"Kita di sini tidak senang dan butuh bantuan. Tapi kita masih bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup,” imbuh Taufik, warga Sembalun Lumbung
LOMBOK TIMUR -- "Allahu Akbar, Laa ilaaha ilallah ... "
Azan isya berkumandang syahdu. Panggilan-Nya memecah haru. Rindu.
Tampak para pengungsi berduyun-duyun menuju masjid darurat yang terbuat dari bambu dan terpal. Tak ada yang berdiam diri di dalam tenda. Semua melangkah menuju panggilan yang sama. Panggilan untuk menegakkan shalat, panggilan menuju kemenangan.
Tak ada status sosial yang membedakan. Semua berbaur dalam kebersamaan. Khusyuk dalam penghambaan. Tersungkur dalam sujud pengharapan. Menangis dalam jerit doa permohonan. Semua berharap, agar bencana yang menimpa mampu mengokohkan iman. Bukan menambah kekufuran.
Bakda Isya, malam tampak pekat. Tak ada nyala listrik. Yang ada hanya sinar bintang yang berkedipan. Di pengungsian, beberapa semeton (pemuda) berusaha membuat penerangan dari api unggun. Mereka duduk di atas lampak (tempat duduk), sembari meletakan telapak tangan di atas api. Indah.
Kopi hitam Rinjani, singkong, dan ubi bakar, menjadi menu klasik saat merindu. Ya, mereka menyebut kebersamaannya itu dengan sebutan 'merindu'. Sebuah tradisi yang merekatkan ukhuwah.
Malam itu warga bercerita ihwal kronologi gempa yang terjadi. Mengurai kembali masa-masa mengerikan sekaligus menyedihkan. Menggambarkan suasana, dan meniru suara-suara jeritan saat gempa berkekuatan 6,4 SR terjadi pada Minggu pagi (29/7/2018).
Tak hanya sekedar berkisah. Warga pun menyampaikan beribu hikmah.
Taufik, warga Desa Sembalun Bumbung, Sembalun, Lombok Timur, menyampaikan hikmah yang ia dapat usai gempa.
"Saya sedih kalau mengingatnya. Rumah hasil bekerja selama sepuluh tahun, roboh dalam hitungan detik. Tapi saya tetap bersyukur dan ambil hikmahnya. Mungkin kita banyak dosa, sehingga Allah peringatkan melalui bencana," ungkap ia, Minggu (12/9/2018) kepada INA News Agency.
Obrolan panjang malam itu berakhir dengan mutiara hikmah yang saya dapatkan dari keteguhan hati korban menghadapi ujian.
"Kita di sini tidak senang, Kang. Kita di sini butuh bantuan. Tapi kita masih bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup. Walau kita korban, tapi masih banyak yang keadaannya di bawah kita," jelas Taufik.
Sedekah di saat susah
Tak ada satu pun rumah yang bisa ditempati warga Desa Sembalun Bumbung. Rumah mereka hancur. Bahkan sebagian besarnya rata dengan tanah. Namun mereka masih memberi dalam kesempitan.
"Kami ingin berbagi rezeki. Bukankah tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah," ungkap Oza, warga Sembalun yang juga relawan Sinergi Foundation.
Pagi itu, belasan mobil pick up bermuatan sayuran melaju menuju Lombok Utara. Lokasi terdampak parah gempa berkekuatan 7,0 Skala Richter. Pemuda Sembalun tampak berada di antara dus-dus sayuran.
Jarak yang ditempuh selama 3-4 jam itu sebenarnya sangat melelahkan. Tapi mereka tampak bahagia saat sampai di lokasi pengungsian.
Mereka turunkan satu persatu dus besar berisikan tomat, stroberi, dan makanan hasil panen lainnya. Pemandangan yang haru, saat pengungsi Desa Gangga, Lombok Utara, menerima sumbangan dari sesama pengungsi di Lombok Timur.
Sebelumnya, saat gempa pertama, pada 29 Juli 2018 berdampak di Lombok Timur, orang-orang dari Lombok Utara datang untuk memberikan bantuan. Kini, kebaikan itu berbalas. Ya, kebaikan akan selalu berbalas kebaikan.
Mereka pengungsi dan mereka berbagi. Mereka pengungsi dan mereka saling peduli. Itulah yang terus kami renungi. Hingga kami sadari, bahwa kami tengah belajar berbagi dari pengungsi. (/Hilman Indrawan)