Uyghur.
Dalam kaitan itulah, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah melakukan diskusi dengan Pemerintah dan masyarakat Tiongkok terkait pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia umat Muslim Uyghur. Diskusi serupa juga sudah terjalin di antara organisasi masyarakat Islam di kedua negara. Indonesia juga terus bekerja sama dengan negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI) lainnya untuk membahas isu ini.
Tujuan utama dari diskusi dan keterlibatan Indonesia dimaksud adalah untuk memastikan keamanan dan kesejahteraan saudara-saudara muslim kita di Xinjiang.
Hal yang sama juga harus menjadi fokus Dewan HAM PBB. Dalam hal ini, negara anggota harus menjunjung tinggi prinsip dan cara kerja Dewan sebagaimana tertuang dalam Resolusi SMU PBB 60/251. Di bawah resolusi 60/251, sangat jelas bagi Indonesia bahwa imparsialitas, transparansi, dan dialog harus menjadi jiwa dari kerja Dewan HAM PBB. Dewan HAM harus fokus untuk membangun lingkungan yang kondusif untuk mendorong semua negara dapat memenuhi kewajiban hak asasi manusianya. Selarasnya, peran masyarakat internasional ditujukan untuk mendukung upaya-upaya yang dilakukan negara dalam memperbaiki hak asasi manusia secara nyata di lapangan.
Indonesia memandang pendekatan yang diajukan oleh negara pengusung dalam Dewan HAM tidak akan menghasilkan kemajuan yang berarti, utamanya karena tidak mendapat persetujuan dan dukungan dari negara yang berkepentingan. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Indonesia tidak dalam posisi untuk mendukung rancangan keputusan mengenai penyelenggaraan debat tentang situasi HAM di Wilayah Otonomi Xinjiang Uyghur. Indonesia sekali lagi menekankan komitmennya yang teguh untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi manusia di seluruh dunia termasuk di Xinjiang.
Pada 6 Oktober 2022, Dewan HAM PBB (DHAM) telah melaksanakan pemungutan suara terkait pengadopsian rancangan Keputusan DHAM. Adopsi rancangan keputusan DHAM PBB berisikan mandat agar dilakukan pembahasan terkait situasi HAM di Xinjiang, RRT. Hasilnya, rancangan keputusan tidak berhasil diadopsi, dengan hasil pemungutan suara 17 mendukung, 11 abstain, dan 19 menolak, termasuk Indonesia.
Bagi Indonesia, rancangan keputusan itu sarat dengan upaya politisasi terhadap metode kerja DHAM. Sejak awal, rancangan keputusan yang diajukan oleh Amerika Serikat dkk dilakukan tanpa memperhatikan prinsip imparsialitas, transparansi, dan inklusivitas. Rancangan keputusan itu, juga tidak mengindahkan upaya RRT memperbaiki situasi di lapangan serta upaya bekerja sama dengan DHAM. Sekiranya berhasil diadopsi, Keputusan DHAM ini hanya akan mempertajam perselisihan dan memperburuk kinerja DHAM. Karenanya, Indonesia menolak.
[]