Oleh: Ust. Dr. Pepen Irpan Fauzan, M.Hum (Sekbid Tarbiyyah PP PERSIS)
Suatu hari di Kantor Kementerian Agama Bandung pada akhir dekade 1940-an. Ketika itu, Tuan A. Hassan sedang berada di ruang kerjanya.
Di bagian depan, ruang front office, hanya ada seorang pegawai negeri sipil (PNS). Ia bertugas melayani kebutuhan sang Menteri Agama itu sekaligus jika ada tamu-tamu yang membutuhkannya.
Termasuk hari itu ketika datang seorang Pastor, agamawan Kristen Kota Bandung.
Sang Pastor mengajukan permohonan surat jalan pada Kementerian Agama untuk kebutuhan kegiatan agamanya di luar kota.
Zaman itu, setiap agamawan dalam menjalankan aktivitas agamanya disyaratkan memperoleh surat jalan—sebagai bentuk izin formal—dari Kementerian Agama.
Namun, oleh pegawai Kantor Agama tersebut, permohonan sang Pastor tidak langsung diterima. Hanya sekedar dicatat di buku induk. “Besok saja Tuan Pastor kembali,” begitu kata si pegawai Kantor Agama.
Sang Pastor pun undur diri dan meninggalkan ruangan itu untuk mengambil sepedanya di halaman Kantor Agama.
Pada saat yang sama, karena ruangannya bersebelahan, Tuan Hassan mendengar percakapan pegawai itu dengan sang Pastor.
Ia pun segera keluar dan langsung menginterogasi si pegawai. “Kenapa Saudara jawab besok saja?” tegur Tuan Hassan.
Si pegawai Kantor pun langsung menerangkan pada atasannya, bahwa itu adalah kultur birokrasi-Pemerintahan saat itu.
Sebuah adat-kebiasaan yang telah menahun berlaku di kantor-kantor Pemerintah zaman itu.
“Maaf saja, Pak Menteri. Di kantor-kantor Pamarentah, upami ada yang minta tolong, jawabnya harus besok sajah. Itu mah sudah usum,” jawab si pegawai kantor.
Tuan Hassan pun tampak tak senang dengan mentalitas birokrasi yang buruk tersebut. “Saya di kantor. Sebentar diurus, beres!” Sergah Tuan Hassan mengritik prilaku si pegawai yang tak beradab.
Tuan Hassan berlari keluar Kantor, mengejar sang Pastor. “Sekarang Tuan, bukan besok!” Teriak Tuan Hassan pada sang Pastor.
Untung saja, sang Pastor baru mengendarai sepedanya, hendak keluar dari halaman Kantor Agama. Singkat cerita, sang Pastor pun berhasil mendapatkan surat jalan pada hari itu juga.
Dan ia sangat mengapresiasi kinerja sang Menteri Agama—yang berasal dari kalangan Persatuan Islam (PERSIS)—tersebut.
Fenomena spesial di kantor Pemerintah yang baru kali itu saja dialami oleh si Pastor.
Cerita ini disampaikan oleh Syafii Wirakusuma kepada Ridwan Saidi dalam bukunya Islam dan Nasionalisme Indonesia (LSIP, 1985). Syafii Wirakusuma itu sendiri adalah tokoh Sarekat Islam (SI) Bandung.
Konon, menurut pengakuannya pada Ridwan Saidi, Syafii Wirakusuma didaulat menjadi Menteri Sosial ketika Negara Pasundan didirikan di Bandung.
Dengan demikian, bagi Ridwan Saidi, ceritanya ini mempunyai nilai historis tinggi. Sebuah testimoni sejarah dari rekan sejawat Menteri di Negara Pasundan.
Bahwa Tuan A. Hassan—yang seringkali disebut Tuan Hassan Bandung—pernah menjadi Menteri Agama adalah sebuah fakta sejarah.
Fakta sejarah ini pun diperkuat oleh berita surat kabar, namun yang jelas berbeda waktunya.
Pada 10 Januari 1950, surat kabar De Vrije Pers Ochtendbulletin melaporkan pengumuman dan pelantikan Kabinet Negara Pasundan yang dilaksanakan pada 9 Januari 1950 di Bandung.
Surat kabar itu jelas mengabarkan: “Bandoeng, 9 Januari (Aneta), Het nieuwe kabinet van Pasoendan is als volgt samengesteld…” (Bahwa pada 9 Januari, kantor berita Aneta memberitakan susunan kabinet baru Pasoendan).
Pada berita tersebut jelas tertulis nama A. Hassan dengan jabatannya sebagai Godsdienst Zaken (Kementerian Urusan Agama).
Selengkapnya disebutkan: “Voor de drie nieuwe ministeries zijn benoemd Raden Barnas Wiranatanoedingat (Voorlichting), Kijahi A. Hassan (Godsdienst zaken) en Djerman Prawirawinata.”
Tampaknya, pengangkatan Tuan A. Hassan oleh Wali Negara RAA Wiranatakusumah disebabkan adanya pos tiga kementerian baru di Negara Pasundan.
Salah satu pos baru itu adalah Kementerian Agama. Dengan demikian, pada kabinet-kabinet Negara Pasundan periode sebelumnya, jawatan Kementerian Agama belumlah ada.
Tuan Hassan memang dikenal dekat dengan tokoh-tokoh SI Bandung maupun RAA Wiranatakusumah.
Tuan Hassan adalah guru utama PERSIS di Bandung yang tentu saja sangat disegani dan dihormati oleh kalangan pergerakan maupun Pemerintahan.
Oleh karena itu, SI Bandung—yang mendukung eksistensi Negara Pasundan—sangat masuk akal menyodorkan nama A. Hassan sebagai Menteri Agama negara tersebut.
Di lain pihak, penerimaan Wali Negara Pasundan RAA Wiranatakususmah pun sangatlah beralasan.
Ia seringkali disebut sebagai tokoh pejabat Bandung—anggota Volksraad dan Bupati Bandung—yang nyantri.
Dari fakta tersebut di atas, kita bisa menyimpulkan dengan metode thariqatu jam’u. Bahwa secara esensial, cerita historis Ridwan Saidi di atas itu ada benarnya.
Namun secara waktunya bukan pada tahun 1947-1948 seperti dituliskan pada bukunya itu. Tepatnya adalah Tahun 1950.
Karena, berdasarkan fakta sejarah pada Surat Kabar De Vrije Pers Ochtendbulletin, Kementerian Agama adalah sebuah pos jabatan yang baru—yang belum ada pada Kabinet Negara Pasundan sebelum tahun 1950.
Kembali ke cerita di atas, Tuan A. Hassan sebagai tokoh pejabat Pemerintahan tetaplah penuh adab.
Bahkan adab tuan Hassan ini pun membangun nuansa baru di Kementerian Agama. Setidaknya selama dipimpin oleh Menteri Agama A. Hassan.
Bahkan terhadap orang-orang yang berbeda agama sekali pun, adab Tuan Hassan sungguhlah tinggi budi.
Apresiasi dari seorang Pastor (agamawan Kristen Bandung) menunjukkan hal itu. Sayangnya, masa kepemimpinan Tuan Hassan di Kantor Agama sangatlah pendek. Pada Pebruari 1950, Kabinet ini pun bubar.
Melihat karakter penuh adab Tuan Hassan, kita jadi bisa membayangkan bagaimana murid-muridnya ketika mereka didapuk menjadi para pejabat Negara.
Mohamad Natsir, misalnya. Puncak karier Natsir sebagai Perdana Menteri RI justeru menunjukkan dedikasinya yang tinggi bagi bangsa dan negara.
Ia tidak hanya menjadi perancang Lambang Negara dan perumus mosi Integral NKRI. Lebih dari itu, M. Natsir menunjukkan keteladanan yang sungguh luar biasa.
Kesederhanaan Natsir sebagai pejabat negara membuat peneliti Barat Mc Turnan Kahin terkaget-kaget, karena bertemu dengan pejabat yang bajunya bertambal-tambal.
Sampai-sampai para pegawai bawahannya urunan untuk membelikan jas yang pantas dipakai oleh seorang Menteri pada Natsir.
Pun ketika Natsir sebagai Perdana Menteri berhak menerima imbalan honorarium yang besar pada waktu itu.
Dengan penuh ketawadluan, honorarium itu malah diserahkan kembali pada Koperasi untuk kesejahteraan para pegawai bawahannya itu.
Setidaknya, melalui para tokoh historisnya, Jamiyah puritan ini telah menunjukkan legacy-nya pada negara-bangsa Indonesia.
Bahwa para aktivis PERSIS adalah para pengemban amanah yang adil dan penuh adab.
Jika para aktivis Jamiyah PERSIS memegang kekuasaan, maka kekuasaan itu akan diemban dengan penuh amanah. Insya Allah.
[]